Ribut-ribut soal Jerusalem dan Israel mengingatkanku pada sebuah film berjudul Ou vas-tu Moshé? (Where Are You Going, Moshe?) yang menceritakan kisah yang terjadi ketika gelombang emigrasi orang-orang Yahudi dari Maroko ke Israel pada tahun 1960an. Film itu aku tonton dalam acara Tolerance Film Festival 2017 di IFI Thamrin, Jakarta.
Moshe, adalah nama seorang pemilik toko di kota kecil di Maroko bernama Bejjad. Dia adalah seorang Yahudi yang ikut gelombang emigrasi dari Maroko ke Israel. Pada tahun 1945, populasi orang Yahudi di Maroko lebih dari 300.000 orang. Namun kini kurang dari 3.000 orang. Ketika negara Israel terbentuk tahun 1948, organisasi Zionist datang ke Maroko untuk memfasilitasi kepindahan orang-orang Yahudi Maroko ke Israel.
Keberangkatan orang-orang Yahudi Maroko ke Israel dilakukan pada pukul 3 dini hari. Ketika Moshe pergi, seseorang menanyakan Moshe di tokonya dan tetangganya menjawab, "Moshe sudah pergi. Selamanya.”
Sampai disitu kisah tentang Moshe, karena cerita dalam film ini lebih banyak tentang Mustapha, seorang manajer bar milik orang Prancis yang bernama Pierre. Mustapha mendapat teguran dari pemerintah untuk menutup bar yang dikelolanya karena menurut hukum Islam bar adalah haram. Namun Mustapha berkilah dan menunjukkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa bar boleh tetap buka selama ada orang non-muslim di sana.
Kepergian orang-orang Yahudi ke Israel, yang meskipun dilakukan secara diam-diam, terdengar oleh pemerintah. Orang-orang pemerintah seperti mendapat angin segar untuk menerapkan hukum Islam secara utuh dan bar yang dikelola Mustapha terancam ditutup paksa.
Tokoh lain yang diceritakan dalam film ini adalah Shlomo Bensoussan, seorang pemusik dan tukang reparasi jam. Dia menghadapi kegalauan antara pergi ke Israel atau tetap tinggal di Maroko, tanah yang dicintainya. Seorang Rabi Yahudi sampai berkata padanya, “Bulan yang bersinar di Israel dan di Maroko itu sama.”
Namun Shlomo masih berat untuk pergi hingga tinggallah dia seorang, Yahudi yang masih bertahan di Bejjad walaupun pada akhirnya Shlomo pergi meninggalkan Maroko untuk bisa berkumpul dengan keluarganya.
Film ini bukan hanya menyuguhkan sentimentil Mustapha yang barnya terancam ditutup atau Shlomo yang terlalu cinta pada Maroko. Banyak fragmen-fragmen kecil yang bisa kita ambil hikmahnya dari film tersebut. Misalnya ketika desas-desus kepergian orang Yahudi terdengar oleh orang-orang Islam. Di sebuah tempat nongkrong ada 3 orang yang sedang bercakap-cakap.
“Aku tidak mengerti, mengapa kamu senang orang-orang Yahudi itu pergi. Di antara mereka kan ada dokter, insinyur, akuntan...” kata orang pertama.
“Gak masalah, kalau mereka pergi akan lebih banyak pekerjaan untuk orang Maroko,” kata orang yang kedua.
“Tapi orang-orang Yahudi itu orang Maroko,” kata orang yang ketiga.
Mendengar ucapan orang yang ketika aku jadi teringat kata-kata pribumi yang menjadi masalah di awal pelantikan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang baru. Entah siapa yang dia maksud dengan pribumi.
Kemudian ketika Shlomo hidup seorang diri karena ditinggal oleh keluarganya pindah ke Israel, istri tetangganya meminta anaknya untuk mengantarkan makanan pada Shlomo. Tetangga Shlomo protes, “Dia orang Yahudi, mengapa kau beri makanan kita padanya?”
Istrinya kemudian menjawab, “Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada tetangga kita. Tidak disebutkan baiknya hanya pada tetangga yang muslim.”
Aku teringat pada meme yang banyak beredar di Facebook tentang orang yang menanyakan agama terlebih dahulu sebelum menolong seseorang. Padahal orang tersebut sedang di ujung tanduk hampir tenggelam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews