Mari Berhitung Siapa Calon Lawan Jokowi di Pilpres 2019!

Jumat, 21 Juli 2017 | 09:06 WIB
0
539
Mari Berhitung Siapa Calon Lawan Jokowi di Pilpres 2019!

Diwarnai aksi "Walk Out", Dewan Perwakilan Rakyat RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu untuk dijadikan Undang-undang pada lewat tengah malam atau pergantian hari Kamis ke Jumat dinihari, 21 Juli 2017. Empat fraksi yang memilih RUU Opsi B, yaitu presidential threshold 0 persen, melakukan "WO".

Empat fraksi yang melakukan "WO" adalah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. Mereka "melawan" enam fraksi pendukung pemerintah, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golongan Karya, Parta Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Hanura.

Karena Opsi B dianggap kalah dengan aksi "WO" itu, maka secara aklamasi DPR memilih opsi A, yaitu presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. Dalam rapat paripurna yang berlangsung panas meski di luar Gedung DPR berhawa dingin, enam fraksi menyetujui opsi A, yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Yang memimpin sidang adalah Ketua DPR Setya Novanto yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi e-KTP. Ia mengambil alih palu sidang yang ditinggalkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon karena berasal dari Gerindra, salah satu partai yang melakukan "WO".

Uniknya, wakil ketua DPR lainnya yang sangat kontra dengan pemerintah khususnya menyangkut KPK, Fahri Hamzah, justru menemani Setya Novanto saat mengetukkan palu. Belakangan Fahri beralasan, sidang paripurna DPR tidak akan sah jika hanya dipimpin satu orang ketua DPR tanpa wakilnya.

"Apakah Rancangan Undang-Undang Pemilu bisa disahkan menjadi undang-undang?" tanya Setya Novanto, yang langsung dijawab seruan khas peserta paripurna DPR, "Setujuuuuu..."

Setya kemudian mengunci sidang dengan mengetokkan palu tiga kali, pertanda Rancangan Undang-undang itu telah sah menjadi Undang-undang Pemilu. Tetapi benarkah hasil sidang paripurna DPR itu dinyatakan sah? Mahkamah Konstitusi nanti yang akan menguji dan menentukannya.

Bukan perkara sah-tidaknya keputusan sidang paripurna DPR itu setelah MK meninjau dan memutuskannya yang menarik perhatian, melainkan berhitung siapa kiranya calon presiden lawan presiden petahana Joko Widodo pada Pilpres 2019 nanti.

Boleh jadi calon lawan terkuat Jokowi, panggilan Presiden RI, masih Prabowo Subianto. Tetapi yang lebih menarik lagi adalah siapa calon pendamping Prabowo untuk melawan Jokowi pada Pilpres 2019 nanti?

Tidak mudah menentukan siapa yang bakal menjadi calon wakil presiden alias pendamping calon presiden nanti di antara keempat partai yang dinihari tadi melakukan aksi "WO". Mengapa? Karena presidential threshold 20 persen itu bukan perkara gampang.

Mari kita mulai berhitung dan menimang-nimang!

Partai Demokrat yang memperoleh 10,19 persen (perlu mencari teman koalisi), tentu tidak akan tinggal diam mengingat partai berlambang mirip Mercy ini sudah sangat menikmati betapa enaknya berkuasa selama 10 tahun di Istana. Selain itu, perolehan suaranya yang beda-beda tipis dengan Gerindra memungkinkannya punya posisi tawar yang tinggi.

Sekadar mengingatkan, pada Pilpres 2004 dan 2009, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, sukses menggulingkan dua kali rival berat yang sama, yaitu Megawati Soekarnoputri dari PDIP, untuk menjadi Presiden RI selama dua periode.

Atas "kemewahan" kekuasaan yang pernah diperolehnya, Partai Demokrat tentu tidak akan tinggal diam, minimal membidik posisi calon wakil presiden jika kharisma Prabowo masih sangat besar. Apalagi, Agus Harimurti Yudhoyono telah digadang-gadang sebagai "The Rising Star" usai terjungkal di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu. Bagi Partai Demokrat, syukur kalau keputusan akhir justru justru calon presiden dari partainya yang bakal menantang Jokowi nanti.

Persoalannya, Partai Demokrat yang hanya memiliki 10 persen harus mencari teman koalisi agar mencapai 20 persen presidential threshold yang ditentukan. Jika berteman dengan PAN yang hanya punya 8 persen, belum cukup untuk mengusung calon presiden sendiri. Partai Demokrat harus membujuk satu partai lainnya antara PKS atau Gerindra.

Tentu saja Gerindra belum tentu mau diajak berkoalisi oleh Partai Demokrat. Persoalannya saat bergabung dengan PKS yang memiliki 6,7 persen, Gerindra yang memiliki 11,8 persen, belum cukup untuk mencalonkan diri karena jika dijumlahkan hanya mencapi 18,5 persen.  Terpaksa dua kekuatan ini harus menarik PAN ke dalam koalisinya untuk meninggalkan Partai Demokrat sendirian.

 

PKS dan PAN juga tidak mau kalah bersaing memperebutkan posisi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo. Sebab, hanya dengan minimal koalisi tiga partai sajalah Prabowo (atau siapapun) dapat memenuhi syarat presidential threshold 20 persen sebagaimana telah disahkan dinihari tadi.

Cukup bikin pusing kepala, bukan?

Tetapi percayalah, politik bukanlah barang statis atau "harga mati". Selalu dinamis dan ada saja peluang atau terobosan yang dinamai "seni berpolitik", politics as art. Tetapi itu nanti.

***