Cerber: Pepih Nugraha
Kesadaran Raka tersentak tatkala Sukaesih menarik lengannya dengan kuat. Tidak cukup kuat untuk membuat lengan kekar itu bergoyang. Demikian kuatnya ibarat dahan sebuah pohon jambu. Perempuan muda itu kini menggunakan kedua lengannya untuk menarik lengan Raka secara paksa. Selampe berisi uang untuk kado Anita dia titipkan ke Pendi, lelaki yang bisanya cuma bengong dan bengong dalam menyikapi selintas drama kehidupan yang terpapar di depan matanya.
"Kamu harus berbuat sesuatu untuk menolongnya, Raka!" desak Sukaesih.
"Tak ada yang bisa kulakukan selain memberi sedikit kado itu untuknya, Esih. Kau tahu, aku bahkan tak diundangnya!"
"Untuk saat ini Anita tak butuh uang. Ia butuh bantuanmu, butuh kehadiranmu, Raka."
"Aku sudah berada di sini."
"Jangan pergi dulu, kamu harus menemuinya. Sekarang!"
Sementara itu dari pelantang terdengar pengumuman; "Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan hadirin undangan terhormat, dimohon tenang.... mohon tenang...!!!"
Nada bicara orang di pelantang itu semakin keras dan sekarang ada nada kepanikan terselip di dalamnya. Sedangkan Sukaesih mencoba menarik Raka lebih mendekat mulut aula, disusul Pendi yang tetap menggenggam selampe, ikut begitu saja. Dua tabung bambu yang telah kosong tetap berayun di pundak Raka.
Inilah puncak yang terdengar dari pelantang itu kemudian; "Kepada hadirin mohon maaf kami sampaikan... pesta pernikahan ini kami batalkan karena ketidakhadiran calon pengantin pria... Sekali lagi, mohon maaf....!!!"
Ibarat bom teroris yang diledakkan seketika, dalam hitungan detik terjadi kekacauan yang tak pernah terbayangkan imajinasi liar para tamu undangan terhormat itu. Mereka menyerbu makanan dan minuman untuk pesta tanpa basa-basi tanpa ada yang mengomando.
Hal yang paling mencengangkan terjadi tatkala para tamu undangan terhormat itu menyerbu kotak amplop berisi uang yang mereka masukkan sebelum memasuki aula tadi atau menyerbu tumpukan kado berupa barang yang tadi mereka berikan!
Dua kotak kado di kiri dan kanan pintu masuk dan tumpukan kado di dekat panggung pengantin menjadi serbuan berpuluh-puluh tamu undangan. Mereka ingin mendapatkan kembali amplop dan kado yang telah diberikan kepada pengantin itu.
Sukaesih dan Pendi terdorong keras sampai jatuh terjerembab, terlepas dari lengan Raka yang dituntunnya. Suasana semakin tak terkendali ketika orang-orang mulai berebut dua kotak berisi uang itu, seperti burung pemakan bangkai mengoyak bangkai banteng. Bahkan yang tidak merasa memberi amplop pun, kini ikut-ikutan menyerbu, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Raka tidak tahu harus berbuat apa selain menjauhi mulut aula, menjauhi kekalutan itu.
Sukaesih mencoba menerabas masuk ke dalam aula di tengah air bah orang-orang yang justru menyerbu ke luar, berusaha merebut amplop miliknya sendiri yang tadi telanjur dimasukkan ke dalam kotak. Pendi tetap saja terbongong-bengong. Sukaesih ingin memastikan Anita masih aman di ruang ganti pengantin sana. Tetapi ia justru gagal membawa Raka masuk ke dalam untuk menemui Anita.
Dengan sekuat tenaga dan susah payah, Sukaesih berhasil menerabas masuk ke kamar rias pengantin perempuan. Raka yang kini tercecer entah di mana, mungkin masih menunggu di luar sana.
Pengantin perempuan itu memang cantik. Tidak bisa disangkal. Gaun pengantin pasundan yang dikenakannya sungguh pas membalut tubuhnya yang ramping. Gunung kembar menyembul indah dari dadanya. Mahkota berupa bunga kawat berjuntai-juntai di kepalanya. Anak rambut yang menggantung di kedua pipinya menunjukkan, Anita memang kembang desa yang tidak ada bandingnya. Bedak tipis cukup menyapu permukaan wajahnya, sebab tanpa itupun ia sudah memukau. Satu hal yang membedakannya kini, matanya kosong. Hampa.
Sukaesih menangkap nuansa ini. Ia ingin mengabarkan sesuatu secara cepat, agar mata yang hampa itu kembali berbinar seperti sedia kala, seperti pagi tadi tatkala ia mulai didandani perias pengantin ternama di kota kecamatan itu. Tetapi tatapan mata kembang desa itu semakin hampa dan hampa.
"Kamu dengar, Nita... Ini ada kado titipan dari Raka. Rakamu, Anita!" bisik Sukaesih di telinga sang pengantin seraya menyerahkan selampe berwarna pupus kepadanya. Perempuan itu tidak bereaksi sama sekali, hanya melirik sejenak bungkusan kain itu, untuk kemudian memandang jauh dinding tembok yang persis ada di depannya. Pun tidak ada titik air mata yang jatuh merusak riasan di pipinya, mungkin sumber air mata itu sudah kering.
Sepi mendaulat suasana, hanya suara tawon nyasar dan dengung undangan di luar yang masih berebut amplop.
"Kamu bisa antarkan aku ke jamban, aku mau kencing," tiba-tiba Anita bersuara, tatapannya masih hampa. Esih menyambutnya sigap.
"Tentu saja, Nyai, mari kuantar, tetapi setelah ini janji, ya, kamu harus menerima titipan Raka ini!" kata Sukaesih seraya memberikan telunjuk untuk dipegang sang pengantin.
"Tidak usah kamu perlakukan aku seperti ini, aku cukup kuat, Esih," tolak Anita berjalan sendiri ke belakang. "Kalian tunggu saja di sini," katanya lagi.
Semua patuh, semua bagai tersihir kata-kata nyai pengantin. Tidak ada yang berani mengikuti langkahnya lagi. Kini tinggal Anita, sang pengantin, yang terus melangkah mencari pintu jamban.
Ada tirai yang terjuntai menutup bagian belakang aula di mana jamban berada. Dan Anita tidak pergi ke sana.
Tanpa sepengetahuan orang-orang, diam-diam ia menyelinap ke luar melewati pintu belakang. Sepi. Tidak ada orang di sana. Semua orang masih bergumul untuk mendapatkan kembali amplop dan kado dalam dua kotak di mulut aula bagian depan.
Anita mulai melepas sepatu pengantinnya yang berhak tinggi, yang merepotkannya saat berlari. Berlari bagai kijang tanpa alas sepetu jauh lebih meringankan. Apalagi ia juga mengangkat kain kebayanya tinggi-tinggi saat mulai berlari, memperlihatkan kedua pahanya. Mahkota di kepalanya belum ia lepas dan membiarkan hiasan bunganya berjuntai-juntai saat ia berlari.
Anita terus berlari menuruni jalan setapak setelah melewati pematang sawah yang lebarnya hanya sejengkal orang dewasa, tetapi ia melewatinya dengan kemampuan seekor tikus sawah berlari mengejar serangga. Di aula, Sukaesih dan Pendi telah sekian lama berdiri, menunggu pengantin wanita selesai buang air kecil di jamban, tetapi sudah cukup lama belum selesai-selesai juga. Mungkin ia sedang buang air berar, pikir mereka.
Nun di depan jalan yang akan dilalui sang pengantin yang mulai menangis histeris, seorang pemuda berjalan gontai dengan dua tabung bambu air nira di pundaknya. Tangisannya semakin menjadi-jadi tatkala sang pengantin melewati si pemuda penyadap nira, sedangkan si pemuda belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.
"Dasar bajingan tengik! Kalian lelaki dasarnya bajingan tengik semua...!!!"
Terdengar teriakan histeris perempuan muda yang telah mendahului langkahnya sambil terus berlari, mengangkat kain tinggi-tinggi agar lebih mudah mengambil langkah, memperlihatkan betis dan pahanya yang bersih.
Ah, semakin banyak perempuan yang cenderung gila di kampung ini, pikir si tukang penjual nira sambil terus berjalan gontai. Raka, si penyadap pohon enau itu baru tersadar tatkala melihat mahkota pengantin berjuntai-juntai di kepala perempuan itu. Anitakah?
Dari kejauhan terdengar teriakan orang-orang memanggil sebuah nama.... Anita... Anita.... Kembali kau, Anita...!!!
"Anitaaaa....!!!" Raka memanggil perempuan yang sudah semakin jauh dari tatapannya.
Tak ada reaksi. Perempuan itu semakin cepat berlari menuju punggung bukit. Di sana sebuah jurang terjal menganga menunggunya. Raka paham bahaya yang akan mengancam siapapun jika sudah berdiri di sana.
Segera ia menyenderkan rancatan dengan dua tabung bambunya di bawa pohon akasia. Naluri menuntuntunya untuk segera berlari lebih kencang lagi menyusul perempuan yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.
Kini sang pengantin sudah berhasil mencapai bibir jurang terjal tanpa seorangpun berhasil mengejarnya, tak terkecuali Raka si penyadap nira.
(Bersambung)
***
[irp posts="1249" name="Mangkirnya Sang Pengantin Pria (Anita 6)"]
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews