Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 8 Januari 2017. Oleh rekan saya, Miftah Sabri, saya diminta hadir pukul 08.00 pagi saat pesan WA saya terima pukul 07.30. Kala itu, saya belum mandi dan acara hari Sabtu biasanya adalah untuk leyeh-leyeh, sekadar menyalurkan "the art of doing nothing", atau becanda dengan anak saya, Gadis. Saya memang komitmen dengan janji malam sebelumnya, tetapi saya pikir waktunya tidak semepet itu.
Jadi, saya mandi dan melakukan urusan privat di kamar mandi cukup 10 menit saja sampai saya ganti pakaian. Sarapan pun tidak saya sentuh seutuhnya, cukup seteguk kopi dan kopi pahit. Itupun akhirnya terpaksa saya tuang ke tempat minuman untuk saya bawa ke mobil. Dari Arah Bintaro, saya hanya punya waktu 20 menit untuk menuju Jalan Bangka VIII menuju kediaman Luna Maya!
Whaaaattt!? Luna Maya?
Saudara-saudaraku tercinta, apa yang terlintas di benak Saudara-saudara ketika saya menyebut sebuah nama; Luna Maya?
Jawabannya, terserah Saudara-saudaralah!
Tetapi artis dan selebritas inilah yang akan saya tuju di sisa waktu yang tinggal seperempat jam lagi, saat mobil saya terbang di atas ruas tol Tahi Bonar Simatupang ke arah Timur. Sehebat-hebatnya saya berada di belakang kemudi dan merambah jalanan yang lengang, tetapi saya tidak dapat menaklukkan waktu. Demikian perkasanya dia dan saya menyerah karena sampai keluar tol Mampang, waktu sudah menunjuk angka 08.05. Wew, telat!
Dengan bermodalkan alamat yang diberikan Miftah plus menggunakan aplikasi Waze, saya bisa mencapai alamat yang dituju pukul 08.25. Terima kasih teknologi aplikasi! Saya pikir, saya akan ditinggalkan, tetapi syukurlah, Miftah Sabri yang sudah kenal baik dengan Luna Maya belum tiba. Ia mengabarkan bahwa dirinya masih di jalan dari Depok menuju Jalan Bangka menggunakan GoJek. "Mas Pepih masuk saja dulu," pesannya.
Lah, emangnya saya sudah kenal Luna, apa!?
Saya kemudian berhadapan dengan satpam yang semula tidak ramah saat turun dari kendaraan. Demikian pula saat bertemu seorang perempuan yang saya pikir asistennya Luna. "Dengan siapa, ya? Sudah ada janji dengan Bu Luna?" saya diberondong pertanyaan. Ah, jangankan menerima perlakuan seperti itu, sebagai jurnalis, diusir pun pernah. Jadi, saya tenang sajalah. Saya jawab saja, belum ada janji, "Tapi teman saya yang sudah janji dengan Luna, dia sedang menuju ke mari!" Dan pintu besar pun digeser kembali. Ditutup. Saya ditinggal di luar. Lalu saya pun masuk ke dalam mobil dan mulai membaca Selasar.
[irp posts="2448" name="Ibunda Luna Maya Seorang Austria Yang Suka Bertualang"]
Tak lama kemudian, satpam datang lagi. Kali ini, wajahnya tak setegang tadi, sudah ada otot senyum terangkat. Kemudian, datang asisten yang tadi memberondong saya dengan pertanyaan, kali ini dia bilang dengan ramah, "Masuk dululah, ngopi saja dulu!" Beu... dari mana dia tahu saya kopi maniac, sotoy deh!? pikir saya geli.
Saya masuk ke dalam rumah besar dan disambut anjing hitam kecil berwajah buruk. Kenapa Luna tidak memelihara doberman atau bloddhound sekalian, pikir saya, biar gagah. Nah, anjing ini mengira saya pacar Luna, dengan entengnya dia merangkul betis saya, sok akrab, dan rupanya dia kepengin saya pangku. Dua kaki depan memeluk betis saya.
Saya pecinta binatang, tetapi saya tahu air liurnya najis dalam keyakinan saya. Saya pasrah saja. Kok, ya, bukan Luna yang menyambut, pikir saya. Beruntung, perhatian anjing hitam kecil itu teralihkan karena kedatangan kucing kemerahan tanpa bulu. Entah kucing jenis apa. Saya sempat berpikir, mungkin Luna kurang suka bulu. Maksud saya, kucing berbulu.
Nah, saya dipersilakan duduk oleh asisten Luna yang kemudian saya tahu bernama Wiwi. Lalu, dia membawakan secangkir kopi. Saya ditemani anjing dan kucing yang terus bertengkar. Living room Luna lumayan besar. Ada televisi layar lebar di depan saya plus jejeran buku berbahasa Inggris, dari buku tentang restoran sampai kamar mandi. Di samping kiri saya duduk, di luar kaca, ada kolam renang kecil. Pastilah Luna sering berenang di sana!
[caption id="" align="alignleft" width="493"] Kucing dan anjing asyik becanda di ruang keluarga Luna Maya (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]
Tidak lama kemudiank Luna ke luar dari kamar pribadinya (mungkin) dan agak kaget juga melihat saya. Untunglah Wiwi yang tadi memberondong pertanyaan kali ini pernyataannya cukup menjelaskan. Melihat anjingnya yang terus PDKT kepada saya, Luna sempat bertanya, "Tidak takut anjing, gitu?" yang saya jawab, "Santai aja, Mbak!" Saya belum berani memanggil namanya, cukup sapaan "Mbak" saja.
"Kita janji sarapan jam sembilan, lho, sudah ditunggu," katanya kepada saya. "Oh iya, kita belum saling kenal," katanya lagi seperti baru tersadar. Saya berdiri dan menghampirinya. Salaman. Saya menyebut nama saya yang ia balas, "Luna".
"Gimana ya kita ke sana kalau Miftah belum datang? Apa kita ketemu di suatu tempat, gitu?" tanyanya sambil melakukan aktivitas, menyiapkan sepatu sepertinya. Saya bilang, saya bisa nyetir sendiri sambil menunggu Miftah yang sedang menuju ke rumah jika Luna terburu-buru. "Nanti kita ketemu di sana saja," kata saya mencoba mengurangi kebingungannya. "Gitu, ya...!"
Syukurkah, di luar Miftah baru saja turun dari ojek, sementara Luna sudah berada di belakang kemudi Range Rover-nya.
Pada akhirnya, kami naik mobil Luna. Mobil saya tinggal saja di depan gerbang rumah Luna. Pasti tetangga Luna tidak akan ada yang percaya itu mobil punya tamunya, jadi kayak gerobak kalau berbanding Range Rover. Ah, jelek-jelek punya sendiri, pikir saya. Luna benar-benar pegang setir sendiri. Mau menawarkan diri biar saya yang pegang, maksudnya pegang kemudi, tapi Range Rover pasti asing buat saya, salah-salah bisa nabrak orang. Niat diurungkan.
Miftah duduk di samping kira Luna, sementara saya di belakang Miftah, duduk berdua sama Wiwi, asisten Luna, hahaha.... Kenapa saya tertawa? Sebab saya merasa keren saat itu, punya sopir perempuan cantik, plus body guard Miftah Sabri di depan saya. Sayalah yang merasa sebagai tuan pemilik mobil dengan sekretaris di samping kanan saya. Sempurna!
Perjalanan dari Jalan Bangka di Jakarta Selatan ke Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara menuju kediaman gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, saya gunakan untuk mengenal lebih dekat sosok Luna, setidak-tidaknya dari apa yang dia bicarakan selama dalam perjalanan. Tentang apa saja, bahkan ke hal-hal yang mungkin tidak (akan) pernah muncul di media massa.
Oh ya, harus saya ceritakan. Keperluan saya bertemu Ahok, panggilan nama gubernur petahana, semata-mata untuk melancarkan lobi, ingin mengundangnya hadir di acara tanggal 14 Januari 2017 nanti di acara tiga kandidat gubernur bicara ekonomi kreatif dan digital yang diadakan Selasar bekerja sama dengan Bukalapak. Luna Maya adalah salah satu anggota tim pemenangan Ahok.
Kami sarapan pagi di ruang kerja Ahok, menyantap mie goreng dalam styrofoam dan suguhan kopi yang enak luar biasa. Tak terhitung, penganan lainnya. Percaya atau tidak, saya dan Luna yang menghabiskan seteko kopi itu berdua. Sementara itu, Ahok dan Miftah cukup ngeteh yang bagi saya kurang keren dan kurang macho. Sebab, laki sejati itu ngopi, hahaha....
Luna terus menemani selama bercakap-cakap. Ia duduk tepat di seberang meja saya. Saya duduk di sebelah kiri Ahok dan Miftah duduk paling jauh. Ternyata, tidak terlalu sulit melobinya dan Ahok rupanya masih mengenal saya. "Lho, kita 'kan pernah bertemu beberapa kali," katanya. Saya mengiyakan dan itu modal pertama masuk.
Pendek cerita, Ahok bisa "ditaklukkan" karena dominasi Miftah dalam hal berbicara, sampai-sampai di akhir perjumpaan Ahok berkomentar, "Biasanya saya paling dominan saat bicara, baru kali ini saya menjadi tidak dominan."
Kami pamit dan tentu saja Ahok bercerita banyak hal sebagai manusia, bukan sebagai gubenur yang sedang terlilit masalah hukum. Pagi itu, kami bicara "human", bukan politik atau hukum. Luna kembali memegang kemudi, saya di posisi semula, Miftah tetap jadi bodyguard. Saat perjalanan pulang itulah saya merasa, Luna bukanlah sembarang artis yang, maaf, "tanpa otak" alias kopong. Dia artis, perempuan cantik sekaligus cerdas, menurut saya.
[caption id="" align="alignright" width="600"]
Luna saat nyetir (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]Luna cerita tentang banyak hal, termasuk kuliahnya yang terpaksa berhenti dan memilih mundur untuk konsentrasi di dunia hiburan saat ada masalah hukum yang melilitnya. Saya bilang, "Kenapa pihak universitas harus memaksa mundur, 'kan tidak ada kaitannya dengan kuliah," kata saya sok bijak. Luna membalas setelah berpikir sejenak, "Iya juga, ya!?"
Luna lalu bercerita tentang uang yang menurutnya bukan segala-galanya. "Mau sampai kapan uang akan gue kejar?" katanya seperti bertanya pada dirinya sendiri. "Kita semua butuh uang, tetapi pada titik tertentu, uang bagi gue bukan segala-galanya. Gue bisa menolak tawaran apapun. Bukan karena gue ga butuh, tapi mau sampai kapan kita mengejar uang itu tadi?" Well... boleh juga.
Tahukah hal apa yang mengejutkan dari Luna? Kecoa! Ya, kecoa. Simak sedikit lagi cerita saya!
Saudara-saudara tahu sendirilah, kecoa itu binatang menjijikkan, kotor, dan layak dilenyapkan dari muka bumi ini selamanya. "Dengan gampangnya orang membunuh kecoa karena jijik atau merasa kotor," katanya saat Range Rover siap-siap melintas tol. "Tapi tau gak, lo?" tanyanya seraya menghentikan pembicarannya. Saya yang songong menjawab, "Gak tau saya, Luna!"
"Itu kecoa dengan mudahnya kita bunuh. Tetapi once ada perang dunia atau perang besar yang menghancurkan segalanya, termasuk menghancurkan peradaban manusia dan kehidupan di dalamnya, justru kecoalah yang selamat dan bisa bertahan hidup!"
Wow!
Sepertinya saya terlalu panjang menjawab pertanyaan tentang Luna Maya ini. Padahal, saya belum menceritakan banyak hal, termasuk kapan dan pada usia berapa Luna akan menikah dan bagaimana cara dia mendidik jika sudah punya anak kelak. Kapan-kapan saya lanjutkan lagi, ya, itupun kalau Luna Maya berkenan.
***
Editor: Pepih Nugraha
Catatan: Pengalaman sudah termuat di Selasar.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews