Dari seluruh partai politik yang mendapat kursi di DPRD DKI Jakarta, kemudian mereka berkoalisi mendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta dan wakilnya untuk Pilkada 2017, tidak ada satupun yang mengusung kadernya sebagai calon gubernur. Paling banter parpol cuma berani mengusung calon wakil gubernur saja.
Bahkan, PDI Perjuangan sebagai jawara Pileg 2014 dengan menyabet 28 kursi, tidak berani mencalonkan kader partainya sebagai calon gubernur, malah mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon gubernur petahana. Kadernya? Cuma dipasang untuk mendampingi Ahok, yaitu Djarot Saiful Hidayat sebagai calon wakil gubernur.
Apakah ini strategi politik Megawati Soekarnoputri bersama PDIP yang dipimpinnya dengan hitungan jauh ke depan? Misalnya saja ketika Ahok pada tahun 2019 dimajukan sebagal bakal calon wakil presiden, otomatis Djarot menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tidak ada yang tahu juga. Arah dan strategi politik Megawati memang sukar diraba.
Tetapi mengusung Ahok adalah hal paling pragmatis. Rasa malu karena baru memutuskan pilihan ke Ahok belakangan di saat koalisi Golkar, Nasdem dan Hanura alias Koganahan sudah lebih awal memberi dukungan, bukan lagi hitungan ruwet.
PDIP menyimpan “trauma politik” terhadap Ahok yang pernah akan mempermalukan partai politik manapun, tidak terkecuali PDIP, dengan gerakan sekaligus gertakan relawan TemanAhok-nya yang sudah memenuhi syarat pengumpulan tandatangan dukungan. Megawati khawatir dengan gerakan “deparpolisasi” yang digaungkannya sendiri menjadi kenyataan jika Ahok dibiarkan “liar”, yakni maju ke arena dengan kekuatan relawannya.
Bagi Megawati dan PDIP-nya, lebih baik mengurung dan mengandangkan Ahok di “Kandang Banteng” daripada dibiarkannya berjaya bersama relawannya yang bukan orang partai. Ini lebih memalukan partai politik!
Koalisi dua partai alias Koduapa, yakni Partai Gerindra dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga idem dito. Gerindra punya kader partai Sandiaga Uno, Sanusi, Taufik atau Fadli Zon yang popularitas tinggi, sementara PKS punya Fahri Hamzah dan Mardani Ali Sera. Tetapi kenyataannya, mereka tidak berani mengusung kader partai masing-masing.
Alhasil, yang mereka usung adalah orang yang bahkan tidak ikut konvensi partai sama sekali, yaitu Anies Baswedan. Sementara kader partai yang dipasang ya cuma buat calon wakil gubernurnya saja, yaitu Sandiaga.
Bagaimana dengan koalisi empat partai sisa alias Koppasis, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat (PD)? Sami mawon. Bahkan, Koppasis lebih aneh lagi, yaitu tidak ada satupun kader partai yang diusungnya, baik untuk calon gubernur maupun calon wakil gubernur!
Apakah Agus Harimurti Yudhoyono yang didorong Koppasis dengan motor penggerak utama mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono orang partai? Bukan! Agus jelas-jelas tentara aktif berpangkat Mayor yang “dipaksa” ayahandanya untuk keluar dari TNI. Apakah calon wakil gubenur Sylviana Murni kader partai? Bukan juga! Sylvi adalah anak buah Ahok di Pemda DKI Jakarta yang mengurusi kebudayaan dan pariwisata.
Kurang kader bagaimana di PD saja tokoh yang popularitasnya sangat tinggi seabrek banyaknya. Yang jelas-jelas orang partai dengan popularitas tinggi seperti Sekjen PD Edie Bhaskoro Yudhoyono alias Ibas yang juga adik Agus atau Roy Suryo dan Ruhut Sitompul, malah tidak dimajukan.
Apakah mendorong Agus Harimurti ke palagan Pilkada ini sebagai strategi perang di saat SBY sendiri sudah menyiapkan Ibas yang punya “personal branding” kuat dengan busana lengan panjangnya itu? Apakah Ibas tidak lebih laku dijual ketimbang Agus di mata publik pemilih Jakarta?
Jangan dianggap remeh, SBY adalah ahli strategi, dan itu sudah dibuktikannya dengan berhasil menjadi Presiden RI dua periode, mempecundangi Megawati pada Pilpres 2004 dan 2009. Mendorong Agus bisa dibaca sebagai strategi “test the water”. Jika Agus sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta mengalahkan lawan-lawannya, tangga menuju Kursi RI-1 alias kursi Presiden tinggal selangkah lagi di Pilpres 2019.
Menjadikan Agus sebagai Presiden RI, adalah “grand strategy” besar SBY agar keamanan dan keselamatan keluarga biar jauh dari gangguan dan jangkauan hukum dan pengampunan pajak, misalnya, bisa tetap terjamin. Dari kacamata politik, strategi yang dilakukan SBY itu sah dan benar adanya. Masing-masing orang punya strateginya sendiri-sendiri. Jangan iri!
[caption id="attachment_1023" align="alignleft" width="300"] Ahok, Anies, Agus (Foto: Tribunnews.com)[/caption]
Tetapi pertanyaan besarnya tetaplah; mengapa partai politik tidak punya nyali alias tidak berani mengusung kader partainya sendiri?
Jawabannya; jangan-jangan parpol telah gagal menciptakan kaderisasi yang mumpuni sehingga tidak menghasilkan calon bupati/walikota, gubernur dan bahkan presiden yang dikenal oleh rakyat. Jangan-jangan saking sulitnya palagan peperangan Pilkada DKI Jakarta untuk dimenangkan, partai politik mau cari aman dengan mengorbankan calon di luar kadernya. Jangan-jangan mendorong calon gubernur memang bukan persoalan kader, melainkan persoalan “mahar” besar yang harus dipenuhi.
Memajukan calon gubernur yang bukan kader partai juga strategi tersendiri. Maksudnya, kalau pasangan yang dimajukannya kalah, parpol bisa ngeles, “‘kan yang dimajukan bukan kader partai”. Kalau pun menang, jawabannya telah tersedia, “tuh ‘kan, mencalonkan orang lain saja bisa menang, apalagi mencalonkan kader partai sendiri”.
Jawaban di atas mungkin terlalu sederhana dan terkesan menghakimi. Akan tetapi, kenyataan yang muncul ke permukaan memang seperti itu. Tafsir kunci “tidak punya nyali” itu segudang banyaknya.
Nah, apa tasfir Anda?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews