Tradisi Kabur ke Luar Negeri, Sejak Kapan Dimulai?

Minggu, 17 September 2017 | 23:19 WIB
0
760
Tradisi Kabur ke Luar Negeri, Sejak Kapan Dimulai?

Seburuk apapun, opini publik terhadap Soekarno, Soeharto, Habibie, atau bahkan Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah kabur dari masalah.

Kurang kritis bagaimana Soekarno saat ia dijatuhkan, terasing di negerinya sendiri, lalu meninggal dalam kesepian. Dalam sakitnya yang amat, banyak yang menyarankan untuk berobat ke luar negeri, tapi ia tetap tinggal di sini. Ndilalah, cerita yang hampir sama berulang pada Soeharto, setelah ditinggal meninggal istrinya, ia terpeleset mengikuti rayuan seorang menteri (dengan hari-hari omong kosong-nya itu). Mau di-presiden-kan lagi, hanya untuk dijatuhkan.

Dalam kesunyiannya, hingga ajal menjemput, tekanan politik seterunya tak lelah-lelah menuntutnya untuk diadili. Namun dalam masa tuanya, ia tetap bergeming tinggal di Indonesia. Tidak ke mana-mana, karena keteguhannya itu, konon (menurut dagelan Jogja): Indonesia sesungguhnya hanya punya dua Presiden. Karena yang setelahnya, hanya "presiden-presiden pengganti"-nya. Halah!

Dalam riset saya menemukan fakta tradisi kabur ke luar negeri ini dimulai salah satunya oleh Soemitro Djojohadikusumo (yang kemudian dianggap sebagai "begawan ekonomi" Indonesia). Mula-mula ia dianggap terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Semesta.

Kalau benar demikian, bukankah itu sungguh mulia. Karena gerakan melawan pusat ini justru dilakukan mereka yang memperjuangkan kemerdekaan NKRI secara bersungguh-sungguh. Namun kemudian merasa dikecewakan karena "pusat" (baca: Jakarta), hanya ribut melulu memperebutkan kursi jabatan.

Jakarta dianggap tidak melakukan apa-apa untuk memajukan daerah-daerha yang sudah bersedia bergabung dalam "rumah bersama" bernama Indonesia. Realitasnya Soemitro, sesungguhnya terlibat dalam kasus korupsi dan saat itu akan ditangkap oleh Kejaksaan yang sedang menyidiknya. Lagi pula, mana mungkin sebagai orang PSI, ia terlibat dalam pemberontakan yang konon didalangi oleh AS. Itu sama dengan "richting" kiri, tapi belok ke kanan. Halo yang dijawab hola!

Tradisi ini untuk sekedar me-refresh ingatan dilanjutkan oleh salah satu anaknya yang kebetulan terlibat dalam peristiwa yang menyebabkan kejatuhan rezim Orde Baru. Ia didakwa terlibat dalam kasus penculikan aktivis, dan bahkan bagian yang konon tak termaafkan oleh keluarga mertuanya: ia dianggap akan melakukan kudeta justru di saat kritis di bulan Mei 1998.

Walau tidak pernah dijatuhi hukuman fisik, kemudian kariernya terhenti dan ia memilih untuk "kabur" ke Yordania, konon untuk bisnis. Belakangan baru diketahui ia memperoleh perlindungan dari Raja Yordanania yang merupakan sahabatnya. Dia adalah Prabowo Subianto, yang kemudian mendirikan Partai Gerindra, yang sejauh ini prestasinya baru sebatas "bikin gaduh".

Bagian yang istimewa dari kegaduhannya itu, terlacak semakin jelas dalam banyak manuver pra maupun pasca pilpres. Dalam apa yang dalam sejarah politik Indonesia disebut "negative campaign". Strateginya, selalu sama dalam keluarga ini "nabok nyilih tangan" (memikul dengan meminjam tangan orang lain). Hal ini diikuti oleh, orang yang bergandeng tangan dalam barisan ini, ketika berhadapan dengan kasus hukum, memilih melakukan manuver cara yang sama: kabur ke luar negeri. Tak usah disebut siapa saja, terlalu common sense!

Harusnya kita tak habis mengerti, mengapa masyarakat Indonesia sedemikian mudah lupa dan gampang memaafkan. Orang dengan karakter "tinggal glanggang colong playu" (baca: tukang mabal) seperti ini masih juga ada yang percaya.

Kemarin, dalam acara demostrasi yang aneh itu (absurd karena yang didemo isu kemanusiaan, tapi yang diserang kinerja pemerintahan Jokowi). Ia mengatakan pemerintah tidak punya uang, karena itu hobinya berhutang melulu. Ia berlagak imsonia bahwa orang yang mulai membuka keran utang dan menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang adalah ayahnya sendiri.

Keluarga ini telah dua kali (mungkin lebih), "menusuk" presiden-presiden resmi negara ini. Saya tentu tak akan membiarkannya menusuk Jokowi, hanya untuk menuruti nafsunya sekedar memperoleh kekuasaan tertinggi!

***