Laksamana Malahayati tak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Namanya kian menjadi buah bibir, terlebih setelah pada Kamis 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menobatkan beliau di antara empat nama sebagai Pahlawan Nasional.
Bagi masyarakat Aceh, tanpa pemberian gelar itu tetap saja mereka melihat Malahayati sebagai pahlawan, yang akan terus diceritakan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi lainnya. Saya sendiri yang berdarah Aceh, lahir dan hidup di sana hingga usia 20-an, merasakan bagaimana para ureueng tuha -sebutan untuk orangtua dan yang dituakan- memperkenalkan sosok tersebut.
Para ureueng tuha menceritakan itu kepada anak-anak mereka, tak hanya kepada aneuk inong (anak gadis), tetapi juga kepada aneuk agam (anak laki-laki). Kepada para gadis, cerita itu diceritakan di sela-sela mengaji atau menjelang tidur, agar mereka kelak dapat menjadi perempuan kuat dan berkarakter.
Nama Malahayati akan disisipkan di antara nama Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, hingga membentuk bayangan seperti apa kelebihan perempuan dan kekuatan yang disimpan di balik segala kelembutan.
Terutama Malahayati, paling sering diceritakan karena ia tak hanya mampu menguasai ilmu militer, tapi ia mampu memimpin pasukan hingga di lautan. Bahkan di banyak literatur disebutkan jika ia telah menjadi Kepala Pengawal Istana di era Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Bahkan tercatat sebagai otak di balik kemenangan pasukan Aceh ketika berhadapan dengan kepala armada Belanda, Cornelis de Houtman yang berlangsung pada 11 September 15. Bahkan De Houtman sendiri tewas di tangannya ketika keduanya beradu pedang satu lawan satu di atas geladak kapal. Tak pelak, setelahnya Malahayati atau Keumala Hayati diberikan gelar Laksamana.
[caption id="attachment_3730" align="alignleft" width="601"] Seminar tentang Malahayati - Gbr: KanalAceh.com[/caption]
Sepanjang sejarah Nusantara, tak banyak tokoh perempuan yang berhasil meraih pencapaian seperti didapatkan oleh Malahayati, meraih gelar Laksamana atau Jenderal untuk Angkatan Laut.
Ketika para ureung tuha di Aceh menceritakan kisahnya kepada para aneuk dara dan aneuk agam, di sanalah ilham keberanian dan ruh ketangguhan itu disampaikan. Bahwa kekuatan tak selalu hanya menjadi milik laki-laki, dan keberanian bisa mengantarkan siapa saja meraih kemenangan.
Di ujung cerita, ureueng tuha acap menyisipkan pesan, "Gata, hai gam, bek taloe ngoen ureung inoeng," untuk melecut anak laki-laki dapat menggali kemampuan terbaiknya.Untuk menyadarkan mereka, bahwa kelak mereka akan menjadi pemimpin, tak hanya di keluarganya, tapi juga di tengah masyarakatnya.
Sedangkan kepada aneuk inoeng juga akan dibisikkan kalimat yang sejatinya senada dengan itu, "Hai gata dara, bahpih gata inoeng, tapi gata haroeh kuat, beucaroeng, bek leumoh" agar anak gadis mereka pun menjadi perempuan kuat dan cerdas, karena di tangan lembut merekalah ada kekuatan untuk tumbuhnya anak-anak terbaik, dan mereka sendiri kelak tetap bisa menjadi bagian penting masyarakatnya untuk menciptakan hal-hal besar.
Cerita kepahlawanan bukan sekadar cerita, tapi dari sanalah nilai dipegang para pahlawan hingga nama mereka abadi meskipun ratusan tahun jasad mereka menyatu dengan bumi. Semoga saja, spirit sang Laksamana pun menyusup kuat kepada perempuan Indonesia, bahwa nama mereka pun kelak dapat abadi dengan segala semangat baik yang mereka tinggalkan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews