Hari-hari ini bila kita tinggal di Jawa (untuk meneguhkan istilah absurd orang Jekardah dan Sunda bila menyebut Jawa Tengah dan Jawa Timur), tak kenal kedua nama di atas jelas kurang gaul dan gagal kekinian. Lebay? Jelas! Ini adalah generasi termuthakir dari apa yang disebut sebagai subkultur pop Jawa.
Pop disini bukan lagu pop, tetapi lebih pada gaya hidup populer. Ini adalah cerita lebih lanjut dari budaya campursari, yang mengobrak-abrik dan mencampur-adukkan berbagai genre musik, tidak dikenali lagi akarnya harus disebut apa. Hingga akhirnya, mungkin saking bingungnya disebut saja koplo, istilah yang sebenarnya juga sangat "koplo" artinya masa bodoh! Luweh sak karepmu.
Bila dibilang ia musik dangdut, ia bukanlah sebagaimana mungkin yang dianggap "dangdut adiluhung" ala Rhoma Irama (yang sekarang tidak jelas statusnya itu: penyanyi, pendakwah atau politikus). Ia juga bukan dangdut seronok, semisalnya gaya-gaya pantura yang lebih pada aksi-aksi dan cara-cara menggoyangkan maaf, bokong, dengan berbagai bentuknya. Bisa ngebor, ngecor, gergaji, gaya itik, dan sebagainya. Intinya ia tidak mengekploitasi bokong.
Kedua penyanyi ini, juga cenderung lebih sopan. Ia lebih pada "mengikuti" gaya-gaya K-Pop yang cenderung sensual tapi santun. Keduanya juga memiliki persamaan, berangkat meniti karier dari tingkat paling bawah. Dan yang mudah diduga: keduanya bermula dari tidak semenarik hari ini. Artinya, dua-duanya tidak secantik, seaduhai dan semahal yang kita lihat di hari-hari ini.
Mungkin ia mengikuti pepatah Jawa klasik: "sugih ditututi wangun", yang maknanya kaya atau terkenal itu bisa membuat seseorang tampak semakin pantas dan layak. Pendapatan yang makin besar, membuatnya ia bisa membiayai "bentuk tubuh, bahasa tubuh, piranti tubuh", sehingga ia menjadi sangat layak pasar dan eye catching (enak dilihat).
Karena itu banyak media, selalu mengangkut tema "sirik tanda tak mampu", bagaimana rupa mereka sebelum mereka terkenal. Dan tentu saja itu menyenangkan bagi banyak orang, semacam before dan after. Atau kalau dalam bahasa gaul hari ini disebut sebagai make over (istilah untuk menyangatkan sekedar make up).
Ia tidak menggunakan pakaian yang berlebih-lebihan macam artis-artis "panggung yang lebay", tapi memilih kostum-kostum harian dan casual yang mudah ditiru oleh para abege atau golongan mahmud (mamah-mamah muda) yang pengin tampil modis.
Lalu siapa keduanya? Via Vallen, memiliki nama asli Maulidia Octavia, kelahiran Surabaya, 1991. Ia telah menjadi penyanyi sejak umur 15 tahun. Sedangkan yuniornya, Nella Kharisma bernama asli Nella Tri Charisma, kelahiran Kediri 1994.
Ia dibesarkan oleh grup musik OM Monata, yang juga mempopulerkan penyanyi pria yang bagi saya sangat absurd tapi maut bernama Sodiq. Duet keduanya, bagi saya seperti pasangan The Beauty and The Beast. Keduanya memiliki basis fans fanatik, yang sering bersitegang di ranah serius maupun geguyon (tentu saya termasuk yang terakhir).
Via Vallen terakhir memiliki hits lagu "Sayang", yang menjadikan Vianisty sebagai kelompok penggemar yang cukup radikal tapi sekaligus unyu. Kompetitornya Nella Kharisma, memiliki fans base bernama Nella Lovers.
Yang makin populer sejak lagunya, yang dalam banyak event malah sering diplesetkan sebagai lagu dakwah berbalas pantun, berjudul "Jaran Goyang". Lagu yang sebenarnya bertema permintaan tolong pada mbah dukun (setelah putus cinta) untuk beroleh ajian pengasihan.
Lagu wagu ini memang kontroversial, tapi tentu saja sebenarnya tak lebih lucu-lucuan. Kedua lagu ini sedemikian populer yang di Youtube konon telah ditonton lebih dari 70 juta kali, mengalahkan lagu jenis apapun yang pernah ada di Indonesia. Keduanya juga menguatkan persaingan antara fans base Nella Lover untuk berebut penggemar dengan Vianisty.
Sebuah kompetisi yang sekali lagi sebenarnya hanya artifisial dan sekedar senang-senang saja. Sebuah cara lain untuk bergembira. Karena, pada realitasnya, sisi baik dan mulia dari keduanya, mereka saling menyanyikan juga lagu yang menjadi "trade mark" pesaingnya.
Di panggung, VV biasa menyanyikan juga Jaran Goyang, dan NK juga membawakan Sayang. Dan tak ada sirik-sirikan atau saling klaim. Suatu bentuk bagi-bagi rejeki yang nyaris muskil dalam industri pop ala Ibukota, yang selalu ribet terkait hak cipta, tapi omong kosong dalam kompensasinya.
Bagaimana mungkin? Karena umumnya hubungan antara pencipta lagu, penyanyi, dan orkes pengiring berjalan dengan sangat longgar dan guyub. Hal ini diperkuat oleh penggunaan bahasa Jawa ngoko Jawa Timuran yang membuat hubungan menjadi sangat cair dan kekeluargaan.
Bagi saya keduanya simbol daya tahan masyarakat Indonesia yang tidak ada duanya: biar hidup susah, ayo terus digoyang. Saya cuma menyayangkan, keduanya tidak diundang di hajatan mantu Jokowi kemarin. Ia malah mengundang Vicky Shu yang tidak jelas akar budayanya.
Huuuu....penonton kecewa!
Untuk Kangmas Seno M Hardjo, pejuang musik Indonesia yang tak kenal lelah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews