Demo 2 Desember; Mencintai Tuhan dengan Cinta, Bukan dengan Benci

Minggu, 20 November 2016 | 22:24 WIB
0
538
Demo 2 Desember; Mencintai Tuhan dengan Cinta, Bukan dengan Benci

Tanggal 2 Desember akan ada lagi aksi turun ke jalan, dengan judul demonstrasi tak jauh-jauh dari motif mendesak adanya tindakan hukum atas penghinaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Di sini, banyak hal patut dipertanyakan dan dilihat ulang, sepadankah antara aksi tersebut dengan masalah diusung?

Itu memang hanya pertanyaan sederhana. Tapi tak ada maksud lain kecuali untuk kita semua yang berstatus kewarganegaraan Indonesia, untuk kembali ke jalan kewarasan. Tak peduli, apa pun agama Anda.

Memang, waras tidaknya status seseorang itu kerap kali bergantung kepada vonis dari psikiater alias ahli jiwa. Tidak itu saja, waras tidaknya, acap kali juga diukur seperti apa sebagian orang melihat sebuah perilaku yang diperlihatkan seseorang.

Sesuatu yang tak biasa, keluar dari kelaziman, acap menjadi alasan untuk memasukkan sesuatu ke dalam kelas bernama ketidakwarasan. Kejam memang, sekilas. Tapi begitulah adanya.

Dapat dipastikan takkan ada yang bersedia dengan bangga menerima ketika disematkan kepada kita, bahwa Anda sudah termasuk orang yang sakit jiwa alias tak waras lagi. Kalaupun iya, maka sisa-sisa kewarasan acapkali melakukan penolakan alih-alih mendeteksi sendiri di sisi mana yang dinilai tidak waras, dan berusaha mengatasinya.

Sebentar. Saya sedang tidak menuduh pelaku aksi itu sebagai sinyal ketidakwarasan. Saya hanya sedang bermain-main sejenak dengan urusan yang berhubungan dengan itu, sebab bukan tak mungkin toh justru saya yang sedang tidak waras.

[irp posts="1886" name="Demo 411 Malah Lambungkan Elektabilitas Virtual Ahok"]

Bagi saya pribadi, mencurigai diri sendiri itu terkadang lebih baik daripada mencurigai orang-orang yang konon baik dan konon lagi saleh-saleh. Mencurigai mereka bisa-bisa membuat saya dikutuk atau apalah. Itu berat, terbukti Malin Kundang yang dikutuk jadi batu, sampai saat ini belum terdengar dia sudah kembali menjadi manusia dan diundang ke talk-show seperti Hitam-Putih yang diasuh Deddy Corbuzier.

Padahal menarik juga, jika kiranya Malin Kundang bebas dari kutukan, dan dia bisa memindahkan kutukan itu kepada Kanjeng Dimas, misalnya.

Kembali ke soal kutukan itu. Tampaknya banyak orang sangat berani, karena konon kutukan itu hanya berlaku di zaman Malin Kundang, sementara sekarang jauh lebih banyak yang mampu mengutuk-ngutuk sampai ke tengah-tengah jalan lengkap dengan microphone, tapi belum ada sih yang sampai jadi batu.

Apakah Malin Kundang telah mengorbankan dirinya agar di masa depan tak ada lagi yang dikutuk sampai jadi batu; tak bisa bergerak, tak bisa buang air kecil atau air besar, dan tak bisa menikmati seperti apa rasanya berbicara menggunakan microphone. Kita tidak tahu, jika di balik kutukan diterimanya ada niat mulia agar tak ada lagi yang dikutuk setelahnya.

Malin Kundang mungkin iri, jika sekarang orang-orang yang gemar mengutuk itu justru sangat populer. Akan sering diangkat berbagai media, ditayangkan di tivi-tivi, dan dibicarakan selayaknya selebriti. Sial memang, saat dia dikutuk tempo dulu belum ada satupun TV yang berdiri. Padahal kan seru, jika proses ia menjadi batu lalu diliput TV-One, misalnya.  Maklum, TV itu memang beda, sih. 

Tapi, begitulah, zaman ini sudah berubah walaupun Malin Kundang lagi-lagi tak pernah berubah walaupun dia mungkin ingin sekali menjadi manusia lagi; bisa ikut demonstrasi, merasakan atmosfer nama Tuhan diteriakkan, sampai dengan pemandangan orang-orang berbaju putih di mana-mana. Apalagi jika Malin Kundang menderita buta warna, maka warna putih lebih menyelamatkan dia dari "aib" dideritanya.

Memang warna putih itu punya pesan sangat kuat. Ada kesucian di sana, dan motivasi termasuk dalam berkarya. Jangan lupa, di masa lalu pernah populer musik jenis kasidah berlirik kira-kira begini, "Jilbab-jilbab putih... lambang kesucian...." Siapa tahu setelah demonstrasi, lagu itu dikenalkan kembali seperti Ahmad Dhani mem-booming-kan lagi lagu Kawin Tiga yang pernah melejitkan nama P. Ramlee di masa muda bapak saya.

Apa hubungan demo 2 Desember, Malin Kundang, dan warna putih?

Ya, memang tidak ada hubungan dekat sih. Apalagi pacaran, tentu saja tak ada sama sekali. Ahmad Dhani yang sering muncul dengan Ratna Sarumpaet pun akan menolak mengatakan ada hubungan antara keduanya. Tapi soal tiga topik tadi, tentu saja masih ada bau-bau kedekatan sedikit. Tidak apa-apalah sedikit, karena sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, kok. 

Nah, sebagai seorang warga negara, ada kebanggaan yang saya rasakan juga, bahwa keran demokrasi di negeri kita ini terbuka dengan baik. Tak ada lagi pengekangan.

[irp posts="1769" name="Narasi Politik di Balik Demonstrasi Bela Agama 4 November"]

Apakah itu sebagai kelebihan atau bahkan bisa menjadi sumber masalah? Ya, tetap saja kelebihan, karena tak banyak negara yang bisa memberikan keleluasaan seperti diberikan negara ini dan pemerintahan di sini. Bayangkan jika "kecerewetan" sebagian masyarakat di sini dipaksakan terjadi di Korea Utara.

Ya, di sana mungkin para demonstran yang terlalu cerewet takkan ditembaki. Saya yakin, tidak akan ada yang ditembak. Paling mungkin, ya di-rudal.

Kenapa? Karena dengan rudal, para prajurit tak perlu berlelah-lelah untuk menyelesaikan keributan yang tak sepadan dengan masalah. Mereka lebih menghemat tenaga. Cukup dengan rudal saja, selesai sudah. Tapi itu bukan saran saya lho ya. Saya cuma sedang melamun jika pemandangan di sini berlangsung di Korea Utara.

Saya sendiri hanya ingin menyorot soal tidak adanya pengekangan atas keinginan sekelompok masyarakat yang ingin menyampaikan tuntutannya, terlepas penting tidaknya tuntutan mereka itu. Ya, itu yang ingin saya sorot.

Apa itu? Masalah di belakang itu, jika keleluasaan tanpa pengekangan, tapi ada kelompok-kelompok masyarakat yang tak mampu mengekang diri sendiri. Jika sudah begini, manusia tetap saja rawan. Maka kenapa kepada mereka yang beragama, di agama mana saja, ada perintah puasa dan itu bertujuan untuk pengekangan diri.

Sebab, berbicara kekang-mengekang, agama pun menyarankan karena memang di dalam otak dan hati manusia itu terkadang memang ada banyak hal yang membutuhkan tali kekang tersendiri. Jika tak terkekang, maka keberingasan, keganasan, ambisi menghancurkan, akan lebih kuat alih-alih berkembangnya pikiran-pikiran yang mengarah kepada hal-hal membangun dan mengangkat peradaban manusia.

Kenapa bisa muncul konflik dan perang? Ya, entah konflik dunia hingga konflik rumah tangga, hampir selalu terjadi karena kemarahan yang tak terkekang. Apalagi jika marah itu dipelihara, lebih bahaya lagi jika kemarahan itu ditularkan, tak terbayangkan seperti apa dampaknya. Apalagi terpeliharanya kemarahan itu berlangsung dalam jangka panjang.

Memelihara kemarahan. Itu sebuah persoalan.

Itu memang seperti tradisi sih di tengah-tengah kita. Dalam beragama, adakalanya terjadi upaya merawat tradisi kemarahan itu dengan menceritakan terus-menerus persoalan sengketa satu agama dengan agama lainnya. Yang satu membicarakan keburukan pemeluk agama lainnya, dan begitu terus menerus.

Apalagi, ada yang berusaha meyakinkan bahwa kemarahan yang seperti itu tuh, adalah sebentuk kemarahan yang diridhai Tuhan. Takkan banyak yang menggugat jika sudah mendengar seperti itu, karena berpikir dengan menggugat itu sama dengan memancing Tuhan buat marah-marah juga.

Jujur saja, sih, jika bos di kantor saja sudah marah-marah, bisa bikin kita gundah, apalagi Tuhan pun ikut marah-marah lagi. Berat sekali. Ke mana lagi kita berlindung jika sudah begitu.

Tapi, akan sangat memikat saya kira, jika kita yang tak alim-alim amat ini bisa bergerak dan menggeser sudut pandang sedikit. Ke kiri sedikit boleh, ke kanan sedikit juga boleh, asal jangan terlalu ke kiri atau ke kanan. Sebab yang terlalu itu tak pernah baik. Misalnya, jika Anda sudah nikah dan ada beberapa hal yang Anda sukai mencapai level keterlaluan itu tadi, maka risiko paling mungkin, sakit pinggang sih biasanya.

[irp posts="1749" name="Tiga Kepentingan Demonstran atas Nama Bela Agama""]

Ya, maksud saya, adakalanya penting juga bagi kita merefleksikan lagi cara kita melihat Tuhan. Jika selama ini kita mengira dengan marah-marah dan memelihara marah akan membuat Tuhan tenang, yuk kita ubahlah. Yang gemar marah-marah itu kan kita saja, karena kita memang sulit mengendalikan diri. Jangan bawa-bawa Tuhanlah.

Tuhan itu kan menguasai segala hal, apalagi dalam urusan menguasai diri. Kita mungkin saja sulit menguasai kemarahan, tapi Tuhan tentu saja tak sulit. Jadi, dengan begitu, kita kurang-kurangilah mencari-cari alasan cuma buat marah. Toh, siapa tahu jika setelah Anda berusaha meredam marah, dan membayangkan Tuhan itu mencintai makhluknya melebihi kasih saya orang tua kepada anak, Anda pun akan dicintai orang-orang.

Jika sudah begitu, berada di level itu, saat Anda telah dicintai oleh sekalian yang di bumi, dan Anda sedang didera masalah kesulitan jodoh, maka di situ Anda akan menemukan calon yang dapat mencintai Anda. Ya, ini sekadar permisalan sederhana sih ya. Tapi memang rahasia, jika yang terbiasa hidup dengan cinta, akan lebih dicintai oleh Sang Mahacinta, dan Dia adalah Tuhan.

Bayangkan saja, jika sekelas Imam Al Ghazali merasakan kedekatannya dengan Tuhan ketika ia menyelamatkan seekor lalat yang jatuh ke dalam botol tintanya. Atau, ada lagi cerita seorang perempuan yang nasib menjebaknya menjadi pelacur, tapi Tuhan tetap menjanjikan surga untuknya hanya karena menyelamatkan anjing. Kenapa kita yang masih banyak dosa ini justru seperti terlalu sulit untuk memaafkan dan melupakan kesalahan orang, ya?

Sebab, sejujurnya saya ragu, dalam urusan demo yang katanya akan berlangsung lagi pada Desember nanti, ada pesan atau surat dari Tuhan yang membenarkan demo itu.

Sebab, dari sekian banyak cerita, orang-orang yang dekat dengan Tuhan biasanya bukanlah orang-orang yang terbiasa dengan keramaian, melainkan justru mereka yang lebih banyak menghabiskan keheningan. Nabi Muhammad, misalnya, diangkat sebagai kekasih Tuhan setelah menghabiskan masa-masa hening di Gua Hira.

Tapi kok pengikut beliau malah lebih suka ribut-ribut begini? Saya juga tak terlalu mengerti. Makin tak mengerti karena saat saya menolak ikut-ikutan ribut, malah ada yang mengklaim saya sebagai kafir. Sementara, setiap kali saya bersujud, menyembah Dia, selalu muncul ilham, "Cintai Tuhan dengan cinta, jangan mencintai Tuhan lewat benci." Mudah-mudahan pesan itu juga datang pada mereka yang juga bersujud. Semoga.

***