Mau Menang di Pilgub DKI? 4 Tipe Cyber Army Ini Wajib Dikerahkan!

Rabu, 12 Oktober 2016 | 09:00 WIB
0
615

Masih ingatkah Anda bagaimana Jokowi-Ahok leading dalam Pilkada DKI 2012 silam? Keberhasilan mereka menggulingkan Foke-Nara dalam dua kali putaran, benar-benar mematahkan prediksi banyak pihak. Datang sebagai “anak bawang” dengan kesan “ndeso” dalam Pilkada DKI waktu itu, Jokowi-Ahok menjadi antitesa dari semua lembaga survei yang kala itu menempatkan petahana sebagai unggulan dengan elektabilitas 40-50 persen.

Putaran pertama, monitoring politicawave.com di media sosial menempatkan Jokowi-Ahok di urutan teratas dengan prosentase 52,6 persen, jauh mengungguli Foke-Nara yang hanya 21,4 persen. Begitu pun rekapitulasi perolehan suara KPU DKI Jakarta, Jokowi-Ahok berada di urutan pertama dengan 1.847.157 suara atau 42,60 persen. Posisi kedua ditempati Foke-Nara dengan memperoleh 1.476.648 suara atau 34,05 persen.

Fantastis? Sudah pasti. Apa rahasianya? Pengerahan cyber army secara sporadis dan efektif, itulah jawabannya. Saat itu, Jokowi-Ahok punya lebih dari 500.000 pasukan socmed yang memainkan peranan penting, termasuk di antaranya pengarusutamaan opini publik.

Jika dikaitkan dengan pertarungan Pilkada DKI sekarang, sudah pasti cyber army mutlak dibutuhkan. Pasalnya, Jakarta adalah daerah gemuk internet dengan penetrasi pengguna mencapai 56 persen, yang tertinggi dari seluruh kota di Indonesia hingga pertengahan 2016.

Mari kita bicara data saja biar lebih valid, bahwa pengguna internet di Indonesia kini mencapai angka 88 juta user dari total populasi 259,1 juta berdasarkan data wearesocial.com. Sebanyak 76 juta user mengakses media sosial seperti Facebook dan Twitter lewat gawai pintarnya. Banyak di antara mereka berusia 18-24 tahun dengan prosentase 38 persen, dan usia 25-34 tahun mencapai 28 persen. Bukankah ini lumbung suara potensial? Pasti. Selebihnya, ada kaum tetua yang tak lebih dari 3,2 persen saja.

Kalau sudah begini, tak ada alasan bagi para kandidat kecuali mengerahkan pasukan “nasibungkusnya” demi mengamankan pertarungan di media sosial. Tapi, jangan buru-buru dulu. Pasukan cyber army macam mana yang mesti diterjunkan? Dilihat dari tipologinya, ada 4:

Pertama, Diseminator. Tugas cyber army tipe ini menggelontorkan isu harian, isu strategis dan isu jangka panjang. Mereka juga mesti berjejaring satu sama lain dan menjalankan prinsip sharing and connecting dengan konstituen virtual. Dan paling pokok, mereka menyebarkan gagasan, ideologi, platform, dan sikap sang kandidat secara penetratif kepada khalayak virtual. Dari pasukan ini, publik akan diliterasi lebih dalam tentang sang kandidat yang diusung.

Kedua, Publisist. Isu yang didistribusikan adalah isu personal atau lembaga, eksistensi kandidat dan konstruksi citra kandidat. Seluruh paket citra yang hendak ditanamkan dalam sistem kognitif publik akan disebarkan oleh pasukan ini. Sedikit berat dari pasukan diseminator, tim publisist punya tugas taktis yang lebih spesifik dan targetnya pun jelas yaitu popularitas dan elektabilitas sang kandidat.

Ada 4 teknik publisitas;

1) publisitas yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa (pure publicity), misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat medsos.

2), publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya membuat posko di tempat kejadian musibah besar dan memiliki potensi nilai berita. Pertanyaannya, adakah dari ketiga paslon ini membuat posko di Garut dan Pangandaran? Silakan jawab sendiri.

3), publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki oleh pihak ketiga (free ride publicity), misalnya kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara  dan lain-lain untuk mengelola popularitasnya. Dalam hal ini, petahana sangat diuntungkan, semisal Ahok yang secara sadar tak sadar sudah berkampanye di Kepulauan Seribu yang akhirnya berujung keributan menyoal penghinaan terhadap ayat suci Al-Quran, juga kedua paslon lain yang mendompleng popularitas lewat kasus ini.

4), publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk mengenalkan brand dan platform kandidat, bisa lewat advertorial, talkshow, reality show dll.

Ketiga, Propagandis. Nah, inilah pasukan "tukang rusuh" yang mampu melegitimasi atau mendelegitimasi kandidat lain dengan isu-isu strategis. Psyco game adalah keahlian mereka dengan target bubble politics. Contoh paling hangat menyoal friksi pemimpin kafir atau penggusuran, di mana isu ini bisa mendepak Ahok dari kontestasi DKI. Atau pernyataan-pernyataan bersayap Anies Baswedan dan Silvyana yang katanya tak berjanji untuk tidak menggusur.

Tapi, dari pasukan ini pula partisipasi aktif masyarakat bisa meningkat, terutama dalam obrolan-obrolan politik di media sosial. Tengok saja para netizen yang latah bicara penghinaan terhadap Alquran yang lagi hangat belakangan. Berawal dari status propaganda di Facebook, muncul pro-kontra dan berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian oleh banyak pihak. Kalau dipikir-pikir, kerja propaganda ini akhirnya merangsang partisipasi warga karena terdorong sentimen kebersamaan.

Keempat, Hactivist. Saya menyebut cyber army tipe ini, “pasukan elite”. Tugasnya berat, salah satunya meretas informasi rahasia, menyebar isu-isu sensitif, dan berfungsi sebagai alat perlawanan terhadap rezim yang berkuasa.

Contoh lagi, pada Pilpres 2014, tersebar surat undangan paksa menghadirkan kampanye politik oleh MNC Group kepada karyawannya, dimana saat itu Hary Tanoe Soedibjo tengah gencar mendongkrak popularitasnya di lantai bursa bakal Capres 2014. Selain itu, ada email marah-marah dari Ardi Bakrie kepada Vivanews yang menayangkan iklan Jokowi, juga bocornya surat "Perjanjian Batutulis" Megawati dan Prabowo di media sosial.

Jadi sekali lagi, kontestasi DKI 1 adalah arena pertempuran para cyber army.

Demi alasan apapun, kebutuhan akan tim khusus dunia siber menjadi keharusan sebab seluruh aktivitas politik kekinian, termasuk untuk menjangkau kantung-kantung pemilih dan menggerakkan konstituen dapat dilakukan lewat jejaring internet, terkhusus media sosial.

Kita tunggu saja, siapakah di antara ketiga pasangan calon ini yang menurunkan pasukan lebih banyak dan efektif? Mari menyimak!

***