Bukan rahasia jika tiga aktor paling menentukan wajah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 mendatang bukanlah para kontestan Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, atau Agus Harimurti Yudhoyono, melainkan trio dalang yang dikenal sebagai "politisi gaek". Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Megawati Soekarnoputri . Siapakah kandidat yang paling merdeka dalam pertarungan itu?
Kenapa pertanyaan itu penting dimunculkan ke permukaan, tak lain karena pribadi yang merdeka sajalah yang dapat secara leluasa mencari kebijakan-kebijakan dan mengeksekusinya tanpa perlu terusik oleh siapa dalang di belakangnya. Ia dapat menetapkan kebijakan hanya berdasarka apa yang dibutuhkan oleh warga DKI Jakarta, bukan apa yang disukai dalangnya.
Sejauh ini, tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama, menjadi figur paling merdeka. Dia punya riwayat yang menunjukkan keberanian untuk bersikukuh dengan keyakinannya, di saat dia mencium gelagat bahwa ada kepentingan yang mendesaknya untuk mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan kelompok (baca partai), maka dia memilih mendurhakai partai.
Ekses dari keputusan itu memang berat. Dia tak hanya terus diburu oleh vonis-vonis buruk dari partai yang pernah ditinggalkannya, melainkan barisan yang menjadi "tim hore" partai itu pun dengan militan menghantuinya dengan cercaan hingga makian.
Tapi pertanyaan lebih jauh, sejauh mana Ahok mampu merdeka?
Ya, itu tentu saja kembali kepada pribadi petahana itu sendiri, apakah ia mampu mempertahankan karakter yang berisi pendidikan penting dalam sikap politik untuk rakyat itu, atau kelak memilih menggadaikannya lantaran terseret arus lazim di dunia politik. Hanya dia yang tahu. Ekspektasi rakyat yang percaya kepadanya, tentu saja dia dapat konsisten dengan karakter itu.
Bagaimana dengan Anies Baswedan? Seperti apa dia menyikapi keberadaan aktor di balik eksistensinya dalam pertarungan DKI-1?
Mau tak mau harus diakui, dari sisi karakter merdeka Anies memang belum cukup teruji. Walaupun dari sisi intelektualitas dan sifat humble ditonjolkannya, lumayan memukau bagi sebagian calon pemilih di Pilkada nanti.
Tapi di sisi lain, ada kontradiksi antara Anies dengan Prabowo yang notabene sebagai salah satu figur politisi yang pernah gagal baik saat menjadi calon wakil presiden hingga sebagai calon presiden. Anies membawa visi sebagai seorang intelektual yang kaya gagasan namun minim pengalaman politik, kontradiksi dengan Prabowo yang terlihat ambisius di ranah politik.
Anies berlatar belakang sebagai pendidik, sedangkan "dalang"-nya adalah sosok yang berlatar belakang militer. Ada dua karakter bertolak belakang, namun harus bekerja sama untuk mengejar satu tujuan: kursi DKI-1.
Tujuan itu penting, dan bahkan sangat penting. Ingat, Joko Widodo sendiri melaju mulus ke kursi RI-1 pun diawali lewat kursi DKI-1. Di sini tampaknya Prabowo menemukan sebuah celah sekaligus ilham, entah kelak dia sendiri ingin melaju sebagai RI-1 atau menjadikan Anies sebagai representasinya bertarung hingga ke kursi presiden, setidaknya ada bekal penting jika calon diusungnya mampu menduduki balaikota DKI.
Bagaimana dengan Agus Harimurti?
Sepertinya dari ketiga kandidat, hanya figur inilah yang paling sulit untuk sepenuhnya merdeka. Pertama lantaran dia memiliki hubungan emosional sebagai anak dengan ayah, SBY. Kedua, lantaran ada nama Partai Demokrat yang belakangan ini sudah sangat compang-camping setelah sederet kader terbaik terbukti culas dan pernah mencuri uang negara.
Ada beban berat di pundak Agus. Ia harus menyelamatkan ide atau gagasan sang ayah, seraya di sisi lain harus menjadi penyelamat partai yang telah susah payah didirikan ayahnya, meski dia sendiri tak pernah tercatat sebagai kader partai tersebut.
Meski begitu, duel sesungguhnya tetap saja pada Megawati, Prabowo, dan SBY sendiri.
Ketiga figur yang menjadi penguasa di tiga partai utama yang mengusung calon di Pilkada DKI; PDIP, Gerindra, dan Partai Demokrat, mau tak mau harus menjadi dalang yang lihai. Apalagi yang harus mereka kelola kali ini bukanlah wayang sesungguhnya, melainkan tiga manusia yang memiliki pikiran, ambisi, dan orientasi sendiri-sendiri.
Menciptakan harmoni antara dalang dengan wayang tentu saja menjadi sebuah keniscayaan. Tak hanya agar penonton betah dan setia bersama mereka, melainkan juga agar mereka benar-benar dapat memuaskan para penonton yang rela duduk di bawah panggung hanya untuk menyaksikan permainan mereka.
Pertanyaan lagi, apakah permainan ini hanya untuk memuaskan dalang atau penonton?
Di sinilah akan sangat menentukan, seberapa tulus seorang dalang dan "wayang" itu sendiri untuk memberikan yang terbaik pada penontonnya.
Tak sekadar memamerkan hal-hal yang terlalu membosankan, seperti cerita angkara murka yang tak pernah mampu terkalahkan, atau hanya bercerita tentang ketamakan bagaimana membawa nama dewa untuk menguasai nirwana dan hanya dapat menitip pesan pada penonton: kemiskinan hanyalah takdir yang sudah digariskan oleh para dewa.
Semua keburukan takkan pernah dapat dihancurkan, karena sudah dibiarkan dewa demi menguji manusia, sebagai dalih terpaksa yang harus dikeluarkan dalang di saat dia kehabisan alasan di balik segudang cerita keangkaraan.
Sekarang, kembali ke para kandidat juga lagi, mereka ingin benar-benar menjadi wayang, atau tetap bersedia memperlihatkan diri sebagai manusia yang ingin memberikan yang terbaik untuk manusia.
Jika ternyata dikte dalang tak mampu diterjemahkan dengan nurani, mungkin saja kelak akan dikutuk untuk benar-benar menjadi wayang yang takkan dapat lagi berubah menjadi manusia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews