Jokowi Masih "Menggantung" Khofifah, Harus Coba Ganti Pasangan

Jumat, 8 Desember 2017 | 18:00 WIB
0
397
Jokowi Masih "Menggantung" Khofifah, Harus Coba Ganti Pasangan

Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo belum memberikan jawaban atas surat Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa terkait pencalonannya sebagai bakal calon gubernur dalam Pilada Jatim 2018 yang telah diusung Partai Golkar dan Partai Demokrat.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, Presiden Jokowi akan segera mengambil sikap terkait rencana Menteri Khofifah yang akan mengikuti Pilkada Jatim 2018. “Dalam waktu dekat,” ungkap Puan.

Menurutnya, Presiden akan memberikan arahan dalam waktu dekat. Mengutip Kompas.com, meski demikian, Puan tidak menjelaskan lebih lanjut apa bentuk arahan Presiden. “Nantilah. Tentu saja dalam waktu dekat Presiden akan memberikan arahan,” lanjutnya.

Khofifah, kata Puan, masih fokus bekerja sebagai Menteri Sosial. “Fokus, fokus ya. Masih fokus,” ujar Puan di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa 5 Desember 2017.

Puan melanjutkan, salah satu bukti bahwa Khofifah masih fokus bekerja sebagai Mensos adalah keikutsertaannya dalam rapat terbatas membahas program beras sejahtera (Rastra) yang dipimpin Presiden Jokowi Selasa siang. Ia memaparkannya secara rinci.

“Sampai sekarang, tadi di rapat misalnya, beliau menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan tupoksinya,” ujarnya. Salah satu bukti bahwa Khofifah masih fokus bekerja sebagai Mensos adalah keikutsertaannya dalam rapat terbatas membahas program Rastra.

[irp posts="5402" name="Dua Pengacara Mundur Pertanda Perjuangan Novanto Babak Belur"]

Apalagi, dalam rapat tersebut, Presiden Jokowi menginstruksikan kementerian terkait, salah satunya Kemensos, untuk mengevaluasi program Rastra. Diketahui, penerima program Rastra pada 2017 adalah 1,2 juta jiwa. Pada 2018, akan ditambah jadi 10 juta jiwa.

[caption id="attachment_4571" align="alignright" width="528"] Emil Dardak (Foto: Majalah SWA)[/caption]

Diberitakan, Khofifah telah mengirimkan surat kepada Presiden mengenai niat politiknya mengikuti Pilkada Jatim 2018 bersama Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak sebagai bacawagubnya. Presiden hingga awal Desember ini belum mengambil sikap terkait surat Khofifah tersebut.

Ketika ditanya wartawan, Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) itu menolak menjawab lugas. “Nanti ada saatnya,” begitu jawab Khofifah.Tidak puas atas jawaban itu, wartawan kembali mendesaknya menjawab hal itu. Khofifah menjawab kurang lebih sama.

“Nanti deh pada saatnya saja ya. Saya rasa sesuatu itu akan indah pada waktunya. Jika belum waktunya, ya enggak usah,” jawabnya. Dirinya hanya ingin memastikan pada publik, masih fokus sebagai Mensos meski tetap mengikuti dinamika politik jelang Pilkada Jatim.

Sebagai politisi, seharusnya Khofifah bisa “membaca” sikap Presiden Jokowi terkait lamanya jawaban atas suratnya itu. Menurut sumber di Istana, sepertinya Jokowi kurang sreg dengan Emil Dardak karena pencalonannya tersebut sudah membuat PDIP “marah besar”.

Masalahnya, Emil Dardak adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang terpilih dalam Pilkada Trenggalek 2015. Ketua DPD Partai Demokrat Soekarwo membawanya untuk ditunangin dengan Khofifah di depan Ketua DPP Susilo Bambang Yudhoyono.

Di sini jelas, Khofifah sudah terkena “Jebakan Batman” Soekarwo yang sejatinya tidak mau kalau rivalnya dalam dua Pilkada (2008 dan 2013) tersebut mengalahkan Saifullah Yusuf – Abdullah Azwar Anas. Karena, ia terikat dengan Perjanjian Lirboyo, 2013.

Harus berani ganti pasangan

Mengingat sikap Presiden Jokowi yang belum memberikan jawaban atas surat Khofifah, bisa jadi, ini pertanda Jokowi memang kurang sreg dengan Emil Dardak dan harus menggantinya dengan figur lain. Hal ini bukan sesuatu yang tabu. Inilah contohnya.

Pilkada Surabaya 2015 yang sempat bergolak karena hingga detik terakhir pendaftaran, salah satu pasangan calon dari Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional tiba-tiba “menghilang” dan meninggalkan KPU Kota Surabaya pada Senin, 3 Agustus 2015.

Meskipun kala itu ditunggu hingga pukul 24.00 WIB, ternyata Haries Puwoko yang menjadi bakal calon wakil walikota Surabaya yang akan mendampingi bakal calon walikota Dhimam Abror Djuraid itu, benar-benar menghilang tidak pernah kembali lagi.

Tak ingin Pilkada Surabaya 2015 hanya diikuti oleh satu pasangan Tri Rismaharini – Whisnu Sakti Buana yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, akhirnya KPU Surabaya membuka kembali pendaftaran untuk pasangan bacawali-bacawawali.

Tahapan penyelenggaraan Pilkada Surabaya 2015 lalu itu menarik perhatian secara nasional. Apalagi, Risma yang diusung PDIP menganggap KPU Surabaya sengaja menjegal pasangan calon dengan persoalan “sepele”, seperti persyaratan administrasi.

Risma menilai bahwa ada yang aneh setiap kali berkomentar soal gagalnya Dhimam Abror, bacawawali dari PAN bersama Rasiyo, bacawali yang diusung Demokrat. Karena ada syarat yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Sehingga pencalonannya gagal.

Bahwa berkas syarat calon Dhimam Abror hanya menyerahkan fotokopi NPWP dan tanda terima penyampaian SPTPP. Sementara tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak dari KPP tidak diserahkan, sehingga secara kumulatif tidak terpenuhi.

Berdasarkan hasil verifikasi faktual dan surat keterangan dari KPP Wonocolo Nomor SP-2022/WPJ.11/KP.07/2015 pada 27 Agustus 2015, Dhimam Abror tak pernah membuat dan mengajukan dokumen tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak atas namanya.

Dhimam Abror yang sebelumnya maju sebagai bacawali itu, akhirnya digantikan oleh Lucy Kurniasari. Setelah ada perpanjangan waktu pendaftaran, pada Kamis, 24 September 2015, KPU Surabaya menyatakan Pilkada Surabaya 2015, diikuti dua pasangan calon.

Ini setelah pasangan Rasiyo dan Lucy Kurniasari dinyatakan telah memenuhi syarat untuk ikut serta dalam Pilkada Surabaya 2015 pada 9 Desember 2015. Pemenang akhirnya yaitu Risma – Whisnu menjadi pasangan Walikota – Wakil Walikota Surabaya.

Pergantian pasangan calon dalam gelaran pilkada bukanlah hal yang tabu. Melihat Pilkada Surabaya 2015 itu, setidaknya terjadi tiga kali perubahan pasangan calon yang diajukan oleh Demokrat dan PAN. Di sini yang menjadi “king maker” juga Soekarwo.

Pergantian “posisi” bacawali dari Dhimam Abror kepada Rasiyo jelas tidak lepas dari tangan kekuasaan Soekarwo. Begitu pula saat menggantikan posisinya sebagai bacawawali dengan Lucy Kurniasasi, anggota DPR RI dari Demokrat asal Sidoarjo tersebut.

Saat acara Debat Kandidat tampak sekali hanya Rasiyo yang “menguasai” persoalan di Kota Surabaya. Sedangkan, Lucy Kurniasari terlihat banyak kedodoran saat menjawab pertanyaan dari pemandu debat maupun pasangan rivalnya sendiri, Risma–Whisnu.

Sebagai mantan birokrat karier, Risma jelas lebih banyak tahu masalah yang dihadapi Kota Surabaya. Sedangkan Whisnu tampak sekali “tidak terlalu” menguasai seperti Risma. Seperti halnya Lucy Kurniasari yang politisi, Whisnu adalah politisi dari PDIP.

Bedanya, Whisnu sudah “pengalaman” periode kedua sebagai Wakil Walikota Surabaya yang  mendampingi Risma. Sehingga lebih tahu persoalan Surabaya daripada Lucy Kurniasari yang sudah lama meninggalkan Surabaya. Itulah titik “kelemahan” Demokrat.

Padahal, Soekarwo tahu bahwa Risma bakalan menang dalam perhelatan Pilkada Surabaya 2015. Sehingga, siapapun yang disodorkan untuk melawan Risma tidak akan memenangkan rivalitas itu. Karena nama Risma sudah “tercitra” kinerjanya dengan baik.

Pengalaman Pilkada Surabaya 2015 tersebut sebenarnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi Khofifah setelah menggandeng Emil Dardak yang juga berlatar penyanyi tersebut. Soekarwo memaksakan Emil Dardak sebagai pasangan Khofifah yang punya “nilai lebih”.

Meski Emil Dardak secara akademis berprestasi, namun dia belum punya pengalaman yang “cukup” sebagai pejabat Bupati Trenggalek, yang tentunya bakal kedodoran ketika berdebat nanti. Jika melihat kenyataan ini, kasihan Khofifah yang menjawab sendiri.

Ingat, Pilkada bukanlah ajang mencari bakat sebagaimana Indonesian Idol. Modal populer atau telah menjadi “selebritis” saja tidak cukup. Modal politik yang kuat yang jadi penentu utamanya. Modal politik seperti apakah itu? Khofifah mestinya jauh lebih tahu ketimbang kalangan awam politik.

***