Inilah Pidato 11 Menit Donald Trump Yang Bangkitkan Amarah Dunia!

Jumat, 8 Desember 2017 | 11:31 WIB
0
568
Inilah Pidato 11 Menit Donald Trump Yang Bangkitkan Amarah Dunia!

Pidato pemimpi sekaligus pemimpin Amerika Serikut itu cuma berlansung 11 menit saja, tetapi efeknya mengguncung dunia seketika. Donald Trump seolah-olah membangkitkan singa tidur. Beberapa saat setelah pidato resmi disampaikan, dunia pun terguncang. Kerusuhan merebak di mana-mana, khususnya di kawasan Timur Tengah, dan tentu saja akan berlangsung lama.

Sejumlah kepala negara merapatkan barisan. Indonesia melalui Preiden RI Djoko Widodo mengutuk pidato Donald Trump itu, wabil khusus soal pengakuan Amerika Serikat terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel. Jokowi menegaskan akan hadir di KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam di Istanbul, Turki, 13 Desember 2017 mendatang.

Pidato Trump yang dilihat jutaan pasang mata melalui media televisi maupun live streaming di media sosial  diikuti tindakan nyata memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat untuk Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Sejatinya, Jerusalem, khususnya Jerusalem Timur, masih dipersengkatan dan melalui sejumlah perjanjian bakal ditetapkan sebagai ibukota Palestina. Tetapi tentu saja karena rintingan dan gangguan terus-menerus, Jerusalem belum sepenuhnya menjadi ibukota Palestina.

Jerusalem terbelah menjadi dua; Barat dan Timur. Barat jatuh ke tangan zionis Israel saat terjadinya Perang Arab pertama tahun 1948. Berikutnya, Israel kembali memenangi perang berikutnya sehingga pada tahun 1967 Jerusalem Timur pun jatuh, padahal tempat ini dikenal sebagai kota suci tiga agama langit; Masjid Aqsa untuk umat Islam, Tembok Ratapan untuk umat Yahudi, dan makam Yesus untuk Kristen.

Sejarah Islam mencatat, arah kiblat pertama sebagai patokan arah salat adalah masjidil Aqsa yang berada di Jerusalem Timur itu sebelum kemudian dipindahkan ke Ka'bah di Mekkah. Sekadar menunjukkan betapa sucinya kota ini bagi umat Islam.

Sekarang, dengan tanpa pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel saja warga Palestina atau umat Islam dunia yang ingin beribadah di Masjid Aqsa terus dihalangi dan dipersulit, apalagi nanti setelah pengakuan Trump ini, yang memberi angin kepada Israel untuk semakin menancapkan kuku penjajahannya.

Sebagaimana dilansir situs resmi Gedung Putih, Whitehouse.gov, Kamis 7 Desember 2017 , pidato Trump memang membahas soal pengakuan resmi Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan juga soal pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.

[irp posts="5110" name="Akui Jerusalem sebagai Ibukota Israel, Trump Picu Perang Dunia III"]

Trump merujuk pemindahan Kedubes AS ini sebagai penerapan Undang-Undang Kedutaan Jerusalem yang telah disepakati Kongres AS tahun 22 tahun lalu di mana ia menyebut para Presiden AS sebelumnya gagal menerapkan Undang-undang itu. Dengan kata lain, cuma dirinya yang mampu menjalankannya.

Anehnya dalam pidatonya itu Trump mengatakan bahwa pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel tidak berarti menggugurkan komitmen negaranya terhadap upaya perdamaian bagi Israel dan Palestina. Dia menegaskan, AS tetap berkomitmen mewujudkan solusi dua negara, asalkan disepakati oleh Israel dan juga Palestina.

Berikut pernyataan lengkap Trump soal pengakuan Jerusalem seperti dikutip dari situs resmi Gedung Putih dan dialihbahasakan serta dimuat kembali oleh Detik.com:

Terima kasih. Ketika saya mulai menjabat, saya berjanji untuk melihat tantangan dunia dengan mata terbuka dan pemikiran sangat segar.Kita tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kita dengan membuat asumsi gagal yang sama dan mengulang strategi masa lalu yang sama yang telah gagal. Semua tantangan memerlukan pendekatan-pendekatan baru.

Pengumuman saya hari ini menandai awal pendekatan baru untuk konflik antara Israel dan Palestina.

Tahun 1995, Kongres mengadopsi Undang-undang Kedutaan Yerusalem yang mendorong pemerintah federal untuk merelokasi Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem untuk mengakui bahwa kota itu, dengan sangat penting, merupakan ibu kota Israel. Undang-undang ini diloloskan Kongres dengan suara bipartisan mayoritas sangat besar. Dan ditegaskan oleh suara bulat Senat hanya enam bulan lalu.

Namun, selama lebih dari 20 tahun, setiap Presiden Amerika sebelumnya telah memberlakukan hukum waiver, menolak untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem atau untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. 

Presiden-presiden menerbitkan waiver ini dengan keyakinan bahwa menunda pengakuan Yerusalem akan memajukan isu perdamaian. Beberapa pihak menyebut mereka kurang berani tapi mereka memberikan penilaian terbaik mereka berdasarkan fakta-fakta yang mereka pahami saat itu. Namun demikian, semuanya tercatat. Setelah lebih dari dua dekade menerbitkan waiver, kita tidak juga lebih dekat pada kesepakatan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Akan menjadi kebodohan untuk beranggapan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan hasil yang berbeda atau lebih baik.

Oleh karena itu, saya telah menentukan bahwa ini saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Sementara presiden-presiden sebelumnya telah menjadikan hal ini sebagai janji kampanye besar, mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya mewujudkannya. 

Saya telah menilai rangkaian tindakan ini berada di dalam kepentingan terbaik Amerika Serikat dan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Ini merupakan langkah yang diharapkan sejak lama untuk memajukan proses perdamaian. Dan untuk mengupayakan kesepakatan abadi. 

Israel adalah negara berdaulat dengan hak, sama seperti setiap negara berdaulat lainnya, untuk menentukan ibu kota sendiri. Mengakui hal ini sebagai sebuah fakta adalah syarat yang diperlukan untuk mencapai perdamaian.

Sekitar 70 tahun lalu, Amerika Serikat di bawah Presiden Truman mengakui negara Israel. Sejak saat itu, Israel telah menetapkan ibu kotanya di kota Yerusalem -- ibu kota yang didirikan rakyat Yahudi pada masa kuno. Hari ini, Yerusalem menjadi lokasi pemerintahan Israel modern. Kota ini menjadi rumah Parlemen Israel, Knesset, juga Mahkamah Agung Israel. Kota ini menjadi lokasi kediaman resmi perdana menteri dan presiden. Kota ini menjadi markas banyak kementerian pemerintah. 

Selama beberapa dekade, Presiden-presiden Amerika, Menteri Luar Negeri dan para pemimpin militer yang berkunjung bertemu mitra-mitra Israel mereka di Yerusalem, sama seperti yang saya lakukan saat kunjungan saya ke Israel awal tahun ini. 

Yerusalem bukan hanya pusat tiga agama besar, tapi sekarang juga menjadi pusat salah satu demokrasi paling sukses di dunia. Selama tujuh dekade terakhir, rakyat Israel telah membangun sebuah negara di mana umat Yahudi, Muslim dan Kristen dan orang-orang dari semua keyakinan bebas untuk menjalankan kehidupan dan beribadah menurut nurani mereka dan menurut kepercayaan mereka. 

Yerusalem saat ini, dan harus tetap, menjadi tempat di mana umat Yahudi berdoa di Tembok Ratapan, di mana umat Kristen menapaki jalan salib, dan di mana umat Muslim beribadah di Masjid Al-Aqsa. 

Namun, selama bertahun-tahun, presiden-presiden yang mewakili Amerika Serikat menolak untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Faktanya, kita menolak untuk mengakui ibu kota Israel sama sekali. 

Tapi hari ini, kita akhirnya mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini tidak lebih dan tidak kurang, adalah sebuah pengakuan realitas. Ini juga menjadi hal yang benar untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan. 

Itulah mengapa, konsisten dengan Undang-undang Kedutaan Yerusalem, saya juga mengarahkan Departemen Luar Negeri untuk memulai persiapan memindahkan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ini berarti segera memulai proses mempekerjakan arsitek, teknisi dan perencana agar kedutaan yang baru, ketika selesai dibangun, akan menjadi persembahan luar biasa untuk perdamaian. 

Dalam pengumuman ini, saya juga ingin memperjelas satu poin: Keputusan ini tidak dimaksudkan, dalam cara apapun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel dan kesepakatan baik bagi Palestina. Kami tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat.

Amerika Serikat tetap berkomitmen secara mendalam untuk membantu memfasilitasi kesepakatan damai yang diterima oleh kedua pihak. Saya berniat melakukan apapun dalam kemampuan saya untuk membantu menempa kesepakatan semacam itu. Tanpa perlu dipertanyakan, Yerusalem adalah salah satu isu paling sensitif dalam perundingan itu. Amerika Serikat akan mendukung solusi dua negara jika disepakati oleh kedua pihak. 

Untuk saat ini, saya menyerukan kepada semua pihak untuk mempertahankan status quo di tempat-tempat suci Yerusalem, termasuk Temple Mount, yang juga dikenal sebagai Haram al-Sharif.

Di atas semua itu, harapan terbesar kami adalah perdamaian, keinginan universal dalam jiwa setiap manusia. Dengan keputusan hari ini, saya menegaskan kembali komitmen lama pemerintahan saya untuk perdamaian dan keamanan kawasan di masa depan. 

Akan ada, tentu, ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat terkait pengumuman ini. Tapi kami percaya bahwa pada utamanya, dengan kami menghadapi ketidaksepakatan ini, kami akan tiba pada perdamaian dan tempat yang jauh lebih baik dalam pemahaman dan kerja sama. 

Kota sakral ini seharusnya mampu menunjukkan yang terbaik dalam kemanusiaan. Angkat pandangan kita pada apa yang mungkin, bukan menarik diri ke belakang dan ke bawah pada pertengkaran lama yang telah menjadi sungguh mudah ditebak. Perdamaian tidak pernah berada di luar genggaman orang-orang yang ingin mencapainya. 

Jadi hari ini, kami menyerukan agar ketenangan, sikap menahan diri, suara-suara toleransi bisa menang atas penebar kebencian. Anak-anak kita seharusnya mewarisi cinta kita, bukan konflik kita. 

Saya menegaskan pesan yang saya sampaikan saat pertemuan luar biasa dan bersejarah di Arab Saudi awal tahun ini: Timur Tengah adalah kawasan yang kaya akan budaya, semangat dan sejarah. Orang-orangnya cemerlang, penuh kebanggaan dan beragam, bersemangat dan kuat. Tapi masa depan luar biasa yang menunggu kawasan ini, tertahan oleh pertumpahan darah, ketidaktahuan dan teror.

Wakil Presiden Pence akan mengunjungi kawasan dalam beberapa hari ke depan untuk menegaskan kembali komitmen kami bekerja sana dengan mitra-mitra di seluruh Timur Tengah untuk mengalahkan radikalisme yang mengancam harapan dan mimpi generasi masa depan. 

Inilah saatnya bagi banyak orang yang menginginkan perdamaian untuk mengusir ekstremis dari tengah-tengah mereka. Inilah saatnya bagi seluruh bangsa beradab, dan rakyatnya, untuk menanggapi ketidaksepakatan dengan perdebatan yang beralasan -- bukan kekerasan. 

Dan inilah saatnya bagi kaum muda dan moderat untuk bersuara di seluruh Timur Tengah untuk mewujudkan sendiri masa depan cerah dan indah. 

Jadi hari ini, mari kita mendedikasikan kembali diri kita menuju jalur saling memahami dan menghormati. Mari memikirkan ulang anggapan-anggapan lama dan membuka hati dan pikiran kita untuk hal yang mungkin dan setiap kemungkinan. Dan akhirnya, saya meminta para pemimpin kawasan -- politik dan keagamaan; rakyat Israel dan Palestina; umat Yahudi dan Kristen dan Muslim -- untuk bergabung bersama kami dalam pencarian mulia untuk perdamaian abadi.

Terima kasih. Tuhan memberkati Anda. Tuhan memberkati Israel. Tuhan memberkati Palestina. Dan Tuhan memberkati Amerika Serikat. Terima kasih banyak. Terima kasih.

***