Budaya Instan, Bahkan Presiden Pun Harus Ditumbangkan Secara Cepat

Selasa, 15 November 2016 | 19:54 WIB
0
539
Budaya Instan, Bahkan Presiden Pun Harus Ditumbangkan Secara Cepat

Mengapa saat hujan lebat disertai angin kuat yang menerjang kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta selalu diakhiri dengan tumbangnya sejumlah pohon? Jawaban yang paling lumrah adalah; ah, itu fenomena alam biasa, pohon itu memang sudah waktunya tumbang.

Pohon yang bertumbangan di pusat-pusat kota menjadi pemandangan sehari-hari saking rutin terjadi. Demikian ringkihnya, ibarat tertiup angin agak keras sedikit saja sudah tumbang. Padahal, pohon di hutan bertahun-tahun lamanya terkena hujan, badai dan angin puting beliung, tidak pernah terdengar bertumbangan. Ini pasti ada apa-apanya.

Pohon yang bertumbangan menghalangi jalanan utama di kota-kota besar cukup merepotkan petugas dan sering menyusahkan pengguna jalan. Sumpah-serapah berhamburan ketika kendaraan tercekik tidak bisa lewat. Tidak pernah terpikir mengapa pohon-pohon itu ramai bertumbangan.

Dugaan sementara, setidak-tidaknya menurut hemat saya, pohon yang tumbuh, berdiri dan berderet di pinggir jalan itu sering "dipaksa" untuk tumbuh cepat biar tumbuh secara instan. Itu sebabnya di Jakarta ada pedagang pohon yang batangnya sudah sangat dewasa.

[irp posts="1919" name="Transisi Kekuasaan Yang Tidak Sehat, Penguasa Ingin Kembali Berkuasa"]

Ibarat legenda Lara Jongrang, dalam semalam pohon dewasa sudah "tumbuh" berderet di perumahan-perumahan mewah atau pinggir-pinggir jalan protokol itu tadi. Tidak mau menunggu lama tumbuh, ogah mengalami proses. Tentu dengan rekayasa teknologi, bukan tumbuh secara alamiah.

Lantas apa yang diharapkan dengan kekuatan pohon yang batangnya tidak menancap bumi secara alamiah, akarnya yang tidak menjalar mencengkeram tanah mencari air dan unsur hara yang subur? Cuma sekadar estetika alias untuk keindahan instan semata. Bukan dari sisi etika, bioetika, bahwa pohon juga sebenarnya punya hak hidup lebih baik, tidak dipaksa ditanamkan dengan hasil akar-akar yang lemah, batang yang goyah, dan daun yang mudah berguguran bukan pada musimnya.

Pokoknya, Bapak Bupati, Bapak Walikota, Bapak Gubernur, Bapak Presiden, senang dan hepi melihat pepohonan sudah tumbuh cepat di jalan-jalan protokol, tidak peduli pohon-pohon itu hasil pemindahan yang dikerjakan pada dinihari, saat orang-orang tertidur lelap.

Demikianlah nasib pepohonan yang berderet rapi di perumahan mewah dan pinggir-pinggir jalan protokol. Indah secara estetika, tetapi lemah secara bioetika!

Kalau pohon di hutan-hutan bisa bertahan dari serangan hujan dan badai, itu tersebab batangnya menghujam dalam ke tanah, akarnya menggurita menembus tanah yang paling bawah dengan cengkeraman kuat. Dahan dan ranting tidak mudah patah, sedang daun yang hijau hanya mengikuti arah angin saja tanpa harus jatuh berguguran.

Tetapi bagaimana menjelaskan bahwa pepohonan di atas bukit dan kaki gunung seperti di ketinggian kota Bandung mudah rontok dan longsor?

Mungkin pohon itu tidak sengaja ditanam secara instan. Mungkin pohon itu sudah ada sejak lama, sebelum manusia mukim di sekitarnya, membuat bangunan di kawasan yang seharusnya dijadikan area resapan. Memang ada aturan tata ruang dan tata wilayah yang dibuat manusia. Tetapi rupanya aturan dibuat untuk dilanggar.

[irp posts="1738" name="Heiiii... Kembalikan (Ajaran) Budi Pekertiku Itu Padaku!"]

Alhasil, banyak rumah mewah yang berdiri di atas bukit, kaki bukit, puncak dan ketinggian-ketinggian kota Bandung. Rumah ini memang punya rakyat, tetapi rakyat berpunya, yang bisa mengakali aturan tata ruang dan tata wilayah dengan uang yang tidak sedikit. Area yang seharusnya disediakan untuk resapan, dijadikan perumahan mewah yang prestisius. Belum sah rasanya menjadi pejabat teras kalau belum punya rumah atau vila mewah di atas bukit terlarang.

[caption id="attachment_1941" align="alignleft" width="382"] Banjir bandang di Bandung (Foto: Kompas/Rony Arianto Nugroho)[/caption]

Tidak aneh, air yang mengalir dari ketinggian bakal mencari jalannya sendiri. Air yang mengalir deras menuruni bukit dan itu berakhir di jalanan serta perumahan di wilayah yang lebih rendah, kemudian menciptakan banjir bandang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jelas sudah, tanah di atas perbukitan yang sudah disesaki rumah mewah itu kehilangan daya cengkeramnya. Akibatnya hanya satu; longsor.

Bukan hanya banjir bandang, tanah longsor juga kerap menyengsarakan manusia. Tidak sedikit korban manusia tertimbun menemui ajal di bawah longsoran tanah.

Saya kira bukan sekadar alam yang murka, tetapi Allah, Sang Maha Pencipta, juga memberi peringatan serius terhadap ketamakan dan keserakahan manusia yang tidak amanah dalam memegang kekuasaan, mengobral tata ruang dan tata wilayah dengan maksud memperkaya diri sendiri.

Tentu saja bencana yang diakibatkannya tidak cukup selesai dengan merenung atau berdoa. Sabar sudah pasti, wong tidak ada yang bisa dikerjakan selain bermain telunjuk saling tuding dan menganggap ini sebagai cobaan. Memang hanya ini yang bisa dikatakan.

Apa-apa yang serba instan, serba mengobral kuasa untuk memperkaya diri, tidak sabaran dan tidak mau proses, jatuhnya bencana-bencana juga. Prilaku instan ini juga merasuki sebagian orang, khususnya pejabat wa bil khusus politikus.

Saking ingin serba cepatnya, bahkan jabatan lima tahunan Presiden pun ingin segera diakhiri dengan cepat, meski harus dengan cara paksa, makar dan inskonstitusional. Budaya instan pun merasuki politikus yang ingin cepat-cepat menjatuhkan Presiden, sebagaimana hujan dan angin menumbangkan pepohonan.

[irp posts="106" name="Psikologi Mantan"]

Masyarakat akan melihat dan menyaksikan, apakah jabatan Presiden yang kebetulan saat ini dipegang Joko Widodo itu sebagai pohon instan yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan protokol Ibu Kota atau pohon yang secara alamiah tumbuh di hutan belantara.

Jika Presiden Jokowi jatuh hanya melalui tekanan berupa instrumen Parlemen Jalanan dan Parlemen Ruangan, ia tak ubahnya sebagai pohon yang tumbuh secara instan di pinggir-pinggir jalan. Sebaliknya, jika Jokowi mampu bertahan dari terpaan hujan dan badai sampai menyelesaikan lima tahun jabatannya, maka ia ibarat pohon yang tumbuh alamiah di hutan belantara.

Hujan, badai, angin ribut, puting beliung dan bencana yang menekan lainnya akan selalu menghadang di sisa perjalanan kekuasaannya sampai 2019. Tinggal rakyat pandai-pandai menilai, apakah Jokowi itu pohon instan yang tumbuh di pinggir jalan atau pohon yang tumbuh alamiah di hutan belantara.

Yuk nyimak sambil ngemil kwaci!

***