Partai Golkar Memang Pantas Kembali ke Dinasti Soeharto

Kamis, 23 November 2017 | 20:36 WIB
0
440
Partai Golkar Memang Pantas Kembali ke Dinasti Soeharto

Siti Hediati Hariyadi mungkin tak terlalu melekat di benak Anda. Namun saat Titiek Soeharto disebut,  maka Anda langsung tersadar bahwa dua nama itu adalah orang yang sama. Di tengah gonjang-ganjing yang menimpa Partai Golkar, keberadaan Titiek menjadi hal penting yang tak bisa diremehkan. Bagaimanapun, posisi Soeharto di Golkar sama dengan Megawati Soekarnoputri di PDIP atau Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat.

Jika Mega masih bersikeras agar garis keturunannya tak terpental dari partai yang susah payah dibangunnya, atau SBY yang juga ingin agar partainya tak jatuh ke tangan lain, Soeharto tentu saja tak kurang pantas agar karismanya tetap menyala lewat partai yang diotakinya.

Ya, Golkar dan Soeharto telah menjadi layaknya tubuh dan ruh. Jika tubuh adalah Golkar, maka Soeharto adalah ruh. Jika tubuh mengenal sakit dan tua atau bahkan mati, maka ruh banyak disepakati tak mengenal kematian kecuali sekadar berpindah tempat.

Ada benarnya jika ruh Soeharto ada di partai-partai di mana ada para pengikut yang pernah tercatat sebagai orang setianya; di partai Surya Paloh, di partai Wiranto, di partai milik Prabowo Subianto, atau partai manapun yang lahir lewat tangan mereka yang pernah dekat dengan Presiden Kedua Indonesia tersebut.

Namun ruh terkuat Soeharto tetap saja hanya ada di Golkar. Sebab, sepanjang tiga dekade lebih Soeharto berkuasa, hanya Golkar yang menjadi kendaraan paling diandalkannya.

Sekarang, Soeharto telah lama mangkat, dan yang ada hanya putra dan putrinya. Kemudian dari anak-anaknya itu, yang pernah sampai meraksasa di jagat politik Indonesia hanya dua; Siti Hardiyanti Rukmana atau yang dikenal dengan Mbak Tutut, dan lainnya adalah Siti Hediati sendiri alias Mbak Titiek. Sementara putra Soeharto lainnya lebih dikenal dengan sepak terjang mereka di dunia bisnis alih-alih di dunia politik.

[caption id="attachment_4505" align="alignleft" width="519"] Tutut pasti mendampingi sang adik - Gbr: Kumparan[/caption]

Namun antara Tutut dan Titiek sendiri, hanya Titiek terbilang masih punya pengaruh lebih besar di ranah politik. Sedangkan Tutut sendiri yang kini telah berusia 68 tahun lebih banyak memantau dari jauh segala isu, dan hampir menutup pintu untuk semua pemberitaan tentangnya.

Langkah Tutut yang terkesan memilih menyepi, boleh jadi karena ia tak ingin menampilkan diri selayaknya bintang yang selalu jadi sorotan hingga tak leluasa melakukan apa-apa. Tutut yang kini memasuki usia senjanya terlihat lebih memberikan jalan kepada adiknya, Titiek. Logis, sebab secara tenaga jelas Titiek lebih kuat dan mobilitasnya lebih bebas dibandingkan Tutut. Selain juga, ia mungkin ingin tetap bersikap selayaknya seorang kakak terhadap adik, agar kesempatan mengaktualisasikan diri pun dapat berlangsung dengan baik.

[irp posts="4355" name="Putri Bung Karno Dukung Titiek Soeharto Pimpin Partai Golkar"]

Namun lagi-lagi itu hanya perkiraan kita saja. Yang jelas, secara faktual memang Titiek belakangan jauh lebih menonjol, dalam menjalin komunikasi, dalam membawa pengaruh, hingga bertarung di elite politik. Terlepas ketidaksukaan sementara pihak yang acap menegaskan anti-Orde Baru, namun bukti bahwa "anak asuh" Soeharto yang bertebaran di berbagai partai tak bisa ditampik begitu saja.

Karisma Soeharto saat ini mengalir pada sosok Titiek, dan Tutut boleh jadi tak ingin karisma itu terpecah antara dirinya dengan sang adik. Alhasil, ia memberikan jalan kepada Titiek, untuk dapat menjaga sinar dari nama sang ayah tak sampai redup, sebagaimana Mega dan anak-anak Soekarno menjaga nama bapak mereka.

Sekarang, Idrus Marham memang menjadi nama yang mencuat sejak Setya Novanto terdepak karena kasusnya yang membuat dia berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun Idrus hanyalah "pemain baru" jika dibandingkan dengan sejarah panjang Golkar. Namanya baru dikenal publik sebagai bagian Golkar sekitar setahun menjelang Soeharto tumbang, atau pada 1997.

Idrus Marham pun baru menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas nama Golkar sejak 1999 hingga 2004, dan masih punya gaung hingga kini. Meski gaungnya terbilang tinggi, namun ia bukanlah figur yang lahir dan berasal dari lingkaran terdekat Soeharto. Maka itu, jika sedikit melihat dari kacamata kedinastian, Idrus hanya orang luar yang lihai memanfaatkan kesempatan hingga besar di partai yang justru dibesarkan oleh Soeharto dan dihidupkan oleh Akbar Tanjung.

[caption id="attachment_4506" align="alignright" width="550"]

Titiek punya bekal penting untuk menjaga Golkar dan nama sang ayah - Gbr: Suara.com[/caption]

Namun Titiek tak menunjukkan ambisinya secara menggebu-gebu. Ia mampu menjaga ambisinya sehingga saat ada yang mendesaknya untuk menyelamatkan Golkar, seperti dilansir Suara.com 21 Juli 2017, Titiek hanya menjawab diplomatis hingga tak teraba oleh musuh-musuh dalam selimutnya. "Semoga Golkar semakin mampu berbenah dan menjadi penopang utama pembangunan bangsa," jawabnya atas desakan itu.

Itu tentu saja dapat diterjemahkan, bahwa Titiek memiliki kemiripan dengan ayahnya sendiri bagaimana bermain catur yang baik; yakni setiap langkah tak sampai terbaca jelas oleh lawan. Sebab, lawannya tak hanya mereka yang berada di luar partai yang notabene lebih gampang dipetakan, namun lawan terberatnya adalah di dalam partainya sendiri.

[irp posts="4225" name="Jokowi Panik Bila Titiek Soeharto Gantikan Setya Novanto"]

Kalaupun ada pesan bahwa dia memang ingin kembali "membawa pulang" Golkar adalah, "Kita di mana-mana anak tentara harus siap," kata dia, Selasa 21 November 2017, sebagai penegas bahwa dirinya selama ini sudah memetakan dengan baik bagaimana dinamika partai. Selain, juga ia menegaskan, bahwa ada panggilan untuk dia menjaga nama ayahnya lewat partai yang berpuluh tahun menjadi kendaraan Soeharto di Indonesia.

Di sini, Tutut yang notabene jauh lebih berpengalaman, pastilah tak akan membiarkan sang adik begitu saja bertarung sendiri. Di sinilah Golkar memiliki potensi menjadikan catatan yang tak mudah diramalkan dalam sejarah politik Indonesia. Bagaimana Idrus Marham? Meski telah dua dekade di kepengurusan partai ini, namun ia masih sebagai "anak kemarin sore" di tengah kancah sejarah partai itu sendiri.

***