Tiga Dalang Pilkada Jakarta: SBY, Prabowo, Mega

Senin, 3 Oktober 2016 | 22:58 WIB
0
673
Tiga Dalang Pilkada Jakarta: SBY, Prabowo, Mega

Bukan rahasia jika tiga aktor paling menentukan wajah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 mendatang bukanlah para kontestan Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, atau Agus Harimurti Yudhoyono, melainkan trio dalang yang dikenal sebagai "politisi gaek". Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Megawati Soekarnoputri . Siapakah kandidat yang paling merdeka dalam pertarungan itu?

Kenapa pertanyaan itu penting dimunculkan ke permukaan, tak lain karena pribadi yang merdeka sajalah yang dapat secara leluasa mencari kebijakan-kebijakan dan mengeksekusinya tanpa perlu terusik oleh siapa dalang di belakangnya. Ia dapat menetapkan kebijakan hanya berdasarka  apa yang dibutuhkan oleh warga DKI Jakarta, bukan apa yang disukai dalangnya.

Sejauh ini, tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama, menjadi figur paling merdeka. Dia punya riwayat yang menunjukkan keberanian untuk bersikukuh dengan keyakinannya, di saat dia mencium gelagat bahwa ada kepentingan yang mendesaknya untuk mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan kelompok (baca partai), maka dia memilih mendurhakai partai.

Ekses dari keputusan itu memang berat. Dia tak hanya terus diburu oleh vonis-vonis buruk dari partai yang pernah ditinggalkannya, melainkan barisan yang menjadi "tim hore" partai itu pun dengan militan menghantuinya dengan cercaan hingga makian.

Tapi pertanyaan lebih jauh, sejauh mana Ahok mampu merdeka?

Ya, itu tentu saja kembali kepada pribadi petahana itu sendiri, apakah ia mampu mempertahankan karakter yang berisi pendidikan penting dalam sikap politik untuk rakyat itu, atau kelak memilih menggadaikannya lantaran terseret arus lazim di dunia politik. Hanya dia yang tahu. Ekspektasi rakyat yang percaya kepadanya, tentu saja dia dapat konsisten dengan karakter itu.

Bagaimana dengan Anies Baswedan? Seperti apa dia menyikapi keberadaan aktor di balik eksistensinya dalam pertarungan DKI-1?

Mau tak mau harus diakui, dari sisi karakter merdeka Anies memang belum cukup teruji. Walaupun dari sisi intelektualitas dan sifat humble ditonjolkannya, lumayan memukau bagi sebagian calon pemilih di Pilkada nanti.

Tapi di sisi lain, ada kontradiksi antara Anies dengan Prabowo yang notabene sebagai salah satu figur politisi yang pernah gagal baik saat menjadi calon wakil presiden hingga sebagai calon presiden. Anies membawa visi sebagai seorang intelektual yang kaya gagasan namun minim pengalaman politik, kontradiksi dengan Prabowo yang terlihat ambisius di ranah politik.

Anies berlatar belakang sebagai pendidik, sedangkan "dalang"-nya adalah sosok yang berlatar belakang militer. Ada dua karakter bertolak belakang, namun harus bekerja sama untuk mengejar satu tujuan: kursi DKI-1.

Tujuan itu penting, dan bahkan sangat penting. Ingat, Joko Widodo sendiri melaju mulus ke kursi RI-1 pun diawali lewat kursi DKI-1. Di sini tampaknya Prabowo menemukan sebuah celah sekaligus ilham, entah kelak dia sendiri ingin melaju sebagai RI-1 atau menjadikan Anies sebagai representasinya bertarung hingga ke kursi presiden, setidaknya ada bekal penting jika calon diusungnya mampu menduduki balaikota DKI.

Bagaimana dengan Agus Harimurti?

Sepertinya dari ketiga kandidat, hanya figur inilah yang  paling sulit untuk sepenuhnya merdeka. Pertama lantaran dia memiliki hubungan emosional sebagai anak dengan ayah, SBY. Kedua, lantaran ada nama Partai Demokrat yang belakangan ini sudah sangat compang-camping setelah sederet kader terbaik terbukti culas dan pernah mencuri uang negara.

Ada beban berat di pundak Agus. Ia harus menyelamatkan ide atau gagasan sang ayah, seraya di sisi lain harus menjadi penyelamat partai yang telah susah payah didirikan ayahnya, meski dia sendiri tak pernah tercatat sebagai kader partai tersebut.

Meski begitu, duel sesungguhnya tetap saja pada Megawati, Prabowo, dan SBY sendiri.

Ketiga figur yang menjadi penguasa di tiga partai utama yang mengusung calon di Pilkada DKI; PDIP, Gerindra, dan Partai Demokrat, mau tak mau harus menjadi dalang yang lihai. Apalagi yang harus mereka kelola kali ini bukanlah wayang sesungguhnya, melainkan tiga manusia yang memiliki pikiran, ambisi, dan orientasi sendiri-sendiri.

Menciptakan harmoni antara dalang dengan wayang tentu saja menjadi sebuah keniscayaan. Tak hanya agar penonton betah dan setia bersama mereka, melainkan juga agar mereka benar-benar dapat memuaskan para penonton yang rela duduk di bawah panggung hanya untuk menyaksikan permainan mereka.

Pertanyaan lagi, apakah permainan ini hanya untuk memuaskan dalang atau penonton?

Di sinilah akan sangat menentukan, seberapa tulus seorang dalang dan "wayang" itu sendiri untuk memberikan yang terbaik pada penontonnya.

Tak sekadar memamerkan hal-hal yang terlalu membosankan, seperti cerita angkara murka yang tak pernah mampu terkalahkan, atau hanya bercerita tentang ketamakan bagaimana membawa nama dewa untuk menguasai nirwana dan hanya dapat menitip pesan pada penonton: kemiskinan hanyalah takdir yang sudah digariskan oleh para dewa.

Semua keburukan takkan pernah dapat dihancurkan, karena sudah dibiarkan dewa demi menguji manusia, sebagai dalih terpaksa yang harus dikeluarkan dalang di saat dia kehabisan alasan di balik segudang cerita keangkaraan.

Sekarang, kembali ke para kandidat juga lagi, mereka ingin benar-benar menjadi wayang, atau tetap bersedia memperlihatkan diri sebagai manusia yang ingin memberikan yang terbaik untuk manusia.

Jika ternyata dikte dalang tak mampu diterjemahkan dengan nurani, mungkin saja kelak akan dikutuk untuk benar-benar menjadi wayang yang takkan dapat lagi berubah menjadi manusia.

***