Menang Pilkada di Jawa, Bisa Menang Pemilu 2019?

Kamis, 14 Desember 2017 | 05:11 WIB
0
439
Menang Pilkada di Jawa, Bisa Menang Pemilu 2019?

Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (baca: Pilgub-Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur) Serentak 2018 sangat menarik perhatian. Terutama untuk Pilgub di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bisa menjadi indikator pemenang Pemilu 2019.

Sebab, ada sebuah keyakinan bahwa sebuah parpol yang bisa mendudukkan kader terbaiknya menjadi Gubernur di banyak provinsi di pulau Jawa tersebut akan menjadi pemenang dalam penyelenggaraan Pemilu, baik legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden.

Keyakinan itu wajar adanya jika melihat potensi pemilih dan penduduk yang tinggal di Jawa, lebih dari 50 dari jumlah seluruh penduduk dan pemilih di Indonesia. Maka, hal ini menjadi sebuah kewajaran pula, jika seluruh parpol di Indonesia bertarung mati-matian.

Mereka akan bertarung untuk mendudukkan kader terbaiknya menjadi gubernur di provinsi-provinsi yang ada di Jawa. Seakan semua harus dipertaruhkan, tak hanya demi mencicil suara untuk gelaran Pemilu mendatang, yang terdekat pada 2019.

Tetapi juga untuk menjaga prestise dan legitimasi kedigdayaan parpol pada gelaran Pemilu sebelumnya. Kecuali Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) karena keistimewaannya, semua provinsi di Jawa pastilah menggelar Pilgub untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di wilayahnya.

Pantaslah jika 2 tahun ini: tahun 2017 dan 2018, hiruk-pikuk Pilgub di seluruh provinsi di  Jawa menyedot perhatian dan energi para kader parpol. Contoh tersebut dapat terlihat pada penyelenggaraan Pilgub yang terjadi pada 2017 ini di Jawa.

Saat Pilkada Serentak 2017, di Jawa ada 2 provinsi yang menggelar Pilgub: DKI Jakarta dan Banten. Hiruk-pikuk gelaran Pilgub di kedua provinsi itu, terutama DKI Jakarta, benar-benar menguras energi dan perhatian semua kader parpol; bahkan rakyat Indonesia.

Pada Pilgub Banten, hanya dua pasangan calon yang bertarung benar-benar seolah membelah wilayah Banten itu sendiri. Pasangan Wahidin Halim - Andika Hazrumy dan Rano Karno -Embay Mulya Sariep beserta gerbong parpol yang ada di belakangnya bertarung seru hingga menunggu putusan MK untuk mencari siapa yang menjadi pemenang gelaran Pilgub ini.

Alhasil, pasangan Wahidin Halim - Andika Hazrumy yang diusung Partai Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PKS, Hanura, dan Partai Gerindra, dinyatakan sebagai pemenang kontestasi itu. Putusan MK menetapkan pasangan calon ini  meraup 50,95% suara sah pemilih dibandingkan dengan pasangan Rano Karno - Embay Mulya Sariep yang diusung PDIP, PPP dan Nasdem yang hanya meraup 49,05%.

Berkaca dari hasil ini, 3 dari 4 partai peraih suara terbanyak pada Pemilu 2014 lalu menjadi jawaranya. Mereka adalah Partai Golkar, Gerindra dan Demokrat. Clash yang tidak kalah serunya dan bahkan menjadi panggung utama adalah Pilgub DKI Jakarta.

Selain menjadi ibukota negara, gelaran Pilgub 2017 ini dibumbui oleh kontroversi dan kasus hukum salah seorang peserta atau calon gubernur yang akhirnya menjadi isu nasional serta berujung pada gerakan-gerakan massa yang dilangsungkan secara berseri.

Pilgub ini berlangsung 2 putaran, mengingat pada putaran pertama tak ada satu pun pasangan calon yang mendapat suara mencapai 50% plus 1.

Dari 3 kontestan yang bertarung: pasangan Agus Harimurthi Yudhoyono - Sylviana Murni; Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat; dan Anies Baswedan - Salahudin Sandiaga Uno, hanya menyisakan dua pasangan belakanganlah yang bertarung pada putaran kedua.

Suara pendukung pasangan pertama dan dikenal dengan AHY-Sylvi yang terdiri dari Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP pun diyakini berpindah kepada pasangan Anies Baswedan - Salahudin Sandiaga Uno yang didukung Partai Gerindra dan PKS.

Koalisi besar pada putaran kedua tersebut mengantarkan pasangan yang dikenal dengan nama Anies - Sandi itu meraup suara 57,95%, dan mengalahkan pasangan yang dikenal sebagai Basuki - Djarot (Badja) yang didukung PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura sebesar 42,05%.

[irp posts="2855" name="Para Srikandi di Berbagai Palagan Pilkada Pulau Jawa"]

Dari sini, di dalam artian penyelenggaraan dua Pilgub di pulau Jawa sepanjang pada 2017 itu, terlihat bahwa 1 dari 4 parpol peraih suara terbanyak Pemilu 2014 berhasil menguasai dua provinsi: DKI Jakarta dan Banten. Parpol itu adalah Partai Gerinda.

Sementara  Demokrat tidak dapat dihitung sebagai bagian dari pemenang Pilgub DKI Jakarta karena posisi parpol itu sendiri tidak menyatakan berkoalisi dengan parpol pemenang, meski para kader Demokrat diyakini mengalihkan suara mereka dari pasangan AHY - Sylvi kepada pasangan Anies - Sandi.

Jika pun ada yang dapat menyamakan kedudukan sebagai “penguasa” Jawa pada 2017 adalah Golkar. Dan, sebagai kader Golkar dan dilindungi oleh keistimewaan daerahnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, Sri Sultan Hamengkubuwana X kembali dilantik dan menjadi Gubernur DIJ hingga pada 2022.

Dengan demikian, di Jawa sementara ini dikuasai oleh Golkar dan Gerindra, baik keduanya berkoalisi maupun tidak, dengan masing-masing 2 provinsi. Partai Golkar di Provinsi Banten dan DIJ, sementara Gerindra di DKI Jakarta dan Banten.

Pilkada 2018 jauh lebih seru

Jika penyelenggaraan Pilgub di pulau Jawa pada 2017 ini bisa dikatakan fenomenal, bukan berarti pada penyelenggaraan Pilgub di Jawa 2018 akan menjadi lebih sepi. Banyak kalangan justru menilai Pilgub 2018 di Jawa jauh lebih seru.

Sebab, ada 3 provinsi penyumbang jumlah pemilih terbesar pada setiap gelaran Pemilu yang menyelenggaraan Pilgub: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pilgub Jawa Barat dan Jawa Timur, hingga tulisan ini dibuat, sudah ramai dan lebih panas dibandingkan Pilgub DKI Jakarta dan Banten.

Padahal, tahapan untuk penyelenggaraan Pilgub belum lagi dimulai. Perebutan tokoh-tokoh potensial untuk menjadi Gubernur di kedua provinsi itu menjadi bumbu yang menarik dan menghiasi media massa sekarang ini. Bahkan, hingga muncul istilah bajak-membajak atau outsourcing tokoh.

Pilgub Jatim misalnya, terjadi pembajakan Emil Dardak sebagai bacawagub Khofifah Indar Parawansa yang sementara diusung Partai Golkar, Demokrat, dan Hanura, menyisakan polemik dan luka menganga bagi PDIP dan rakyat Kabupaten Trenggalek.

[irp posts="5385" name="Meneropong Pilkada DKI Jakarta Jilid II di Jawa Barat"]

Itu pun masih ditambah lagi dengan persoalan digantungnya nasib Khofifah, karena belum mengantungi izin dari Presiden Joko Widodo untuk maju Pilgub Jatim 2018 mendatang. Ini karena Khofifah masih tercatat sebagai Menteri Sosial RI dalam Kabinet Kerja.

Belum lagi membelotnya PKS dari rencana koalisi Gerindra, PKS, dan PAN yang sedianya akan membentuk Poros Emas, membuat beberapa pasangan calon yang akan bertarung di Pilgub Jatim 2018 mendatang harus berpeluh-keringat menuntaskan masalah-masalah tersebut.

Permasalahan jadi atau tidaknya Poros Emas ini masih bertambah dengan bisa atau tidaknya La Nyala Mahmud Mattaliti menjawab amanat surat tugas yang diberikan Gerindra untuk maju sebagai bacagub.

Jika tidak, selain La Nyalla tidak bisa maju dalam Pilgub, posisi Gerindra dan PAN terutama, dalam Pilgub Jatim belum akan terjawab dalam jangka waktu dekat ini. Gerinda memberi waktu 20 hari kepada La Nyalla untuk mencari koalisi dan bacawagub.

Hanya pasangan calon Saifullah Yusuf - Abdullah Azwar Anas saja sebagai pasangan bakal calon yang relatif tenang. Mengantungi rekomendasi dari PDIP dan PKB; dan kabarnya PKS, membuat mereka menjadi satu-satunya pasangan calon yang tidak terlalu berpeluh-keringat menghadapi masalah internal dan dinyatakan siap menghadapi Pilgub Jatim 2018.

***