Mari bicara uang sebentar, walaupun mungkin benda ini paling sering kita pikirkan. Sedikit bicara, banyak berpikir lebih baik, agar negeri ini tak terlalu ribut dan otak pun lebih terlatih.
Di Inggris sana, di negeri yang belum pernah saya kunjungi itu--karena tak terjangkau angkutan kota yang sehari-hari akrab dengan saya di Jakarta--pernah muncul protes keras yang terjadi justru setelah peluncuran uang.
[irp posts="2336" name="Jakarta, Rumah Tangga yang Terlalu Ribut"]
Saat itu, penyebabnya hanyalah bahan yang digunakan untuk pembuatan uang itu sendiri yang disebut-sebut menggunakan lemak hewan. Sedikit berbau agamis juga, karena alasan mereka yang protes, bahan yang digunakan itu merupakan sesuatu yang dirasakan menghina agama mereka.
Protes itu sempat berembus kencang. Namun pihak bank sentral negara kerajaan itu memilih tenang di tengah keributan, daripada menambah keributan dengan turut ribut lagi. Akhirnya uang senilai 5 poundsterling itu pun tetap saja beredar luas, dan tetap juga digunakan mereka yang membutuhkannya. Mungkin mereka tahu, seribut apa pun orang-orang, mereka tetap takkan bisa tenang jika tanpa benda itu. Sepertinya begitu.
Mari bicara uang sebentar, walaupun mungkin benda ini paling sering kita pikirkan. Sedikit bicara, banyak berpikir lebih baik, agar negeri ini tak terlalu ribut dan otak pun lebih terlatih.
Kenapa yang mengatakan begitu? Karena sudah terlalu banyak hal diributkan. Urusan pabrik roti pun sudah menjadi alasan untuk ribut-ribut, saking tak lagi diketemukan alasan lebih elegan untuk ribut. Maka itu, sebelum ribut lagi karena peluncuran uang baru oleh Bank Indonesia, saya bicaralah sebentar. Sekali lagi, sebentar saja.
[irp posts="2324" name="Ummat Kian Terusik, Desakan Revolusi Mulai Merebak"]
[caption id="attachment_2131" align="alignleft" width="300"] Pengungsi Rohingya (Foto: Kaskus.com)[/caption]
Kenapa? Karena potensi ribut-ribut itu juga ada setelah uang-uang dengan berbagai nominalnya itu diluncurkan per hari Senin (19/12). Maklum, di sana adalah beberapa tokoh yang notabene berlatar belakang berbagai agama.
Apa yang salah dari tokoh berlatar belakang agama? Ya, tak banyak salahnya, dan memang tak ada salahnya, memang. Yang salah hanya karakter sebagian pemeluk agama, yang alih-alih menjadi lebih tenang dengan “keyakinan” yang konon dikirim Tuhan lewat para nabi, justru lebih sering terlihat tidak tenang.
[irp posts="2289" name="Apa Penting dan Perlunya Berpikir Minoritas?"]
Ya, bukan agama yang salah. Tak ada agama yang salah—setidaknya berdasarkan keyakinan masing-masing pemeluknya. Yang menyalahkan agama-agama, terutama yang berbeda, biasanya memang hanya menemukan cara meyakinkan dirinya dengan menyalahkan agama lain.
Kembali ke uang, meski uang bukanlah sebaik-baik tempat kembali.
Benda itu sudah diluncurkan lagi dan kembali bersama gambar wajah para pahlawan. Walaupun paa pahlawan itu sama sekali tak berharap wajah mereka dipampangkan di lembar-lembar rupiah, setinggi apa pun nominalnya.
Toh, bagi para pahlawan itu, berhasil mengantarkan negerinya ke tempat terhormat sebagai negara merdeka sudah menjadi puncak kehormatan, terserah penerusnya akan menghormati atau tidak.
Tapi sekali lagi, dihormati dengan cara dicantumkan gambar mereka di lembaran uang atau koin, bukanlah impian mereka. Mimpi mereka hanya merdeka, hidup terhormat, dan mati dengan terhormat—tidak mengambil uang negara, tidak mengeruk uang negara.
Walaupun memang, mereka mungkin di sana tahu, bagi penerusnya, ada sebagian yang mengukur kehormatan diri sendiri dengan uang. Jadi, ada yang tak menyoal dari mana dan bagaimana mendapatkan uang, karena dengan banyak uang saja sudah terhormat. Ah, kita jangan ada yang seperti ini, cukup dengan mencari uang sebanyak-banyaknya tapi tetap hidup dengan cara-cara terhormat selayaknya manusia—tak hanya diukur dari uang itu.
Lalu di mana potensi ribut-ribut dari peluncuran uang terkini? Ya, karena jika dikait-kaitkan dengan agama. Kita dikotak-kotakkan dengan sesuatu yang tak bisa kita pilih sejak lahir, kecuali dikenalkan, didikte dengan suatu ajaran diyakini orangtua kita sendiri secara terus-menerus, hingga kita pun teryakinkan bahwa kita adalah pemeluk agama itu. Kita pun gandrung menempatkan apa saja yang ada kesamaan dengan kita di atas yang tidak sama.
[irp posts="2284" name="Manekin Kebablasan"]
Di situ, ya itu, sehingga soal tokoh mana beragama apa pun bisa menjadi celah untuk diributkan. Termasuk si tokoh itu ditempatkan di lembaran rupiah mana pun akan menjadi sasaran gugatan dan keributan. Jika kebetulan satu tokoh berada di bawah nominal untuk tokoh lainnya, ada saja yang merasa direndahkan .
Padahal soal tinggi rendahnya, tidaklah diukur dari angka di uang itu. Toh, mereka para pahlawan itu tetap saja sama-sama mulia dan terhormat, terserah mereka mau dicantumkan di uang mana saja atau bahkan tidak dicantumkan sama sekali. Apalagi dengan bejibun pahlawan di negeri ini, tentu tak seluruhnya terwakili oleh nominal rupiah yang memang terbatas. Tentunya yang tak tercantum di uang itu pun tetap terhormat.
Pertanyaannya hanyalah apakah kita masih tetap bisa menjaga kehormatan itu, terutama saat lembar demi lembar rupiah itu masuk ke kantong atau rekening kita? Atau jangan-jangan kita yang justru betul-betul menutup mata atas nilai kehormatan karena begitu fokusnya pada nilai rupiah? Yang jelas, para pahlawan itu adalah manusia terhormat, dan sepantasnya kita mengikuti jalan mereka yang terhormat. Nilai mereka sebagai manusia, bukan nilai uang yang kerap menihilkan kehormatan manusia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews