Sisa-sisa Terakhir Perlawanan Sengit Setya Novanto

Senin, 11 Desember 2017 | 17:00 WIB
0
467
Sisa-sisa Terakhir Perlawanan Sengit Setya Novanto

Nasib sial yang beruntun menimpa Setya Novanto. Kejayaannya sebagai politisi yang selalu lolos dari jerat hukum akan segera berakhir. Setelah Praperadilan keduanya gugur akibat KPK ngebut menyelesaikan berkas pemeriksaan alias P21, status tersangka pun tetap melekat. KPK tetap menahan Setya.

Kabar buruk berikutnya adalah mundurnya dua pengacara beken yang selama ini gigih membelanya, yaitu Otto Hasibuan dan Fredrich Yunadi. Mundurnya para penasihat hukum ini dibaca sebagai pertanda buruk bagi Setya.

Ibarat main catur di mana Raja sudah terpojok di sudut papan karena gempuran bidak dan perwira lawan, tidak ada alasan bagi Setya Novanto untuk mempertahankan diri. Ia menyerah.

Tanda Setya Novanto menyerah adalah dengan berkirim surat di mana ia mundur selaku Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR, dua jabatan yang selama ini mati-matian dipertahankannya.

Sejatinya hari Kamis tanggal 30 November 2017 lalu menjadi hari penting bagi Setya Novanto, hari di mana Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR ini dapat mengetahui bagaimana keterusan status hukumnya atas penetapan status tersangka kasus megaproyek korupsi KTP-el oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 November 2017 lalu.

[irp posts="5527" name="Setya Novanto Menyerah"]

Tidak hanya Setnov, Partai Golkar selaku partai di mana Setnov bernaung pun turutserta menunggu bagaimana kelanjutan proses hukum Ketua Umum mereka, apakah status tersangka Setnov oleh KPK valid ataukah Setnov berhasil memenangi kembali praperadilan.

Seperti kita bersama ketahui di kala Setnov ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh KPK, Partai Golkar sontak menghadapi goncangan baik dari internal partai maupun luar partai.

Desakan Setnov agar mengundurkan diri dari posisi Ketua Umum dan Ketua DPR dari hari ke hari kian terdengar keras gaungnya. Akan tetapi Setnov tak gentar dengan cuitan di sekitarnya dan tetap mempertahankan posisi baik di partai maupun DPR.

Bahkan tidak sedikit yang berunjar agar Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberhentikan Setnov dari posisi Ketua DPR atas dugaan pelanggaran kode etik. Hal ini tidak lepas dari pandangan bahwa Setnov dinilai telah merusak marwah DPR kepada publik. Begitupun rongrongan kepada Partai Golkar untuk segera melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk memilih Ketua Umum baru, samar tetapi gejolak di dalam tubuh Partai Golkar kian terlihat yang tak sudi menginginkan keberadaan Setnov di pucuk tertinggi.

Namun kenyataan berkata lain, sidang praperadilan Setnov yang telah direncanakan harus tertunda. KPK mengajukan permohonan sidang gugatan praperadilan yang diajukan kuasa hukum tersangka diundur selama 3 minggu dikarenakan KPK masih mempersiapkan pelimpahan berkas penyidikan Setya Novanto ke pengadilan, akan tetapi Hakim hanya memperkenankan penundaan selama seminggu saja.

Tentu kabar ini tidak diduga-duga sebelumnya, penundaan sidang praperadilan membuahkan dilema bagi Partai Golkar. Mereka harus kembali menghadapi ketidakpastian putusan akibat polemik pada internal partai, melangsungkan Munaslub atau tetap menunggu bagaimana hasil sidang praperadilan Setnov.

[irp posts="5503" name="Siasat Politik Setya Novanto Sebelum Munaslub 2016 di Bali"]

Ditinjau dari situasi yang terjadi, nama-nama calon Ketua Umum Partai Golkar sudah bermunculan dan beberapanya sudah menyuarakan siap menjadi calon Ketua Umum. Sebut saja Sekjen DPP Golkar Idrus Marham yang sementara menjadi Pelaksana Ketua Umum Partai Golkar, ia mengatakan bahwa kesediaan dirinya mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai merupakan bagian dari komitmen untuk membesarkan partai.

Kemudian ada nama Menteri Perindustrian di kabinet kerja Airlangga Hartarto, ia menjabarkan bahwa mantan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie mendukung diselenggarakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. Airlangga Hartarto pun dikabarkan telah meminta restu kepada Jokowi apabila ia harus turun sebagai Menteri jika masuk dalam bursa calon Ketua Umum Golkar. Nama Airlangga kian terdengar manakala mendapatkan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh senior Golkar, salah satunya Jusuf Kalla. Airlangga dinilai mumpuni dan memiliki track record baik untuk menggantikan Setnov.

Selain Idrus Marham dan Airlangga Hartarto, tak luput pula kehadiran nama Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Siti Hediati Hariyadi atau lebih dikenal Titiek Soeharto yang santar terdengar berkeinginan menjadi Ketua Umum. Titiek menegaskan bahwa dia siap menggantikan Setnov sebagai Ketua Umum Partai, Titiek mengaku prihatin terhadap kondisi Partai Golkar saat ini dan ia mendorong ada langkah penyelamatan partai dengan upaya menggantikan Setnov. Namun Titiek menyadari keseluruhan putusan ada pada menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme internal partai.

Desakan dari internal Partai Golkar akan dilaksanakan segera Munaslub dan munculnya satu persatu nama calon membuat partai berlambang pohon beringin tersebut kian menggantung. Namun dibalik situasi genting tersebut, perlu diperhatikan bagaimana reaksi Partai Golkar yang tetap solid satu suara untuk survive dengan melaksanakan Munaslub dan penilaian akan status tersangka Setnov dapat berakibat buruk bagi citra partai kedepannya.

Akan tetapi Partai Golkar perlu menyadari bahwa keadaan yang mereka rasakan saat ini akan menimbulkan situasi yang amat rancu jika menggelar segera Munaslub tanpa menunggu bagaimana hasil praperadilan Setnov nantinya. Apakah mereka tetap akan solid apabila Setnov memenangkan gugatan praperadilan dan menyatakan hasil Munaslub telah sah ataukah mereka akan berpaling muka dan memutus rantai siapa-siapa saja yang dinilai membelot kepada partai?

Patut dinantikan, karena dalam politik baik kawan dan lawan kiranya sulit dibedakan apabila sudah dalam pakaian yang sama.

***