Peristiwa penggusuran kawasan kumuh di DKI Jakarta yang kerap dilekatkan maknanya dengan perbuatan tunggal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini mulai terlihat dramatis dan menjadi dagangan baru dalam konstelasi politik DKI yang tengah memanas. Terlebih, penggusuran itu masih berlangsung sampai saat ini, yang dalam matematika politik sebenarnya sangat berisiko bagi konstruksi citra sang petahana.
Situasi ini, tentu saja sangat menguntungkan pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dan Agus Harmurti Yudhoyono - Sylviana Murni yang langsung mengemasnya dalam paket-paket retorika politik mereka. Ada dua tipe retorika ala Aristoteles yang mereka gunakan:
Pertama, retorika deliberative. Memengaruhi khalayak secara persuasif untuk mengkritisi, menolak atau menentang kebijakan pemerintahan. Yang paling santer, tentu saja seputar kasus penggusuran, tuduhan penistaan ayat al-Quran, dan pembersihan sungai yang ramai di linimasa.
Kedua, retorika demonstrative, yang digunakan untuk mengembangkan wacana yang dapat memuji atau menghujat. Dalam komunikasi politik, tipikal retorika semacam ini dikenal sebagai high context culture, melekat pada tipologi politisi wakil, di mana mereka adalah artikulasi kepentingan politik individu ataupun kelompok.
Politisi wakil biasanya tak lahir dari proses kaderisasi, melainkan dari posisinya sebagai vote getter (pendulang suara) seperti selebritas, publik figur, tokoh militer, akademisi dll.
Sila perhatikan komentar-komentar Anies dan Agus dalam beberapa pemberitaan media, seperti pernyataan Anies berikut ini, "Saya tidak mengatakan bahwa nol, enggak akan ada penggusuran, enggak. Memang ada yang harus pindah karena kepentingan umum yang harus dinomorsatukan." Lebih halus lagi, Ujar Anies, "Jadi, bukan semata-mata memindahkan, tapi membuat kehidupan di tempat tersebut menjadi lebih baik."
Nampak sekali kelas bicara seorang Anies memang tinggi. Lantas, apakah pesan yang dikemas sebegitu halus akan persis dengan kenyataannya? Belum tentu. Apalagi penggusuran di DKI Jakarta krusial dibutuhkan sebagai bagian dari rancangan pembangunan kota.
[irp]
Artinya, Anies pun akan menjelma jadi tokoh antagonis dalam prosesi penggusuran apabila dia terpilih, sekalipun ia akan melakukannya dengan cara halus. Tapi maknanya sama yakni sebuah penggusuran, dan yang terpenting pasca-penggusuran itu mau diapakan nasib kaum tergusur? Hal ini juga tidak gamblang dan terang diungkapkan oleh Anies seorang.
Bagaimana dengan Agus Yudhoyono? Setali tiga uang. Kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah Agus, seperti SBY ayahnya, piawai memainkan psikologi politik publik dengan gaya bahasa konteks tinggi.
"Saya dan Bu Sylvi tentu akan mempelajari segala isu yang bekembang di Jakarta lebih utuh, tidak melihatnya secara sepotong-sepotong, tetapi dalam hati saya mungkin lebih tepat penataan, bukan penggusuran," kata Agus, dalam jumpa pers "Di Balik Keputusan Agus Yudhoyono", di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin 3 Oktober 2016.
Di sini, teknik retorika elocatio digunakan Agus dengan baik. Pemilihan diksi dan pengemasan bahasanya rapi. Kata “penataan” itu sendiri bisa kita maknai relokasi, peremajaan, perombakan, maupun penggusuran. Tetap saja lokasi kumuh itu akan terkena sentuhan sana sini. Intinya sama, warga harus pindah dari kampung kumuh yang masuk dalam rencana pembangunan ibu kota.
Terlepas dari semua penafsiran kalimat-kalimat bersayap di atas, setidaknya Anies dan Agus sudah menjalankan fungsi art of speech (seni berbicara) dalam membungkus isu-isu di atas. Feed back yang mereka terima pun tidak akan sefatal Ahok yang terbiasa berbicara ceplas-ceplos, yang oleh sebagian orang dianggap kasar dan jauh dari sopan-santun.
***
[irp]
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews