Sambal Mantaraman Pak Dwikoen dan Menteri Susi Pudjiastuti

Sabtu, 21 Oktober 2017 | 10:57 WIB
0
621
Sambal Mantaraman Pak Dwikoen dan Menteri Susi Pudjiastuti

Beberapa waktu yang lalu Menteri Susi Pudjiastuti mengejek orang Mantaraman, menunjuk khusus dua kota Jawa yaitu Jogjakarta dan Solo. Konon dua kota ini paling rendah konsumsi ikan lautnya dibanding daerah mana pun di Indonesia.

Menteri Kelautan yang suka menenggelamkan kapal pencuri ikan ini mungkin masygul untuk apa kekayaan laut penghasil protein nabati terbaik itu jadi melimpah, kalau akhirnya tidak dikonsumsi secara merata oleh warga negara Indonesia. Apalagi kedua kota ini merupakan salah satu daerah penghasil "manusia-manusia terbaik" Nusantara.

Masalahnya memang di kedua kota eks Kerajaan Mataram itu, kultur makan ikan laut nyaris tidak dikenal. Baru beberapa waktu terakhir saja, di sepanjang Pantai Selatan kedua wilayah ini muncul nelayan-nelayan tiban yang datang dari daerah lain, terutama Cilacap dan Pangandaran (daerah darimana Susi berasal dan basis mengembangkan bisnisnya).

Susi tidak salah, tapi mungkin ia terlalu memaksakan programnya. Tanpa ikan lautpun Jogja dan Solo memiliki tingkat harapan hidup paling tinggi di Indonesia. Walau mungkin dari tingkat kesejahteraan tidaklah setinggi daerah-daerah "urban" lain, tapi keduanya memiliki kelas kenyamanan hidup yang cukup tinggi.

Ukuran kota yang tidak terlalu besar, gaya hidup yang relatif lebih lamban, dan standar tingkat pendidikan dan kesehatan yang cukup tinggi, keduanya tampak tidak butuh asupan ikan laut. Tapi sesunggunya apakah keduanya sama sekali, tidak tersentuh produk ikan laut?

Ya tentu saja tidak. Produk itu terutama terasi (yang hukumnya wajib ada di setiap pawon ibu-ibu). Terasi ini menjadi bumbu dapur yang terutama digunakan untuk membuat sambal dan beberapa menggunakannya untuk bumbu sayur sejenis gudeg.

Dalam pembuatan sambal, umumnya orang di kedua kota ini dulu menggunakan jenis-jenis ikan kali sebagai campurannya. Di warung angkringan, sejak awal buka: menu pokok sego kucing umumnya hanya ada nasi plus sambel teri. Teri di sini sebenarnya tidak selalu ikan laut kecil-kecil, tapi menunjukkan ukuran ikan-ikan super kecil. Kelas teri!

Tren inilah yang kemudian dibesarkan dengan munculnya banyak sekali kuliner pedas, baik dalam penyajian makanan ringan yang dipedaskan maupun masakan olahan dengan cita rasa pedas. Mungkin ini simbol kehidupan yang makin keras, sehingga rasa pedas adalah sebagian dari "tantangan" yang harus mudah diakrabi. Makin pedas, makin "berdaya tahan". Sehingga dalam banyak penyajian kuliner selalu ada pertanyaan pedasnya level berapa?

Ya mereka bisa seenak-enaknya, kadang yang paling pedas dengan angka paling rendah atau sebaliknya paling besar. Intinya seberapa banyak cabe yang digunakan sebagai bumbu racikan. Di Jogja, Pakde Dwikoen Sastro, sebenarnya ia seorang farmakolog yang sekarang jadi fotografer memahami betul level-level "tingkat kepedasan".

Petualangannya ke berbagai daerah indah di Indonesia memberikan pengetahuan dan pengalaman "mbladog" bahwa ribuan kuliner yang ada di Indonesia itu dipersatukan oleh satu "item" yang sama: sambal! Lama menunggu tak ada yang berinisiatif mengangkat daerahnya sendiri untuk memproduksi sambal khas Jogja. Ia memutuskan untuk menjadi pioner!

Sambal khas Jogja ini, pada dasarnya menggunakan bahan-bahan ikan lokal sebagai daya tarik. Terdiri dari tiga varian, yaitu sambel wader (ini ikan kecil yang dulu adanya di sungai-sungai), sambel welut (belut yang dipanen di sawah), dan sambel urang (ini juga sejenis udang yang ada di sungai-sungai).

Ketiganya menunjukkan ke-khas-an Jogja. Mungkin sejenis sekali santap dua kuliner terlampau: sambal dan lauknya. Karenanya saya suka mengkonsumsinya dengan garingan saja dengan nasi tanpa sayur.

Saya sangat merekomendasikan sebagai penyedap gairah makan, yang hari-hari ini memang akan aneh tanpa sambal di dalamnya. Sambal ini sangat Jogja sekali: ekonomis, nikmat dan sehat!

***