Gelombang Emigrasi Orang Yahudi, “Where Are You Going, Moshe?”

Sabtu, 16 Desember 2017 | 04:04 WIB
0
440
Gelombang Emigrasi Orang Yahudi, “Where Are You Going, Moshe?”

Ribut-ribut soal Jerusalem dan Israel mengingatkanku pada sebuah film berjudul Ou vas-tu Moshé? (Where Are You Going, Moshe?) yang menceritakan kisah yang terjadi ketika gelombang emigrasi orang-orang Yahudi dari Maroko ke Israel pada tahun 1960an. Film itu aku tonton dalam acara Tolerance Film Festival 2017 di IFI Thamrin, Jakarta.

Moshe, adalah nama seorang pemilik toko di kota kecil di Maroko bernama Bejjad. Dia adalah seorang Yahudi yang ikut gelombang emigrasi dari Maroko ke Israel. Pada tahun 1945, populasi orang Yahudi di Maroko lebih dari 300.000 orang. Namun kini kurang dari 3.000 orang. Ketika negara Israel terbentuk tahun 1948, organisasi Zionist datang ke Maroko untuk memfasilitasi kepindahan orang-orang Yahudi Maroko ke Israel.

Keberangkatan orang-orang Yahudi Maroko ke Israel dilakukan pada pukul 3 dini hari. Ketika Moshe pergi, seseorang menanyakan Moshe di tokonya dan tetangganya menjawab, "Moshe sudah pergi. Selamanya.”

Sampai disitu kisah tentang Moshe, karena cerita dalam film ini lebih banyak tentang Mustapha, seorang manajer bar milik orang Prancis yang bernama Pierre. Mustapha mendapat teguran dari pemerintah untuk menutup bar yang dikelolanya karena menurut hukum Islam bar adalah haram. Namun Mustapha berkilah dan menunjukkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa bar boleh tetap buka selama ada orang non-muslim di sana.

Kepergian orang-orang Yahudi ke Israel, yang meskipun dilakukan secara diam-diam, terdengar oleh pemerintah. Orang-orang pemerintah seperti mendapat angin segar untuk menerapkan hukum Islam secara utuh dan bar yang dikelola Mustapha terancam ditutup paksa.

Tokoh lain yang diceritakan dalam film ini adalah Shlomo Bensoussan, seorang pemusik dan tukang reparasi jam. Dia menghadapi kegalauan antara pergi ke Israel atau tetap tinggal di Maroko, tanah yang dicintainya. Seorang Rabi Yahudi sampai berkata padanya, “Bulan yang bersinar di Israel dan di Maroko itu sama.”

Namun Shlomo masih berat untuk pergi hingga tinggallah dia seorang, Yahudi yang masih bertahan di Bejjad walaupun pada akhirnya Shlomo pergi meninggalkan Maroko untuk bisa berkumpul dengan keluarganya.

Film ini bukan hanya menyuguhkan sentimentil Mustapha yang barnya terancam ditutup atau Shlomo yang terlalu cinta pada Maroko. Banyak fragmen-fragmen kecil yang bisa kita ambil hikmahnya dari film tersebut. Misalnya ketika desas-desus kepergian orang Yahudi terdengar oleh orang-orang Islam. Di sebuah tempat nongkrong ada 3 orang yang sedang bercakap-cakap.

“Aku tidak mengerti, mengapa kamu senang orang-orang Yahudi itu pergi. Di antara mereka kan ada dokter, insinyur, akuntan...” kata orang pertama.

“Gak masalah, kalau mereka pergi akan lebih banyak pekerjaan untuk orang Maroko,” kata orang yang kedua.

“Tapi orang-orang Yahudi itu orang Maroko,” kata orang yang ketiga.

Mendengar ucapan orang yang ketika aku jadi teringat kata-kata pribumi yang menjadi masalah di awal pelantikan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang baru. Entah siapa yang dia maksud dengan pribumi.

Kemudian ketika Shlomo hidup seorang diri karena ditinggal oleh keluarganya pindah ke Israel, istri tetangganya meminta anaknya untuk mengantarkan makanan pada Shlomo. Tetangga Shlomo protes, “Dia orang Yahudi, mengapa kau beri makanan kita padanya?”

Istrinya kemudian menjawab, “Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada tetangga kita. Tidak disebutkan baiknya hanya pada tetangga yang muslim.”

Aku teringat pada meme yang banyak beredar di Facebook tentang orang yang menanyakan agama terlebih dahulu sebelum menolong seseorang. Padahal orang tersebut sedang di ujung tanduk hampir tenggelam.

***