Dramaturgi Konsolidasi Politik Umat Islam Di Pilkada DKI Jakarta

Rabu, 19 Oktober 2016 | 22:38 WIB
0
459

Buntut dari perkataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu tentang Al-Maidah ayat 51 yang menyinggung hati banyak muslim, nampaknya mulai bermuara kepada sesuatu yang ironi. Persoalan ini, secara kasat mata begitu nampak dikomodifikasi untuk mengganggu stabilitas helatan politik lima tahunan di DKI Jakarta dengan menghembuskan isu-isu SARA secara simultan dan masif.

Kita bisa meraba setuasi ini dari desas-desus kepentingan sekelompok organisasi dan partai politik yang berniatan menyuguhkan calon pemimpin muslim dalam kontestasi DKI 1 nanti, mewakili mayoritas penduduk DKI Jakarta. Namun, belakangan arah konsolidasi politiknya justru nampak sporadis, distorsif dan tidak solid.

Layaknya sebuah drama, aksi terhadap pernyataan Ahok itu lebih dari sekedar memberi peringatan melainkan berujung ambisi dan dendam. Sikap welas asih kita dalam berislam mulai berubah agresif dan tanpa ampun. Lebih menyedihkan lagi, para aktor di panggung belakang melihatnya sebagai sebuah celah politik menyangkut kepentingan kontestasi DKI Jakarta.

[irp]

Adakah yang bisa menjamin bahwa demonstrasi yang dilakukan itu nihil kepentingan politik? Justru pembacaannya lebih mudah ke arah sebaliknya, di mana aksi itu ditunggangi hasrat politik.

Erving Goffman (1922-1982) menyebut peristiwa demonstrasi semacam itu sebagai realitas panggung depan (front stage) yang diperankan layaknya aktor di sebuah panggung pertunjukan, sedangkan setting, kostum, kesamaan motif, pesan verbal dan nonverbal yang muncul, mengikuti alur cerita sesuai arahan sutradara (back stage).

Hasilnya, ada dua isu besar yang digeret ke tengah publik oleh para “aktor-aktor” pilihan;

Pertama, menyoal kontestasi DKI 1, dimana muncul kekhawatiran akan kontestasi DKI yang antiklimas, minim literasi politik, dan tidak adanya perwakilan agama mayoritas sesuai keinginan ormas-ormas tertentu. Dan teka-teki itu baru terjawab jelang detik-detik terakhir pembukaan pendaftaran bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta.

Dari sini, nampak soliditas partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi kekeluargaan mulai terganggu dan akhirnya pecah kongsi. Niatan untuk melawan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan mengusung satu paslon muslim pun pupus. Apa pasal? Sebab partai politik hanya terikat kesepahaman dan kesepakatan akan kesamaan kepentingan, bukan semata atas permintaan masyarakat.

Pada dasarnya, dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta ini, saya melihat partai politik cenderung merujuk pada kalkulasi investasi politik yang dapat dikendalikan nanti, yaitu benefits of office dan power sharing.

Kita sudah bisa mengevaluasi ini dari para kinerja legislator dan eksekutif di lingkungan DKI, mulai dari yang terdahulu hingga masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama.

Lalu, masihkah kita berpikir menyoal pemimpin muslim sebagai perwakilan mayoritas? Tentu kita bisa mencari rekam jejak dari pemimpin-pemimpin muslim terdahulu DKI Jakarta, lalu disandingkan dengan apa yang sudah dilakukan Ahok saat ini. Data yang pas tentang ini, akan sangat membantu proses pencerahan kita dalam berpolitik, juga agar terhindar dari jebakan hiperealitas politik yang disajikan para elite.

Kedua, ada alasan keadaban yang dilekatkan kepada Ahok. Sejak awal kepemimpinannya, publik dikejutkan dengan retorika politik Ahok yang tak pakai basa-basi dan tanpa teding aling-aling langsung menguliti perasaan. Citarasa retorika Ahok yang low context culture alias ceplas-ceplos, memang tidak lumrah bagi psikologi politik warga DKI yang cenderung ngoyo. Sehingga, kerap pernyataan Ahok menuai kecaman sebagian kalangan yang terfokus pada semantik saja, namun melupakan esensi.

[irp]

Sebenarnya, bila Ahok sadar pentingnya political branding untuk menjaga peluang agar tetap bertahta di DKI 1, maka sudah seharusnya pola komunikasi yang kasar dan memantik luka itu, sebisa mungkin dihindari. Tapi, barangkali sudah wataknya, sehingga Ahok lebih menonjolkan sisi lainnya di bidang pembangunan Jakarta ketimbang sibuk mengurusi retorika bawaannya itu.

Realitas semacam ini, tentu saja membingungkan sekaligus mencemaskan. Publik terjebak reality by proxy, di mana mereka sulit membedakan antara realitas rekaan dengan realitas sebenarnya. Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, menjelaskan bahwa realitas politik yang memantik sentimen keagamaan, pada kenyataannya malah memunculkan persepsi yang cenderung palsu (delusi). Realitas yang dibangun membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.

Saya melihat ada beberapa faktor penting dari persoalan konsolidasi politik umat Islam yang nampak tidak solid belakangan ini, terutama di level elite dan partai politik;

Pertama, kriris kader pemimpin dari partai politik. Sudah seharusnya, melalui mekanisme dan rekrutmen kader, partai politik mampu mengerami sejumlah pemuda menjadi pemimpin-pemimpin masa kini. Pemimpin yang impresif, adaptif terhadap perubahan sosial, visioner dalam membangun, juga shaleh dalam kehidupan kebangsaan.

Tapi buktinya, ketiga paslon yang saat ini berkontestasi di panggung DKI, ternyata bukan kader murni partai politik. Para paslon adalah politisi wakil yang tidak lahir dari rahim ideologi dan kaderisasi partai politik, melainkan muncul sebagai vote getter dengan popularitas dan reputasi personal yang sudah bagus di mata masyarakat. Hanya ada satu nama yang menjadi pembeda, yaitu wakil petahana, Djarot Saiful Hidayat dari PDIP.

Kedua, Alternatif calon pemimpin yang ditawarkan belum mampu bersaing di level substantif. Entah apa yang ada dalam pikiran para pengatur koalisi dan tim pemenangan, sehingga diskursus yang diarak ke ruang publik justru isu SARA yang sensitif. Padahal, untuk men-down grade petahana dengan baju agama, justru sebuah blunder politik. Ingat, tipologi pemilih di Jakarta yang rata-rata adalah pemilih rasional dan kelompok publik attentive ini, hanya akan berpaling jikalau mereka dibenturkan dengan fakta faktual dan verifikat.

[irp]

Isu pembangunan, penanggulangan banjir, penentasan kemiskinan ibu kota, persoalan macet, tranparansi anggaran dll, akan sangat mungkin digoreng ketimbang isu SARA yang unsubstansial. Bahkan, pada level isu yang memicu sentimen masyarakat seperti kejadian Jakarta belakangan ini, justru kian merekatkan para pemilih rasional tersebut.

Akhirnya saya sepaket pemikiran dengan Yudi Latif bahwa Islam akan lebih dimaknai dalam kerangka substansinya sebagai pemasok nilai-nilai etik yang bersifat universal dalam kehidupan politik dan bernegara.

Dengan mengurangi obsesinya pada Islam simbolik yang selalu menarik garis perbedaan dengan yang lain, ekspresi Islam substantif akan memberi iklim yang kondusif bagi pengembangan inclusive citizenship yang mengakui hak kewargaan para pemeluk agama lainnya.

***

[irp]