Partai Golkar Kini Berganti Nama Jadi Partai "Golongan Karaeng"

Selasa, 18 Juli 2017 | 21:57 WIB
0
601
Partai Golkar Kini Berganti Nama Jadi Partai "Golongan Karaeng"

Guyonan politik kekinian menyebutkan, Partai Golkar bukan lagi Partai Golongan Karya, melainkan Partai Karaeng. Lho kok bisa? Sebab Partai Golkar kini dipegang oleh "duet pria" asal Makassar, Sulawesi Selatan, yaitu Nurdin Halid selaku ketua harian dan Idrus Marham sebagai sekretaris jenderal.

Pada periode 2004-2009, Partai Golkar juga dipimpin politisi Sulsel, Jusuf Kalla. Karaeng adalah sebutan bangsawan Makassar sebagaimana Puang untuk bangsawan Bugis. Sebenarnya dua politisi Golkar ini masing-masing dari Bone dan Pinrang, dua kabupaten di Sulawesi Selatan.

Kemungkinan niknya "duet" Nurdin Halid dan Idrus Marham tidak lepas dari telah ditetapkannya Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP atau KTP elektronik, Senin 17 Juli 2017 lalu. Hari Selasa ini atau sehari kemudian dalam jumpa pers, Setya menyangkal telah melakukan korupsi e-KTP apalagi dengan jumlah yang fantastis.

"Jadi masalah Rp 574 M (miliar) itu saya tidak pernah menerima. Ini 'kan uang yang sangat besar sekali Rp 574 miliar, bawanya pakai apa, transfernya bagaimana, uangnya di mana? Besar sekali," kata Setya Novanto. Menarik, meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Setya menyatakan tidak akan mundur selaku Ketua DPR.

Alasan dirinya tidak bersalah, Setya menyebut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dan Andi Narogong telah mencabut tuduhan bahwa dirinya menerima aliran uang di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) persidangan kasus korupsi e-KTP, 3 April 2017. Setya menyebut pernyataan Nazaruddin itu sebagai "fakta persidangan".

Fakta politik yang terjadi, Setya tidak serta-merta menyatakan mundur selaku Ketua Umum Partai Golkar sebab organisasi internal tidak menghendakinya. Bahkan, tidak pula Setya berkehendak mundur selaku Ketua DPR sebagaimana yang pernah dilakukannya pada Desember 2015 saat yang bersangkutan terkena kasus Freeport atau yang lebih dikenal sebagai kasus "Papa Minta Saham".

Namun fakta yang sulit dielekkan adalah, bahwa dengan penetapan Setya selaku Ketua Umum Partai Golkar, tercatat sudah empat ketua umum partai politik terlilit kasus korupsi.

Mereka adalah Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Isaaq, Ketua Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Tiga ketua umum partai politik itu kini telah menghuni Lapas Sukamiskin, lapas khusus koruptor, dengan kasus korupsi yang berbeda-beda.

Apakah Setya Novanto akan berhasil lolos dari jerat hukum KPK dalam kasus e-KTP atau justru bakal menyusul "kolega-kolega"-nya mantan penghuni Gedung DPR di Lapas Sukamiskin yang beberapa waktu lalu sudah dikunjungi anggota dan ketua Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Humor politik  menyebutkan, berkunjungnya Pansus Angket itu tidak lain untuk melihat bakal sel dimana nanti Setya ditahan.

Itu kalau Setya "meyerah" dan tidak berkutik atas bukti-bukti yang disodorkan KPK mengingat selama ini Setya selalu lolos dari lubang jarum hukum yang menjeratnya.

Misalnya dalam kasus PON Riau, KPK sempat menggeledah ruangannya di lantai 12 Gedung DPR. Penggeledahan dilakukan dalam upaya mengembangkan kasus korupsi yang sudah menjerat mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Rusli juga politikus Partai Golkar. Setya membantah terlibat kasus ini.

Setya juga pernah didalami KPK untuk kasus korupsi Akil Mochtar, meski sebatas sebagai saksi. Jauh sebelumnya, Setya disebut terindikasi kuat terlibat dalam perkara Cessie Bank Bali. Namanya dikaitkan dengan PT Era Giat Pratama, pemenang penagihan piutang dari Bank Bali. Namun dalam kasus yang disebut-sebut merugikan negara Rp546 miliar  itu Setya diberi hadiah SP3 oleh pihak Kejaksaan Agung pada tahun 2000, padahal sebelumnya ia telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kembali ke Partai Golkar yang kini di bawah kendali "duet" politisi Sulawesi Selatan alias Partai Golongan Karaeng, akankah menuruskan dukungan lamanya kepada pemerintah Presiden Joko Widodo, mengingat pada masa kepemimpinan Setya, Partai Golkar mendukung Jokowi untuk Pilpres 2019?

Sepertinya Golkar akan tetap menjadi partai penguasa. Bukan fitrahnya Golkar sebagai partai oposisi meski pernah dicobanya dalam sekejap mata. Meski Setya Novanto tumbang di tangan KPK, Golkar di bawah duet Nurdin-Idrus tetap akan mendukung Jokowi, kecuali ada badai atau puting beliung politik di saat-saat akhir jelang Pilpres 2019 yang menawarkan kue lebih manis lagi.

Di saat itulah Partai Golkar tidak lagi menghitung langkah, tetapi menempuh "gambling" alias berjudi untuk sebuah kekuasaan berikutnya.

***