Anda seorang mantan boss besar, bagaimana perasaan Anda jika sejumlah anak buah yang paling penting saat Anda berkuasa satu persatu dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan korupsi yang mereka lakukan saat Anda menjadi atasan mereka?
Tidakkah Anda punya firasat atau gelagat, bahwa sebenarnya yang sedang disasar oleh aparat antirasuah pada pemerintahan sekarang ini perlahan tapi pasti tidak lain Anda juga, sedangkan para pembantu yang ditangkap itu hanya merupakan sasaran antara saja?
Tidak terpikirkah adanya kemungkinan sebuah skenario besar di balik penangkapan itu sebagai upaya meruntuhkan wibawa dan mendelegitimasi Anda selaku seorang mantan?
Inilah serenceng pertanyaan awam yang lumrah terlontar di warung-warung kopi terkait ditangkapnya menteri kelima di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tuduhan mengerikan; korupsi. Baru-baru ini mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan yang pernah "melamar" sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat, juga ditangkap aparat kejaksaan. Dugaan sementara, Dahlan menerima suap dan kasusnya kini sedang ditangani Kajaksaan Tinggi Jawa Timur.
Ditangkapnya Dahlan Iskan menjadi terasa lebih "istimewa" karena dia bukanlah "menteri biasa" di era SBY berkuasa. Dahlan Iskanlah yang menjadi pemenang konvensi Partai Demokrat sebagai bakal calon Presiden RI. Namun karena satu dan lain hal di mana Pilpres 2014 hanya terpolarisasi pada dua kutub Joko Widodo dan Prabowo Subianto, nama Dahlan tak bisa dijual dalam pusaran Pilpres tersebut.
[irp]
Dari lima orang bekas anggota Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY yang bermasalah dengan hukum itu tiga mantan menteri sudah berstatus terpidana dan kini tengah menjalani masa hukuman masing-masing, sedangkan dua menteri lainnya masih jadi tersangka. Sebelum Dahlan diterungku, bekas menteri SBY yang masih berstatus tersangka korupsi lainnya adalah Siti Fadilah Supari. Kini perempuan menteri itu jadi tahanan komisi antirasuah, KPK.
Jauh sebelum Dahlan dan Siti, menteri pertama yang tersandung kasus korupsi adalah Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Ketiga menteri SBY itu oleh pengadilan terbukti melakukan tindak pidana korupsi saat mereka menjabat.
Rincian kejahatan lima menteri SBY itu sebagai berikut;
Menjadi sedikit ironis tatkala pemerintah memberikan rumah bagi mantan Presiden, juga bagi mantan Wakil Presiden baru-baru ini. Presiden SBY mendapat rumah di Mega Kuningan Jakarta, sedangkan mantan Presiden lainnya, Megawati Soekarnoputri, mendapat rumah dari negara di Jalan Teuku Umar.
Di level politik nasional, bersamaan waktunya antara penangkapan dua mantan menteri era SBY dengan pemberian rumah yang tergolong mewah kemungkinan tidak lepas dari komunikasi politik tingkat tinggi.
Ada pesan yang tersembunyi pemerintah (baca: penguasa) atas dua peristiwa yang saling bertolak belakang itu; penangkapan menteri yang diduga korupsi dengan pemberian rumah untuk mantan boss dua menteri yang baru-baru ini ditahan, mengingat pernyataan Dahlan Iskan sesaat setelah ditetapkan sebagai tersangka.
"Saya tidak kaget dengan penetapan sebagai tersangka ini, dan kemudian juga ditahan. Karena seperti anda semua tahu saya memang sedang diincar terus oleh yang berkuasa," demikian persisnya Dahlan Iskan berucap sesaat sebelum ditahan.
"Penguasa" yang dimaksud Dahlan Iskan tidak lain Presiden RI Joko Widodo, sebab tidak mungkin penguasa lainnya seperti level bupati atau gubernur. Tidak mungkin Dahlan diincar oleh bupati atau gubernur, apa urusannya? Kalau demikian, apa urusannya Presiden RI yang sedang berkuasa mengincar Dahlan Iskan?
Politik karambol bisa saja sedang dimainkan elite politik level nasional untuk memberi pesan atau sinyal tertentu kepada SBY. Kelima mantan menteri itu atau kelak keluarga terdekat mantan Presiden SBY bisa saja hanya sasaran antara, sebab sasaran sesungguhnya adalah SBY sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa kesalahan SBY di mata pemerintah yang kini sedang berkuasa sehingga harus dibidik?
Namanya juga penguasa atau orang yang kini sedang berkuasa (on power), selalu punya cara dalam berkomunikasi, baik secara halus maupun terang-terangan. Dalam konteks penangkapan para mantan menteri di era SBY, bisa jadi akan merembet ke hal-hal lainnya dengan sasaran utama SBY.
[irp]
Banyak hal yang boleh jadi ingin disampaikan pemerintah yang berkuasa saat ini kepada orang-orang penting negeri ini. Tax amnesty atau pengampunan pajak, misalnya, bisa saja pesan yang dimaksudkan itu. Pasalnya, belum ada berita yang mengungkapkan adanya mantan menteri, mantan Presiden dan Wakil Presiden yang ikut program tax amnesty. Sebab boleh jadi, di antara mantan pejabat itu memiliki kekayaan berlimpah yang disimpan di luar negeri selama yang bersangkutan berkuasa atau menjabat.
Pesan lainnya tidak jauh-jauh dari kekuasaan itu sendiri. Publik paham betul turun gunungnya SBY ke kancah politik praktis dengan mendorong putranya, Agus Harimurti, sebagai calon gubernur DKI Jakarta, berhadapan dengan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sebagai come back-nya SBY dalam politik praktis dengan tujuan mengincar kekuasaan.
SBY tidak ingin menjadi sekadar "pertapa" di Cikeas. Ia sangat berhasrat untuk berkuasa kembali kendati harus lewat anaknya terlebih dahulu sebagai Gubernur DKI. Setelah langkah ini terlewati dan berfungsi sebagai batu loncatan, langkah berikutnya adalah menjadi calon Presiden termuda sepanjang sejarah pada Pilpres 2019.
Dalam konteks Machiavellian, potensi sedikit saja yang mengancam kekuasaan, maka berbagai cara menjadi sah dilakukan. Dari cara yang paling halus nyaris tak terlihat, sampai cara yang terang-terangan dengan tujuan mempermalukan, mendelegitimasi, membendung, menerungku, sampai menjadikannya pesakitan.
Ya, ini politik, Bung!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews