Selasa pagi menjelang pertengahan Desember ini, satu drama menarik terjadi di jalan raya. Seorang perempuan bernama Dora Singarimbun, membawa nama salah satu lembaga tinggi negara, membentak hingga memaki seorang polisi yang sedang bekerja. Tak cukup itu saja, aksi menjurus kekerasan pun terjadi, dan korbannya justru polisi itu sendiri.
Polisi bernama Sutisna itu menuai sanjungan dari puluhan ribu netizen. Kemampuannya mengendalikan diri saat dirinya menjadi sasaran aksi tak mengenakkan di depan umum, mengundang kagum banyak orang. Bahkan lembaga Polri pun memberikannya penghargaan khusus. Sesuatu yang memang sangat pantas dia dapatkan.
Celakanya, bagi ibu dua anak yang menjadi pelaku aksi tak pantas itu, yang justru menjadi sasaran bully, baik berbentuk hujatan hingga makian yang tak kalah sadis dibandingkan yang diucapkannya kepada polisi tadi.
Hukum aksi-reaksi terjadi. Polisi bernama Aiptu Sutisna memilih berdiam diri dan membiarkan dirinya menjadi sasaran kekerasan verbal dan fisik. Dia tidak membalas. Tidak ada reaksi. Tapi reaksi itu justru lahir dari orang-orang yang seketika jatuh cinta kepadanya.
Polisi Sutisna pun menjadi semacam idola baru.
[irp posts="2198" name="Soal Aksi 212 Polisi Lebay, Ini 4 Prasyarat Terjadinya Makar!"]
Keteladanan. Itulah yang mampu diperlihatkannya, dan mampu memengaruhi alam pikir ribuan orang yang menyaksikan kesabarannya saat berhadapan dengan Dora.
Sutisna tak hanya telah memberi teladan kepada para aparat kepolisian lainnya tentang bagaimana bersikap ksatria, bersikap sebagai lelaki, dan bersikap sebagai manusia. Dia juga mengajarkan tentang kesabaran yang berbuah manis.
"Kalau pribadi saya, sebesar apa pun kesalahan orang, kalau minta maaf pasti saya maafkan. Mungkin Ibu Dora karena khilaf atau ada masalah. Alhamdulillahnya ketemu sama saya. Kalau ketemu yang lain, enggak tahulah apa yang terjadi," ujar Sutisna, seperti dilansir KOMPAS.com.
Pelajaran yang dibawa olehnya itu menarik. Dia tak perlu harus berkhutbah atau menggurui siapa-siapa. Dia memberi pelajaran justru lewat diamnya.
Itu yang membuatnya kebanjiran simpati dari publik.
Iseng. Saya sempat melongok Instagram pelaku kekerasan kepadanya, Dora. Pagi hari keesokannya, akun jejaring sosial berbasis foto miliknya masih bisa diakses. Di sana ada foto-foto yang menunjukkan keceriaannya dengan teman hingga keluarga, tak terkecuali anaknya. Tapi, melihat lebih utuh, kegembiraan dipamerkannya di akun tersebut kontras dengan yang terjadi.
Ya, berbagai hujatan tertuju kepadanya. Hujatan yang, sekali lagi, betul-betul tak kalah dibandingkan makian yang dia lontarkan kepada polisi yang sedang bertugas di tengah terik matahari menjelang siang.
Satu sisi, Dora memang memanen follower hingga ribuan hanya dalam hitungan satu hari. Sebuah "berkah" yang bagi sebagian orang harus menggunakan tenaga mesin tertentu untuk menyedot jumlah follower. Dia mendapatkan begitu saja.
Tapi justru di situ juga terlihat bahwa berkah dan musibah itu berdekatan.
Bagaimana tidak, saat follower-nya mendekati angka 5 ribuan, jumlah sumpah sumpah serapah tertuju kepadanya justru puluhan ribu. Di situ, saya pribadi mencoba membayangkan, bagaimana publik yang marah bertindak. Tak butuh waktu lama bagi sosok Dora sejak mempermalukan polisi yang sedang bekerja, dia menuai hal yang juga berkali lipat memalukan.
Satu persatu komentar di akun Instagram perempuan asal Sumatra tersebut saya baca. Tak ada simpati, kecuali hanya dari kalangan saudaranya saja, yang berusaha menetralkan suasana. Tapi pembelaan dari satu-dua orang terlalu lemah untuk menangkal serbuan ribuan orang.
[irp posts="2289" name="Apa Penting dan Perlunya Berpikir Minoritas?"]
Menjelang tengah hari, saya mendapati akun Instagram Dora pun dikunci, tak dapat diakses lagi, kecuali dengan menjadi follower-nya, dan itupun jika dia berkenan menerima.
Tampaknya dia harus mengambil langkah itu, sebagai satu-satunya cara membentengi akunnya dari banjir makian. Sesuatu yang awalnya pastilah tak disangka-sangka olehnya.
[caption id="attachment_2307" align="alignleft" width="300"] Aiptu Sutisna saat insiden itu terjadi- Gbr: KOMPAS.com[/caption]
Aiptu Sutisna yang awalnya menjadi korban terobati dengan sikap hormat dari masyarakat yang merindukan figur polisi yang bisa menjadi teladan. Sebuah penghargaan yang sangat pantas dia dapatkan atas kemampuannya bersabar, dan tetap menghormati perempuan sekalipun dia sedang menjadi sasaran dua kekerasan sekaligus; fisik dan verbal.
Polisi ini menyindir kita dengan cara sangat bijak. Kita dibuat tersadar, acap kali cepat kehilangan kontrol dan lekas kehilangan kendali atas diri sendiri, saat mendapati hal-hal yang tak menyenangkan. Kita acap kali merasa pantas membalas dengan hal setimpal saat sebuah perlakuan buruk terjadi kepada kita.
Kita menjadi masyarakat yang terlalu gampang marah, tersinggung, dan bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesempatan menyalurkan kemarahan itu. Tak jarang hanya agar kemarahan itu tak terlihat buruk, kita mencari dalih hingga membawa-bawa agama bahkan Tuhan yang dipersepsikan membolehkan marah untuk hal-hal tertentu.
[irp posts="2277" name="Saham Sari Roti, Humor, dan Religi yang Jatuh"]
Sutisna berbeda. Ini polisi istimewa. Pangkatnya yang terbilang rendah jika dibandingkan para perwira di jajarannya, tak membuatnya bersikap rendah. Anggota polisi satu ini justru menunjukkan sebuah sikap yang bahkan belum tentu mampu dijadikan sebagai kepribadian seorang perwira tertinggi sekalipun.
Menarik. Karena lagi-lagi dia menyampaikan pesan-pesan yang membawa pada hal-hal yang memuliakannya sebagai manusia, tanpa harus menggurui.
Itu menjadi hal penting, terlebih di tengah tradisi kekinian di mana seseorang yang dipandang "guru" pun kerap kali hanya dapat berkata-kata dengan bahasa terindah, namun tak mampu menyatukan keindahan itu ke dalam perilaku. Sedangkan Sutisna, sama sekali tidak menabur kata-kata seperti puisi, kecuali hanya dalam aksi yang dapat diyakini berasal dari nurani. Itu kemudian yang memuliakannya.*
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews