Isu Makar Menyatu Dengan Gerakan Anti Ahok

Rabu, 7 Desember 2016 | 12:32 WIB
0
588
Isu Makar Menyatu Dengan Gerakan Anti Ahok

Secara politis, isu makar bagi kalangan aktivis dinilai sebagai modus intimidasi dan sekaligus teror demi menunjukan keperkasaan penguasa. Tindakan represif itu, pelan namun pasti, akan memicu rasa solidaritas dan dukungan publik secara luas.

Apalagi sejumlah tokoh kritis yang kini menjadi korban “fitnah makar” merupakan orang-orang yang selama ini gencar menyuarakan keadilan dan supremasi hukum. Salah satunya menuntut penuntasan skandal BLBI yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.

Selain itu, mereka sangat gencar melakukan perlawanan atas kasus penistaan agama yang diduga melibatkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, yang dinilai kebal hukum dan diduga representasi dari kepentingan “cukong aseng”.

Tokoh-tokoh kritis tersebut adalah Rachmawati Soekorno Putri, pejuang reformasi Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, aktivis 1978 Hatta Taliwang, musisi Ahmad Dhani dan beberapa mantan jenderal TNI.

Tepat tanggal 2 Desember dini hari mereka diciduk polisi dengan tuduhan berencana mendompleng aksi superdamai 212 untuk menduduki Gedung DPR. Tujuannya mendesak Sidang Istimewa dan mengembalikan UU Dasar 1945.

Beberapa jam setelah operasi penangkapan, ketika diminta konfirmasi oleh pers, Presiden Jokowi tidak mau menanggapi, cuma menegaskan: "Tanyakan saja ke Kapolri," ujar Jokowi saat berada di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Sampai sejauh ini pun Presiden lebih memilih diam. Sikap tersebut menimbulkan spekulasi: Apakah operasi penangkapan dan tuduhan makar atas perintah pihak Istana atau merupakan inisiatif Kepala Kepolisian Jenderal Tito Karnavian?

Kapolri menjelaskan, dua alasan utama bagi pihaknya mengambil tindakan tegas. Pertama, sudah ada permintaan dari pihak GNPF MUI sebagai penyelenggara aksi, agar kegiatannya tidak ditunggangi kepentingan politik.

Kedua, Polri berupaya mengambil langkah antisipasi, sebab rencana mengerahkan massa menduduki DPR merupakan perbuatan inkonstitusional yang wajib dihalangi.

"Meng-hijack (membajak), mengambil massa GNPF MUI, kemudian dibawa ke DPR untuk menduduki DPR, melaksanakan Sidang Istimewa, dan setelah itu ujung-ujungnya pemakzulan atau menjatuhkan pemerintah yang sah," kata Kapolri, kepada BBC.com.

Dilema Presiden Jokowi

Lepas dari polemik seputar isu makar, kini publik tengah menunggu keputusan pengadilan terkait kasus pinistaan agama oleh tersangka Ahok. Kasus ini terus bergulir dan diprediksi akan menimbulkan persoalan yang lebih serius. Terlebih bila Ahok dibebaskan!

Merujuk pada aspirasi jutaan ummat Islam melalui aksi superdamai 2 Desember, mendesak agar oknum penista agama harus dipenjarakan. Tuntutan itu didasari oleh opini bahwa Ahok telah terbukti melakukan penistaan terhadap kesucian Al Qur’an.

Gerakan solidaritas ummat Islam untuk sementara berlangsung damai, namun bila pengadilan memutuskan Ahok tidak bersalah, tentu sulit dibayangkan. Tegasnya ummat Islam merasa telah dizalimi dan dipermalukan, akibatnya situasi politik kembali mendidih.

Keputusan pengadilan menjadi bola panas dan akan memasuki orbit politik yang sensitif serta mengkhawatirkan. Kelompok anti Ahok bakal menuding bahwa Istana dan pihak terkait telah mengintervensi pengadilan demi melindungi penista agama.

Walhasil Jokowi akhirnya terseret ke dalam kemelut politik yang krusial dan dilematis. Apalagi jika potensi kemarahan ummat Islam akan menyatu dengan kelompok oposisi yang tengah menunggu situasi tersebut untuk mendesak Jokowi dilengserkan.

Intinya isu makar, suka atau tidak, kelompok pendukung makar tengah menunggu momentum pengadilan kasus penistaan agama: Yakni bila Ahok bebas maka hal itu akan menjadi pintu masuk untuk menggoyahkan kekuasaan Jokowi.

Apalagi keputusan bebasnya Ahok disambut gempita dan penuh euforia oleh pendukung fanatiknya serta dimanfaatkan sebagai isu kampanye di Pilgub DKI Jakarta. Maka secara otomatis menimbulkan percepatan eskalasi politik.

Hasilnya, kasus penistaan Agama tidak menemukan solusi secara hukum, tapi justru memicu gelombang protes yang lebih besar dan sulit dibendung. Situasi ini barang kali yang membuat pihak Istana bersikap ekstra hati-hati dan mencoba bertindak elegan.

Berbeda dengan gaya arogansi Kapolri yang terjebak dalam manuver kelompok oposisi. Yang sejak awal memang bermaksut memanfaatkan isu makar untuk membonceng aspirasi ummat Islam yang diprediksi akan kecewa dengan keputusan pengadilan!

***

Faizal Assegaf (Ketua Progres 98)

join facebook/faizal.assegaf