Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar bagi kebebasan beragama di Indonesia. Setelah memutuskan Penghayat Kepercayaan dapat ditulis dalam kolom KTP, MK juga akan memberikan dukungan penuh kepada sejumlah aliran kepercayaan lainnya yang selama ini merasa didiskriminasi oleh pemerintah.
Hal tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Dasar 1945 yang berbunyi, "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".
Dengan begitu, apakah penganut kepercayaan lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia akan mendapatkan perlakuan sama seperti penganut Penghayat Kepercayaan dari Riau?
Indonesia memiliki keberagaman yang unik. Dari kebudayaan hingga suku etnis yang begitu banyak. Tercatat, di sejumlah daerah lainnya juga terdapat agama atau kepercyaan yang diyakini lebih tua sebelum Islam, Budha, Kristen Protestas, Katolik, Hindu, dan Kong Hu Cu datang.
Sebut saja seperti di Jawa Barat, sebagaian warga Sunda dan Kanekes masih punya kepercayaan terhadap agama leluhur mereka yang hingga saat ini dipeluk yakni kepercayaan Sunda Wiwitan. Sedang di Lebak Banten, Sunda Wiwitan aliran madrais juga dikenal sebagai agama Cigugur atau/dan ada beberapa penamaan lain di Cigugur.
Kepercayaan lainnya seperti Kejawen juga dapat ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Batak, masyarakat di sana percaya akan kepercayaan Parmalin yang merupakan agama asli mereka. Begitu pula di Kalimantan yang punya Kaharingan dan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara dan Tolotang di Sulawesi Selatan serta Wetu Telu di Lombok dan Naurus di Pulau Seram Provinsi Maluku, dan lain-lain.
Artinya, jika pemerintah ingin mengakomodasi semua kepercayaan yang PepNews.com himpun dari berbagai sumber, agama-agama kepercayaan tersebut di atas harus pula mendapatkan prioritas. Tidak semata hanya ingin mencari sensasi belaka.
Alumnus Antropolog Universitas Indonesia (UI) yang saat ini berdiam di Riau, Rawa El Amady, sebagaimana diberitakan Detik.com, Selasa 7 November 2017, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk memberikan dukungan dengan keputusan MK tersebut. Menurutnya, di Riau masih banyak suku di pedalaman yang selama ini punya kepercayaan sendiri tentang keagamaan,
"Keputusan MK harus dipatuhi semua komponen yang ada, terutama pemerintah daerah, dalam mengakomodasi aliran kepercayaan,” Kata Rawa El Amady.
Rawa El Amady menjelaskan, hingga saat ini di Riau terdapat beberapa komunitas suku yang menerima tekanan baik secara ekonomi dan politik sehingga mereka dengan terpaksa harus memeluk agama yang di telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Padahal, kata dia, komunitas itu sejak turun-temurun telah punya kepercayaan terhadap agama nenek monyang mereka.
Rawa mengatakan, adapun hingga saat ini di pedalaman Riau terdapat suku Akit di Kabupaten Kepulauan Meranti, suku Sakai di Siak, suku Talang Mamak di Inhu, suku Laut di Inhil, dan sebagian lainnya tersebuat di Provinsi Kepri. Selain itu, kata dia, ada pula suku Hutan serta suku Bonai di Kabupaten Rohul.
[caption id="attachment_3650" align="alignleft" width="500"] Kelompok masyarakat Sunda Wiwitan (Foto: Inibangsaku.com)[/caption]
Sementara, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly, melalui pejabat Kemendagri, Widodo Sigit mengatakan, Tjahjo beserta Yosanna telah menyetujui gugatan atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK.
Namun, kata Sigit, Mendagri dan Menkum HAM meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dijadikan dasar legitimasi kebijakan itu, yang disampaikan dalam pendapat hukum/legal opinion pemerintah menanggapi gugatan Penghayat Kepercayaan.
Pemerintah dalam hal ini memohon kepada MK untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusionalitas atas pengaturan terkait kolom agama dalam rangka menentukan arah kebijakan yang lebih baik bagi pemerintah selaku penyelenggara negara.
Namun, apakah dengan berpedoman pada legitimasi dari MK maka semua agama kepercayaan leluhur akan resmi diterima oleh negara?
PepNews.com menelusuri fakta yang menjurus ke arah pembenaran tersebut. Tapi, beberapa sumber tidak berbicara secara gamblang bahwa semua kepercayaan akan di akui secara resmi oleh pemerintah, kecuali “Kolom agama atau identitas keagamaan di KTP adalah sebuah panduan penting untuk menentukan arah pembangunan”.
“Dengan tidak masuknya Penghayat Kepercayaan di kolom agama, maka arah pembangunan tidak maksimal,” kata Tjahjo-Yasonna dalam petitumnya.
Sementara, setelah berpuluh-puluh tahun tidak diakui oleh negara menjadikan para penganut agama Sunda Wiwitan tak menyerah begitu saja. Terbukti pula, para Penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang ada di Kampung Cirendeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, mengaku lega dan puas dengan hasil keputusan Mahkamah Konsitusi (MK).
"Saya lega sekali. Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun kami diakui juga," kata salah satu penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, Eulis Nurhayati (56) tahun di Jakarta, Selasa, (7/11/2017) kemarin.
Ia mengatakan, setelah menunggu begitu lama, akhirnya kini warga Cirendeu yang menganut kepercayaan tersebut bisa berpuas diri, dan ke depannya kolom keagamaan di KTP dan KK mereka tidak lagi kosong tanpa agama.
MK baru saja mengabulkan gugatan pemohon atas pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan yang bertentangan dengan UUD 1945 tentang Agama.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews