Perang asimetris di linimasa terkait demonstrasi 212 yang bakal dihelat di Jakarta hari ini, memang tak bisa dihindari. Demonstrasinya malah sudah lebih dulu ramai di media sosial. Tawuran pendapat dan adu argumen terjadi di kanal-kanal media sosial seperti Facebook dan Twitter. Bahkan, sebagian pertikaian virtual itu menjadi rujukan pemberitaan media mainstream.
Alhasil, mau tak mau, suka tak suka, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis bahkan absurd, antara menjaga silaturahim virtual atau kekeuh membela yang didemo atau pendemo. Kita pun mengikuti alur destruktif theatre of simulacrum yang dirancang para aktor secara terkonstruk.
Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, kerap menegaskan peristiwa semacam ini sebagai simulasi realitas. Tindakan yang lahir dalam term simulacra (hiperealitas), memang bertujuan membentuk persepsi publik yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili realitas persepsi mayoritas.
[irp posts="2168" name="Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan"]
Tindakan semacam ini, percaya atau tidak, memang dijalankan secara terkonstruk, cenderung sporadis namun terukur jelas sasarannya. Para desainer simulacra ini, tentulah profesional. Mereka bekerja dengan cara membuat riakan bahkan keriuhan tanpa memperdulikan pemaknaan dan pertautan simbolik yang logis. Lalulintas persepsi kerumunan yang mandek tanpa tahu sabab-musababnya, itulah goal pekerjaan para kreator simulacra.
Siapa mereka? Dalam istilah political public relations, mereka dikenal sebagai spin doctors; They operate on the public mind. Mereka adalah kreator-kreator keberpihakan. Realitas maupun fantasi yang mereka kelola, akan didistribusikan langsung dalam pikiran kita secara masif lewat kanal-kanal media, dari media arusutama hingga media sosial.
Nah, terkait demo 212 ini, sudah pasti menjadi ruang kerja para spin doctors. Dari 4 tipopologi pengguna internet (diseminator, publisis, propagandis, dan hactivis), dua di antaranya adalah tipe spin doctors yakni propagandis dan hactivist.
Propagandis adalah spesialis “tukang rusuh” yang mampu melegitimasi atau mendelegitimasi isu-isu strategis. Psyco game adalah keahlian mereka dengan target bubble politics. Dari demo 411 pun, para spin doctors klan propagandis ini sudah menyesaki ruang publik dengan kabar-kabar nonakurat dan isu-isu yang menggelinding bak bola salju.
Contoh paling verifikatif, ya, menyoal aksi demo 411 yang dipersepsikan kacau gara-gara polisi yang represif, dan sekelompok perusak taman dan bagi-bagi uang. Terlepas benar tidaknya segelintir isu itu, yang jelas pikiran publik dibelah dua antara pro demonstran dan haters pemerintah. Mereka juga kadang memproduksi ujaran-ujaran kebencian atau gambar-gambar provokatif.
Selain itu ada para Hactivist. Saya sebut tipe ini, “pasukan elite”. Tugasnya berat, salah satunya meretas informasi rahasia, menyebar isu-isu sensitif, dan berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Bisa bayangkan ketika Kepolisian sebagai institusi pelindung masyarakat pun terjebak "kreativitas" mereka soal makar?
Meskipun isu makar itu bagi saya hanyalah "lelucon", tapi isunya mampu memantik sentimen masyarakat tuk lebih solid lagi. Solid dalam ketidakpercayaan publik akan kinerja kepolisian menangani kasus Ahok. Makanya, aksi yang membawa simbol sang legenda Wirosableng ini, langsung disambut secara simbolik sebagai suatu tindakan heroisme bela agama jilid III.
[irp posts="2150" name="Jangan Sakiti NKRI dengan Gerakan Pemisahan atau Pembubaran!"]
Dampak dari kinerja spin doctors ini, dalam teori simulacra dapat dibagi dua;
Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Polisi bekerja atas nama penegakan hukum, namun di sisi lain lamban menangani kasus ini lantaran terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Sudah bukan rahasia umum, delik kasus Ahok ini dianggap tak adil bagi sebagian orang lantaran dianggap ada perlakuan istimewa di mata hukum.
Begitupun para pembela agama yang mengaku "berjihad" melawan penghinaan Alquran, bertindak mewakili agama yang kudus, namun kerap realitasnya berlawanan. Mereka juga tampil sebagai provokator pancasila yang agamais ini. Kerap pula membajiri khutbah-khutbah keagamaan dengan sebaran kebencian atas kaum lainnya. Kadang tindakannya pun melukai adab keberagamaan masyarakat Indonesia yang pluralis ini.
Meski begitu, tak dinafikan juga bahwa sebagian besar peserta dari aksi demo 212 ini pun banyak yang demonstran murni, dimana mereka tidak tersandera kepentingan manapun. Untuk mereka, salut 4 jempol. Juga ada upaya-upaya persuasif dari kepolisian dalam menyelesaikan kasus penistaan agama ini.
Kedua, solusi imajiner yaitu proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan publik. Agak serem, sih, saat kita tak lagi mampu membedakan mana realitas sungguhan dan mana realitas rekaan.
Akibat realitas sungguhan dan realitas palsu sering dihadirkan dalam satu frame, maka keduanya pun menjadi kabur maknanya. Publik tak tau mana yang mesti "diimani" sebagai fakta umum, sedangkan pilihannya cuma dua, menjadi haters atau lovers. Posisi tengah adalah posisi paling rawan fitnah, lantaran dianggap plin-plan.
Jadi, sekali lagi, dalam hal ini, kita mesti lebih bijak memamah informasi yang berseliweran di sosial media dan media-media arus utama. Kesalahan mengonsumsi informasi, berakibat fatal pada obesitas subjektif yang dapat menganggu modal-modal sosial kita. Lantaran termakan berita-berita tak jelas, teman tak kenal, lawan malah disayang.
Hati-hati, para spin doctors itu, berkantor dalam pikiran Anda.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews