Ketua Umun PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh Mohamad Ali Salim, salah satu ulama di pesantren Pamekasan, Jawa Timur atas dugaan mencemarkan nama baik Islam dan para ulama dari Pulau Madura. Laporan tersebut dilakukan Rabu, 8 November 2017.
Megawati diadukan terkait isi pidatonya saat hari ulang tahun ke-44 PDI Perjuangan , Januari 2017 lalu. Artinya itu sudah berlalu 10 bulan yang lalu. Tapi siapa saja berhak untuk melaporkan siapapun ke polisi jika dianggap mengganggu atau menyinggung pihak terkait. Soal apakah aduan tersebut dilanjutkan ke tahap selanjutnya urusan belakangan.
Jadi, begini teks pidato Mega yang dianggap menyinggung perasaan umat Islam tersebut.
“Para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.”
Dalam laporannya, Ali berpendapat akan ada kehidupan setelah kematian serta adanya surga dan neraka. Sepengetahuan Ali, hal itu sudah dijelaskan dalam Al Quran. Dan kalimat dalam pidato Megawati tersebut menyinggung umat Islam. Meski mengaku tidak mendengarkan pidato secara langsung, tetapi Ali mengaku melihat pidato itu melalui video Youtube.
Nah, permasalahannya di sini, ketika pelapor tidak berada di tempat kejadian perkara saat pidato itu disampaikan dan hanya menyaksikan video dari Youtube yang mungkin saja tidak dari awal hingga akhir, apakah isi pidato dapat diterima dengan utuh. Sebab, ibsa jadi ada awalan atau sambungan kalimat tersebut yang berisi penjelasan lebih lanjut.
Isi dan makna yang terkandung dalam pidato Megawati itu tentu masih bisa diperdebatkan apa iya menghina agama dalam hal ini Islam. Soalnya, mengapa juga hanya kelompok Muslim yang memperkarakannya? Lha 'kan pemeluk agama lain yang yakin adanya surga-neraka dan kehidupan setelah kematian juga ada, yang bisa saja memperkarakan pidato Megawati itu, kan?
Ada yang berpendapat isi pidato itu benar mengandung penghinaan, tetapi gak sedikit juga sih yang nganggap gak ada kejanggalan atau kata-kata yang menyinggung perasaan umat Islam. Di luar isi pidato Megawati itu kontroversi atau gak, yang menarik adalah kaitan sekaligus tarikan politik di dalamnya, khususnya politik yang dibungkus isu paling sensitif dan berbahaya, SARA. Ihhh, serem...
Sadar gak sih, 2018 merupakan tahun politik. Salah satu yang ikut Pilkada serentak itu ya, Jawa Timur. PDI Perjuangan juga sudah mengambil keputusan mengusung pasangan Gus Ipul-Azwar Anas untuk maju memperebutkan kursi Jatim 1.
Bisa jadi laporan terhadap Megawati ini sebagai taktik lawan untuk menghadang pasangan kader NU ini menang pilkada Jatim 2018.
Hal tersebut juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah. Ia menduga laporan terhadap Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ke kepolisian untuk memicu isu SARA jelang Pilkada Jawa Timur.
Sepertinya isu SARA memang sangat "seksi" untuk dijejalkan ke publik menjelang pesta demokrasi. Kurang jelas dan pasti apakah isu SARA sejak kapan isu ini dijadikan senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik.
Tapi yang paling kotor itu semenjak Pilpres 2014 lalu di mana isu SARA terus saja digoreng, gak peduli kelompok masyarakat hancur minah. Cara menggoreng isu SARA terus dipakai hingga pemilihan gubernur Jakarta beberapa bulan lalu. Buntutnya Ahok diputuskan bersalah atas tuduhan penistaan agama dan sekarang berada di balik jeruji besi.
Atas keberhasilan gerakan yang menamakan diri "Aksi Bela Islam" menjungkalkan Ahok yang mereka tuding menghina Islam dan pengadilan membuktikannya, tidak tertutup kemungkinan kisah sukses ini akan diulang di Jawa Timur dengan Megawati sebagai korban berikutnya.
Pilpres 2019
Minyikat Megawati berarti menyeret PDI Perjuangan sebagai partai besar pemenang pemilu. Menyeret PDI Perjuangan berarti menghabisi Jokowi yang kini menjabat Presiden RI yang diusung PDI Perjuangan di Pilpres 2019. Tujuan "antara" yang paling mudah tidak lain membenturkan antarkelompok masyarakat; nasionalis dan relijius dengan aksi turun ke jalan yang menggulung dan bergelombang.
Balik lagi ke kasus pelaporan Megawati Soekarnoputri. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika benar itu dianggap menyinggung hati umat Islam, kenapa baru dilaporkan sekarang? Di saat Jatim sedang bersiap menyambut pesta demorasi pemilihan pemimpin baru?
"(Laporan kepada Megawati) patut dicurigai sebagai upaya memulai mengobarkan isu SARA dalam Pilkada Jawa Timur," kata Basarah melalui keterangan tertulis, Kamis 9 November 2017.
Persaingan dalam perebutan kekuasaan itu biasa. Tapi jangan menggunakan cara yang tidak sehat. Menggunakan isu agama seperti ini terbukti akan mengganggu persatuan antar umat beragama. Untuk diketahui, Megawati juga pernah dilaporkan atas dugaan yang sama pada Januari 2017 lalu. Hingga sekarang, Megawati masih tidak terbukti bersalah.
Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera membenarkan pelaporan tersebut. Frans mengatakan bahwa unsur pidana terhadap laporan Ali masih harus dibuktikan.
“Ya pelaporan itu kan belum tentu pidana. Pelaporan nantinya akan diselidiki,” kata Frans seperti ditulis Tirto.id, Rabu 8 November 2017. “Kan pasti kami tindaklanjuti apakah itu masuk unsur pidana nanti akan diselidiki oleh penyidik,” imbuhnya.
Basarah juga menyebut laporan ini bisa memicu perpecahan di tengah masyarakat, terutama umat Islam.
Pihak PDI Perjuangan memercayakan proses hukum sepenuhnya kepada Polda Jatim. Anggota Komisi III DPR itu berharap polisi bisa sigap dan berhati-hati dalam menangani kasus tersebut sehingga tak berkembang menjadi masalah sosial yang mengganggu ketertiban masyarakat di Jatim.
Basarah berharap segenap kader PDI Perjuangan se-Jatim tak terprovokasi propaganda yang menciptakan suasana yang tak konduaif jelang Pilkada Jatim.
"Kepada segenap kader PDIP se-Jawa Timur dan tim pendukung Saifullah Yusuf dan Abdullah Azwar Anas sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur agar tidak terpancing dengan propaganda dan provokasi yang dilakukan berbagai pihak untuk menciptakan instabilitas sosial dan politik di Jawa Timur dengan mengobar-ngobarkan isu SARA," ujarnya seperti dikutip Kompas.com.
Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Pareira menganggap pelaporan Megawati Soekarnoputri atas tuduhan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap umat Islam tidak mendasar. Ia juga menyebut pelapor, meminjam istilah kids jaman now, gagal paham dengan isi pidato Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut.
Tapi Andreas tidak menjelaskan lebih lanjut maksud pidato Megawati sepemahaman dia dengan dalih tidak memegang teks pidato lengkapnya. Duh, padahal kan seharusnya di-publish juga biar ada perbandingan sudut pandang.
Seperti dilaporkan IDNtimes, Ali mengungkapkan bahwa laporan tersebut dibuat tak main-main. Dia ingin Megawati diproses atas ucapannya yang menyebut kalau hari kiamat dan setelah kematian itu tidak ada, seakan-akan hanya ramalan padahal itu dalam Al Quran surat Al Baqarah di ayat-ayat pertama itu sudah ada.
Bahkan, Ali mengungkap siap menggelar aksi jika proses hukum terhadap Megawati tidak diproses.
"Kita tunggu perintah dan ulama Madura yang hadir tadi. Kalau perlu ada aksi ya, akan lakukan. Tapi kita masih mengikuti perkembangan dulu ya. Kayaknya kalau liat keadaan sekarang, belum. Kalaupun nanti ada aksi ya atas nama umat Islam bukan atas nama Ormas, gak akan kita bawa ormas ya gitu. Tapi waktu pelaporan gak rumit kok sambil gurau-gurau kok tadi," paparnya.
Kok jadi latah begini, yes? Bukan berarti sebelumnya ada aksi bela agama yang dilakukan berkali-kali sebelumnya, akan terus melakukan hal yang sama selanjutnya. Kadang kita sudah sulit membedakan mana yang memang aksi 'membela agama' yang sesungguhnya, mana aksi politik dengan 'kemasan' agama. Sebagian besar umat Islam lainnya yang tidak tau apa-apa ikut terpecah pula oleh isu-isu agama seperti ini.
Sucinya agama, jahatnya politik. Lebih jahat lagi menggelorakan isu agama yang suci untuk kepentingan politik!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews