Sejauh ini Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri telah berhasil mengungkap jaringan penyebar ujaran kebencian dan SARA lewat media sosial. Tiga orang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, yaitu JAS (32), MFT (32) dan SRN (32). Ketiganya terdaftar dalam satu kelompok bernama Saracen dengan cara kerja sistematis dan terstruktur serta telah melakukan aksinya sejak bulan November 2015.
Dari struktur kelompok Saracen yang termuat dalam situs yang mereka kelola sebelum nonaktif, ketiga inisial itu mudah diidentifikasi berdasarkan jabatan atau tugasnya, yakni JAS selaku ketua Saracen adalah Jasriadi, MFT selaku Koordinator Bidang Media dan Informasi adalah Faizal Muhammad, dan SRN sebagai Koordinator Grup Wilayah adalah Sri Rahayu Ningsih.
Ketiga tersangka ditangkap di lokasi yang berbeda, yakni JAS ditangkap di Pekanbaru, Riau pada 7 Agustus 2017, lalu MFT ditangkap di kawasan Koja, Jakarta Utara pada 21 Juli 2017. Sedangkan SRN ditangkap di Cianjur, Jawa Barat pada 5 Agustus 2017. Sedang barang bukti yang disita dari JAS ada 50 SIM Card berbagai operator, 5 hardisk CPU, 1 HD laptop, 4 ponsel, 5 flashdisk, dan 2 memory card. Dari MFT 1 ponsel, 1 memory card, 5 SIM Card, dan 1 flashdisk. Dari SRN 1 laptop + hardisk, 2 ponsel, 3 SIM Card, dan 1 memory card.
[caption id="attachment_2841" align="alignright" width="300"] Sri Rahayu Ningsih[/caption]
Satu dari tiga tersangka yang menarik perhatian adalah SRN alias Sri Rahayu Ningsih. Perempuan yang juga punya nama alias Ny Sasmita ini pada 5 Agustus 2017 lalu ditangkap oleh Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri di Cianjur.
Sri diketahui bertugas sebagai koordinator wilayah jaringan penebar ujaran kebencian dan SARA bernama Saracen itu. Saat itu Sri ditangkap karena terbukti telah menghina Presiden Joko Widodo melalui postingan di Facebook selain menyebarkan ujaran kebencian, mempertentangkan SARA dan berita bohong atau hoax.
"Iya, SRN itu Sri Rahayu Ningsih. Di Saracen sebagai koordinator wilayah Jawa Barat," demikian dijelaskan Kasubag Ops Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri, AKBP Susatyo Purnomo di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu 23 Agustus 2017 sebagaimana dikutip Merdeka.com.
JAS selaku ketua Saracen merupakan otak kejahatan siber ini dan memiliki kemampuan di atas rata-rata anggotanya, misalnya memiliki kemampuan untuk me-recovery (memulihkan) akun anggotanya yang diblokir dan bantuan pembuatan berbagai akun baik yang bersifat real, semi anonymous, maupun anonymous.
MFT bertugas memproduksi dan menyebarkan konten ujaran kebencian bernuansa SARA melalui sejumlah media sosial, khususnya Facebook. Dia jugalah yang mengunggah meme atau foto editan bernuansa kebencian melalui akun pribadi miliknya.
Sedangkan SRN melakukan ujaran kebencian dengan mengunggah posting atas namanya sendiri maupun membagikan ulang posting dari anggota Saracen menggunakan akun pribadi dan beberapa akun lain yang dipinjamkan oleh JAS.
Media sosial yang dikelola kelompok Saracen antara lain di Grup Facebook bernama Saracen News, Saracen Cyber Team, dan situs Saracennews.com dan berbagai grup lain yang menarik minat warganet untuk bergabung. Jumlah akun yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun.
Dari hasil penyelidikan sementara polisi, diketahui tiga tersangka ini dengan sengaja membuat konten media sosial berupa ujaran kebencian dan SARA yang kemudian dijadikan ladang bisnis Saracen. Keuntungan yang diraup pun tidak sedikit. Konten ujaran kebencian disesiakan dengan isu yang tengah berkembang, kemudian kelompok Saracen ini menawarkan jasa atau produk mereka itu dalam bentuk proposal dengan nilai penawaran mencapai puluhan juta rupiah.
Siapa klien Saracen?
Sejauh ini pihak kepolisian belum menyebut siapa saja yang menjadi klien (pelanggan) atau sasaran kelompok Saracen dalam pasar jual beli konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA ini. Polisi juga terkesan hati-hati dan tidak ingin berspekulasi mengenai adanya kemungkinan politisi yang menjadi pemesan konten terlarang tersebut untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Namun Harian Kompas edisi Jumat 25 Agustus 2017 yang mengutip keterangan JAS menyebutkan, kelompok Saracen dibentuk setelah pertemuan puluhan anggota sebuah grup pendukung salah satu kandidat dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu. Disebutkan, setelah berinteraksi melalui Grup Facebook, mereka bertemu pada pertengahan 2015 di Jakarta Utara. Koran ini menyebutkan pula, JAS datang dari Pekanbaru untuk pertemuan itu.
Dengan keterangan JAS yang menyebut kelompok Saracen merupakan salah satu grup pendukung kandidat Presiden, sepak-terjang kelompok ini sangat bersinggungan dengan dunia politik. Dengan ribuan, puluhan atau bahkan ratusan ribu akun yang mereka miliki, mereka menjadi "superpower" dalam menayangkan konten dengan isu yang panas, yang membelah publik menjadi pro atau kontra terhadap suatu isu.Motif kelompok Saracen selain ekonomi, juga politik. Mereka tidak peduli bangsa ini berkelahi, negara hancur berantakan, yang penting bagaimana bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis media sosial ini. Bila perlu antarpemeluk agama diadu, bahkan membenturkan di antara pemeluk agama yang sama.
Tidak aneh jika di antara mereka ada yang bertugas menjelek-jelekkan Islam, Katolik, merendahkan serta menghina suku dan ras tertentu, dan isu yang mengaduk-aduk emosi publik. Jumlah nominal hasil kerja yang ditawarkan Saracen sebagaimana dikemukakan pihak kepolisian bisa mencapai Rp100 juta dalam setiap proyek ujaran kebencian dan SARA.
Ada supply ada demand, itu hukum ekonomi. Suplier konten bernuansa SARA, provokatif, dan menyebarkan berita bohong sudah tertangkap polisi. Adalah penting bagi aparat kepolisian untuk mengembangkan kasus ini dengan menangkap demand alias orang-orang atau organisasi yang memakai jasa kelompok Saracen.
Ini penting, sebab sebagian besar politisi adalah orang-orang yang menganut prinsip "menghalakan segala cara" demi meraih kekuasaan, sehingga mereka tidak ragu menggunakan jasa Saracen, bahkan untuk membenturkan kelompok massa sekalipun.
Eggi Sudjana membantah
Pengacara Eggi Sudjana yang namanya tercantum di struktur pengurus kelompok penyebar konten ujaran kebencian dan SARA itu selaku Dewan Penasihat membantah terkait Saracen. Eggi menyebutnya sebagai fitnah dan mengaku baru mendengar kelompok Saracen dari pemberitaan media. "Saya justru bertanya kenapa ada nama saya di situ?" kata Eggi sebagaimana dikutip Kompas.com, Kamis 24 Agustus 2017.
[caption id="attachment_2839" align="alignright" width="300"]
Eggi Sudjana (Foto: Pojoksatu.com)[/caption]Pada struktur kepengurusan Saracen, Eggi bersanding dengan nama beken lainnya, yakni Mayjen (Purn) Ampi Tanudjiwa sebagai Penasihat. Terhadap Ampi, Eggi mengaku kenal dengannya yang disebutnya bertetangga di Bogor. Ia menyebut Ampi sebagai "senior" tetapi menyangkal Ampi sebagai Penasihat di Saracen. Eggi kemudian meminta pihak kepolisian menyelidiki kenapa namanya bisa dicatut dalam kepengurusan Saracen.
Di lain pihak, Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polro Kombes Pol Awi Setiyono meminta pihak-pihak yang disebutkan namanya dalam kepengurusan Saracen untuk mengklarifikasi. "Kalau memang tidak benar, klarifikasi saja," kata Awi seraya menambahkan, rencananya penyidik akan meminta keterangan dari orang-orang yang namanya tertera dalam struktur kepengurusan Saracen.
Istana Kepresidenan sebagaimana disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo mengapresiasi kinerja Polri yang sukses mengungkap kelompok Saracen. Istana berharap Polri sekaligus mengusut secara tuntas perkara penyebaran konten negatif itu.
Johan menyebutkan, apa yang dilakukan Saracen tidak hanya bertabrakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, melainkan juga merusak persatuan kesatuan bangsa kalau itu dibiarkan. Polri diharapkan mengusut tuntas kasus ini sampai ke akar-akarnya.
Namun demikian Johan tidak merinci apakah mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya yang dimaksudkannya itu termasuk mengusut kelompok politik tertentu yang memesan jasa Saracen. Ia berkilah, pihak kepolisian yang lebih tepat menjawab hal tersebut.
Artinya, bola panas masih ada di tangan kepolisian.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews