Persoalan-persoalan di Sekitar Penangkapan Setya Novanto

Kamis, 16 November 2017 | 21:41 WIB
0
478
Persoalan-persoalan di Sekitar Penangkapan Setya Novanto

Seandainya saja Dewi Keadilan itu benar-benar tertutup matanya, di tangan kanannya ada pedang dan di tangan kirinya ada timbangan (kebalik gak ya?). Mungkin persoalan seperti kasus KTP-El ini akan sangat simple, tak perlu pandang bulu, dan cepat penanganannya. Cukup disidik secara cermat, ditimbang berat ringan kesalahannya secara adil, kalau memang berat sekali dosanya tebas saja kepalanya.

Tapi masalahnya itu hanya simbol, yang konon hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Demikian pula hal-hal yang menyangkut "mafia politik terbesar" yang bernama Setya Novanto. Di luar ia selalu tampak ngantukan di forum publik, sebenarnya ia menunjukkan suatu muslihat, manuver dan lekuk liku perjuangan yang tak kenal lelah. Ia adalah pemain di forum tidak resmi, ia negosiator ulung sambil menikmati wine di ruang privat, ia adalah penumpang jet pribadi yang terus matanya melek sambil tak lelah melakukan tawar menawar.

Karena itu, publik mudah terkecoh akan kepiawaiannya, dan hanya tampak sebagai si pengantuk berat dan pembosan kelas dewa jika kaitannya urusan seremonial. Ia sekedar burung hantu di siang bolong, padahal ia bisa saja berubah jadi predator yang lihai di malam hari. Ia seorang yang sejak dari dulunya "manipulator ulung"!

[irp posts="4104" name="Setya Novanto, Pria Tampan" yang Memulai Bisnis dengan 3 Kuintal Beras"]

Persoalan Setya Novanto itu sederhana awalnya, tapi menjadi rumit bagai benang kusut karena dipengaruhi banyak hal;

Pertama, ia memilih seorang pengacara yang "julik, waton menang omongan, dan culas". Bukannya bernegosiasi, ia bermanuver. Ia mau melakukan semua hal, apa yang disebut Jusuf Kalla sebagai "sekedar usaha ingin bebas", padahal realitas kasat mata jelas ia bersalah. Segala cara ditempuh, bahkan dengan cara-cara yang cenderung kasar dan fasis.

Coba sesekali lacak, biografi FY, pengacara yang terakhir dipilihnya itu. Saya sebagai periset gagal menemukan data di mana ia lahir, di mana ia bersekolah, visi dan misinya sebagai advokat, dan lain-lain. Sebuah curricullum vitae yang sebenarnya paling dasar sebagai public figure. Dalam hal ini, mbah Google gagal menyediakannya. Media hanya berhenti berkabar bahwa ia adalah pengacara yang jujga mendampingi orang-orang bermasalah lainnya seperti Susno Duaji, Budi Gunawan, dan lain-lain.

Tampaknya ia habis-habisan membela Setya Novanto, bahkan kepada orang-orang yang sekadar menjadikannya sebagai meme dan lucu-lucuan. Ia ingin membangun image bahwa Setnov tak tersentuh, dan tidak boleh dipermainkan "rakyat yang dianggap telah diwakilinya".

Ia menjadi jubir yang paling efektif menebar ancaman dan mengadu domba banyak tokoh, dengan saling dibentur-benturkan kepentingan. Bahkan Jokowi sebagai Presiden yang saya yakin memilih tidak mau tahu.

Kedua, ia terbentur dengan persaingan internal di lingkar partainya sendiri: Golkar. Semula Golkar berada pada Koalisi Merah Putih, sebagai kelompok partai-partai di DPR yang walau bukan pemenang Pileg, tapi memiliki suara mayoritas sehingga ia mula-mula menguasai DPR dan menetapakan UU MKD untuk melegitimasi kepemimpinan mereka.

Jabatan Ketua DPR yang semestinya menjadi hak partai pemenang Pileg, bisa "dikadali" sebagai partai yang hanya memenangi 14 persen suara. Undang-undang inilah yang memungkinkan ia seolah bisa seenaknya naik turun sebagai Ketua DPR menurut seleranya sendiri, bahkan figur seperti FH yang telah dipecat partainya (artinya ia tak berpartai) tetap duduk dan terus bersuara ngawur sebagai Wakil Ketua DPR.

Tapi rupanya itu tak berlangsung lama, brand Golkar sebagai Partai Pemerintahan hanya bertahan sekira 12 bulan. Dan setelah itu, ia memilih bergabung dengan koalisi pemerintah. Bahkan ia telah mendukung Ahok sebagai bagian representasi pembangunan Jokowi di Ibukota.

[irp posts="4110" name="Ada Apa dengan JK Yang Jadi Hiperaktif" terhadap Setya Novanto?"]

Namun, justru disinilah letak titik baliknya: ternyata diam-diam Jusuf Kalla bermuka dua, karena ia mendukung AB yang kemudian memenangkan Pilkada yang akan saya catat dalam sejarah sebagai pilkada paling brutal dan intoleran dalam sejarah modern Indonesia.

Sehingga pada akhirnya, bau busuk persaingan Setnov dan JK inilah yang menjadi lebih menonjol, daripada sekedar masalah penegakan hukum. Di lingkaran politik, Setnov bisa jadi bemper pertahanan Indonesia untuk tidak jadi DKI babak kedua. Huh, demikian menjengkelnya pulitik!

Ketiga, hal inilah yang membuat pada akhirnya justru menjadi ajang kontroversi yang absurd antara DPR dan KPK. Publik maupun pengamat, tampaknya gagal memahami bahwa bila akhirnya Setnov dikorbankan maka ia menjadi Nazaruddin Jilid Kedua. Dan tampaknya pola itu, sudah dimulai sejak tadi malam.

Ketika ia gagal dipanggil KPK, ia pun lolos dari penangkapan KPK. Setnov tentu saja memiliki jam terbang berlipat dibanding Nazaruddin, bila hari ini ia bisa tidak jelas di mana. Tentu saja ia bisa saja ada di mana saja. Gerakan DPR yang tampaknya ingin melemahkan KPK, sebenarnya adalah gerakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar.

Koruptor-koruptor yang lebih besar, dan itu bisa siapa saja. Setnov terlalu banyak tahu tentang sepak terjang dan perilaku koruptif dari orang-orang itu. Ia ini walau tampak ngantukan, tapi otaknya adalah bank data Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) di Indonesia. Dan satu-satunya jalan untuk meringankan hukumannya adalah menjadi "justice collaborator" sebagaimana Nazaruddin dulu.

Hal inilah yang mungkin ditakutkan oleh banyak orang. Dan saya yakin, di jam-jam ini, di hari-hari ke depan ini proses negosiasi terus berlangsung. Ini menjelaskan bagaiamana mungkin rencana penangkapan semalam telah bocor dan ia telah dijemput setengah jam sebelumnya oleh "tamu yang tak dikenal". KPK dapat acungan jempol, tapi Setnov tetap saja masih selamat. Ia akan ditangkap bila negosiasi ini sudah rampung. Sesederhana itu!

Golkar itu partai tua yang tidak mungkin lagi jadi juara. Tapi sebagai lokomotif, ia masih ampuh dan berpengalaman untuk menarik banyak gerbong. Dan JK membutuhkannya untuk meraih ambisi kembali bersaing untuk terakhir kalinya menjadi RI1. Ia pengusaha besar, rivalnya "hanya" tukang kayu.

KPK tetaplah menjadi harapan banyak orang baik untuk menekan tindak korupsi, tapi selamanya juga ia akan tidak mungkin lebih besar dari hari ini. Ia akan mendayu ke arah mana selera kepentingan politik bergerak. Ia akan terus berfungsi sebagai "KPKtainment".

Dan Setnov, juga pada akhirnya akan lelah sendiri, berhenti berlari (lebih tepat: bersembunyi ya), dan pasti menerima takdirnya.

Konon: ia hanya tidak ingin diperkosa "iblis" seorang diri.

***