4 Strategi Kampanye Tanpa Media Ini Perlu Dicoba

Rabu, 19 Oktober 2016 | 05:57 WIB
0
1848

Berbincang mengenai pemilihan umum (Pemilu), baik itu pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan pemilu legislatif, sudah tentu kita dihadapkan pada suatu event yang lumrah yaitu kampanye. Tapi sebenarnya apa itu kampanye?

Mari kita bersandar langsung pada pandangan Roger dan Storey bahwa kampanye merupakan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.

Namun, melihat praktik kampanye kekinian, rasanya tak cukup kalau kita hanya berhenti pada pandangan kedua tokoh di atas. Saya cenderung sepakat dengan Lasswell bahwa kampanye merupakan strategi mempersuasi publik untuk meraup sejumlah keuntungan elektoral dan legitimasi jabatan dalam waktu tertentu (pemilu).

[irp]

Seiring perkembangan dinamika politik, kampanye sudah mulai bergeser pada medium broadcasting dan new media. Para politisi cenderung secara hipodermik menanamkan platform politik lewat media massa atau memanfaatkan arus linimasa untuk merekonstruksi personal branding-nya. Meski begitu, ada beberapa hal yang secara kalkulasi politik harus dilakukan dengan strategi-strategi tradisional tanpa media.

Almond dan Powell (1966) merumuskan beberapa strategi struktur dan saluran komunikasi politik yang sekaligus dapat dijadikan strategi kampanye non media.

Pertama, Struktur Wawanmuka Informal (face to face informal). strategi tatap muka ini secara meyakinkan mampu mendongkrak level of trust publik terhadap seorang kandidat apabila mampu bersilaturahim langsung ke kantung-kantung pemilih. Pertemuan dan komunikasi tatap muka dengan konstituen memberi keuntungan yang tak sedikit, seperti dapat menyerap langsung aspirasi masyarakat tanpa perantara, terkesan populis, lebih persuasif, dan mudahnya membentuk karakter politik sang kandidat.

Kedua, Struktur Sosial Tradisional. Kita perlu tahu bahwa strategi ini memiliki keampuhan-keampuhan tersendiri karena pada masyarakat yang bersangkutan memang arus komunikasi ditentukan oleh posisi sosial pihak yang berkomunikasi (khalayak maupun sumber).

Artinya, ada stuktur lapisan sosial di masyarakat dalam suatu daerah pemilihan maupun lebih sempit lagi pada struktur adat tertentu, yang hanya bisa ditembus dengan pendekatan ini.

Misalkan, sejumlah kelompok suku batak yang sudah ber-KTP DKI mendukung pasangan calon Agus Yudhoyono-Sylviana Murni, lalu ada ormas Islam yang merapat ke Anis Baswdan-Sandiaga Uno, juga kelompok masyarakat tertentu yang mendukung Ahok-Djarot. Sehingga tak heran kalau pada saat pemilu, para pemuka adat, pemuka agama, dan pemimpin otoritas suatu kelompok tiba-tiba mendapat kunjungan politis. Tak lain tak bukan, demi mendapatkan legitimasi kelompok pemilih secara stuktural.

Ketiga, Saluran Input. Almond dan Powell mendefinisikan struktur input sebagai struktur yang memungkinkan terbentuknya/dihasilkannya input bagi sistem politik yang dimaksud, mencakup transaksi antara sistem politik dengan komponen dari lingkungan domestik maupun luar. Menurut kedua ahli ini, struktur-struktur input politik seperti serikat pekerja, kelompok kepentingan (interest group), dan partai politik, merupakan saluran komunikasi yang bermakna dalam komunikasi politik.

[irp]

Strategi satu ini juga menentukan arah koalisi politik dan lobi politik menemukan meja bundarnya, terutama menyoal transmisi kepentingan, hitung-hitungan untung rugi (benefits of office) dan pembagian kekuasaan (power sharing). Selain itu, saluran input berfungsi sebagai jembatan antara warga biasa dengan sejumlah besar akses ke elit politik.

Keempat, Struktur Saluran Output. Strategi ini memanfaatkan struktur formal dari pemerintahan. Memang struktur kepemerintahan, khususnya birokrasi, yang memungkinkan pemimpin-pemimpin politik mengomunikasikan petunjuk bagi pelaksanaan peraturan-peraturan untuk aneka macam pemegang jabatan politik dengan cara yang efisien dan jelas.

Efisien karena jalur kepemerintahan tentunya dengan dukungan kewenangan dan wibawa yang dimilikinya dapat dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan secara cepat dan mudah.

Sederhananya, ada saja para wakil partai politik yang menjadi “pekerja partai” yang memungkinkan adanya penyampaian pesan-pesan secara jelas, terutama karena mereka yang berada pada jajaran birokrasi secara otomatis telah memiliki bahasa yang kurang lebih sama, yang memungkinkan pengertian-pengertian menjadi lebih jelas di antara sesama mereka, ketimbang orang yang berada di luar jalur tersebut.

***

[irp]