IQ 200 tapi Sekolam, Cara Menghibur Diri di Kala Terdesak

Minggu, 10 September 2017 | 09:56 WIB
0
586
IQ 200 tapi Sekolam, Cara Menghibur Diri di Kala Terdesak

Bergaul di sosmed itu, meminjam istilah almarhum Soetan Bathoegana; "ngeri-ngeri sedap". Arena uji mental sesungguhnya di zaman kiwari. Setiap penulis serius nyaris di setiap tulisannya, nyaris di setiap patah katanya, harus siap dieditori oleh publik.

Seorang kawan penulis yang saya sukai, Sunardian Wirodono, akhirnya memutuskan untuk menulis hanya untuk "kawan" dan bukan untuk "publik". Karena ia menganggap berurusan dengan "publik" itu melelahkan jiwa, menghabiskan energi, dan terutama membuang waktu.

Dan sejauh ini, ia tetap bisa menulis nyaris sehari tiga-empat kali, dengan tangkapan topik yang bersliweran di dalam otaknya yang saya pikir memang butuh wadah untuk pengungkapan. Dalam hal begini, keputusannya saya anggap sangat bijak.

Bayangkan bila, ia harus melayani satu persatu penanggapnya, yang ujung-ujungnya akan bilang: Anda muslim, sampean sehat, dasar kapir, dan seterusnya. Padahal setahu saya, justru ialah orang yang sangat saleh dan dalam kesehariannya selalu bersikap rendah hati.

Bagi penulis yang baik, sebenarnya menulis jelek itu sungguh sangat sulit!

Karena tulisan yang baik selalu saja lahir dari perenungan, buah dari membaca banyak literatur, hasil diskusi dengan lawan maupun kawan, dan terutama mencoba selalu bersikap berimbang.

Hasil tulisan yang buruk itu tidak akan (hanya) membuat mereka malu pada publik, tetapi terutama pada anak cucunya kelak dan bagaimana sejarah kelak akan mencatat dirinya. Para penulis ini tidak butuh panggung, tapi lebih pada media untuk mengekspresikan "sedikit" pengetahuan dan kegelisahannya.

Sayangnya banyak orang yang berkemampuan baik dalam menulis, karena banyak alasan justru hanya menggunakan sosial media hanya untuk saling berolok-olok. Sehingga sosial media, kadang jatuh harga sebagai wadah kaum pencibir dan kaum nyinyir yang sebenarnya sama sekali tidak mengenal kultur menulis yang baik.

Kasus Dandhy Dwi Laksono adalah salah satu contoh yang paling riil, di mana publik tiba2 kaget membaca tulisannya yang sedemikian panjang dan kritis. Karena selama ini ia sering hanya ngetwit, mengkritisi banyak hal dalam cuitan berkalimat pendek.

Saya banyak belajar dari Ki Hadjar Dewantara di masa lalu, bahwa penjara atau pengasingan atau pelecehan itu bukanlah sesuatu yang terlalu amat menakutkan bagi para penulis. Bagi kelompok penulis asketis seperti ini, justru lebih menakutkan bila ia gagal menyuarakan pendapatnya.

Mereka akan sangat takut jika gagal menunjukkan keberpihakannya, di mana sesungguhnya pilihan mereka berdiri. Dalam kasus, dua orang "bersaudara" ini, Suwardi Suryaningrat dan Nata Surata, keduanya sesama trah Paku Alaman. Walau kemudian keduanya saling bersilang jalan dalam menyikapi bagaimana Indonesia harus "dimerdekakan", namun keduanya terus saling menyayangi dan mendukung.

Walau akhirnya KHD lebih dikenal, dan NS lebih terabaikan. Saya pikir semestinya demikian pula antara kelompok pendukung pemerintah (lepas siapa pun Presidennya) dan yang bukan untuk saling bersikap menghormati. Keduanya akan selalu berpikir, bahwa hanya di tangan merekalah kemajuan yang berarti bisa diperoleh. Walau memang nyata bedanya: yang satu sungguh bekerja, yang satu baru sebatas bersuara,

Dihina, dilecehkan, dikucilkan, dipolisikan bahkan bila akhirnya dipenjarakan adalah bagian yang sebenarnya bukan hal baru dalam dunia tulis menulis. Jika niatnya tulus, data obyektif, pun ia telah mencoba bersikap berimbang. Semua reaksi dan resiko adalah bonus belaka.

Tentu saja, dengan sangat menyesal hal ini mengabaikan para penulis abal-abal, yang hobby-nya sekedar baru menghina, cari massa, butuh perhatian, dan demam panggung.

Mereka-mereka ini kalau terdesak akan berteriak: IQ kamu 200 tapi sekolam. Mereka ini lupa, IQ itu sudah bukan lagi parameter utama kemuliaan hidup seseorang. Karena di luar IQ (Intelectual Quotient), juga masih ada EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), AQ (Advertisy Quotient), CQ (Creativity Quotient), dan seterusnya.

Untuk menjadi bahagia, terus menulis dan konsisten peduli, toh cukup dengan salah satu quotient saja!

***