Dalam panggung politik nasional, hubungan antara Megawati Soekarnoputri dengan Amien Rais cukup unik. Kerap bertentangan secara ideologis, tetapi untuk hal-hal pragmatis bisa saling menyatu dan membantu.
Secara ideologis, hubungan keduanya bagai minyak dan air, susah menyatu. Tetapi untuk hal-hal praktis dan pragmatis, pada Pilkada di berbagai wilayah Nusantara dan untuk kepentingan politik nasional, misalnya, kerap keduanya saling menyokong.
Secara biologis, Megawati adalah politisi tulen putri Proklamator RI yang sudah menjadi Ketua Umum PDI sejak zaman Soeharto berkuasa. Bahkan, kedudukannya selaku ketua umum PDI dilengserkan Soeharto secara paksa dengan mendirikan PDI tandingan, yakni PDI “Kebo” di mana duet Soerjadi-Fatimah Achmad dijadikan sebagai boneka Soeharto.
Keberanian Megawati melawan Soeharto sudah terbukti dengan tetap bertahan selaku Ketua PDI “Perjuangan” yang kemudian menjadi PDIP. Meski tidak ada pengakuan “yuridis” formal saat itu, tetapi di akar rumput faktanya PDIP semakin kuat dan militan.
Secara biologis Amien Rais lahir dari rahim Muhammadiyah, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Amien adalah profesor dengan kajian politik luar negeri. Pada era reformasi, dia adalah salah satu tokoh yang juga berani melawan Soeharto, setidak-tidaknya pernah bersama-sama mahasiswa turun ke jalan untuk menumbangkan Soeharto dengan bandana melilit di kepala bertuliskan “Reformasi”. Sejarah ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
Karenanya dari sisi ideologis, Megawati dengan partai yang didirikannya yaitu PDI Perjuangan, bernafaskan “Nasionalis-Demokrat” dan bahkan “Sekular”. Di sisi lain, Amien Rais yang kemudian mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), bernafaskan “Islam Nasionalis” untuk membedakannya dengan “Islam Tradisionalis”-nya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Abdrruhraman Wahid alias Gus Dur.
Pada Pemilu 1999, PDIP memenangi Pemilu pertama kali yang diselenggarakan di era reformasi. Namun konstitusi dan undang-udang saat itu tidak mengamanatkan secara otomatis, bahwa pemenang Pemilu berhak menjadi Presiden RI. Langkah menuju Kursi RI-1 harus ditentukan kurang lebih 1000-an anggota MPR di Senayan. Sejarah kemudian mencatat, Amien Rais yang menggagas dan membangun “Poros Tengah” berhasil mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden RI.
Wajar di pusaran politik yang liar pada masa itu, kemenangan PDIP yang seharusnya bisa mendudukkan Megawati selaku Presiden RI, “dirampok” begitu saja oleh manuver Poros Tengah yang dibesut oleh Amien Rais sebagai penggagas utama. Wajar pula kalau Megawati sebal terhadap Amien Rais, sebab sebagai pemenang Pemilu ia harus puas menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Gus Dur yang dalam Pemilu 1999 pencapaian PKB yang didirikannya sekadar “partai tengah” saja.
Baru berjalan sekitar 2,5 tahun, Amien Rais kembali membuat manuver di Senayan. Kali ini untuk menumbangkan Gus Dur yang dulu dinaikkannya. Di sisi ini Megawati harus berterima kasih kepada Amien Rais, sebab dengan tumbangnya Gus Dur, ia berhak meneruskan jabatan Presiden RI yang ditinggalkan Gus Dur akibat pemakzulan Majelis, meski hanya 2,5 tahun. Wajarlah kalau kemudian Amien dikenal sebagai “politisi dangdut” dengan lirik “kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari”.
Terhadap Amien Rais, antara sebal dan berterima kasih bercampur menjadi satu dalam diri Megawati, bahkan mungkin sampai sekarang. Karena Amien Rais-lah Megawati gagal menjadi Presiden, karena Amien Rais pulalah Megawati bisa mencicipi Kursi RI-1 meski sekadar menghabiskan sisa-sisa kekuasaan Gus Dur.
Rivalitas antara Megawati dan Amien Rais diperkirakan akan berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Tersebab, Amien Rais muncul pada solat duhur bersama di Istiqlal bersama Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Ini bukan sembarang jamaah, selain Rizieq dan Amien, hadir pula juga Yusril Ihza Mahendra, Didin Hafiuddin, dan Hidayat Nur Wahid.
Megawati dan orang-orang PDIP harusnya melihat kehadiran Amien Rais di pusaran Pilkada DKI Jakarta ini sebagai kebangkitan “Poros Tengah Baru” yang siap bermanuver menumbangkan PDIP sebagai partai jawara di DKI Jakarta.
Pada Pileg 2014, PDIP sukses meraup 28 kursi DPRD dan dengan sendirinya bisa mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakilnya tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Sedangkan PAN, parpol bikinan Amien Rais menjadi jurukunci dengan hanya meraih 2 kursi DPRD saja. Amien Rais sepertinya ingin mengulang sejarah gemilang pada Pilpres 1999, di mana ia berhasil menjegal Megawati Sebagai Presiden RI.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, meski partainya sekadar “jurukunci”, Amien mencoba upaya baru bersama tokoh-tokoh Islam lainnya dengan menelurkan 9 “Risalah Istiqlal", merujuk tempat di mana pertemuan itu. Salah satu point dari risalah itu adalah mengimbau agar Muslim tidak memilih gubernur dan wakil yang non-Muslim alias “kafir”. Dalam risalah itu juga disebutkan, haram hukumnya memilih pemimpin non-Muslim.
Sudah menjadi rahasia umum, preferensi PDIP sampai saat ini masih ingin mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan wakilnya Djarot Saeful Hidayat. Ahok adalah gubernur Kristen dan beretnis Tionghoa yang diharamkan Rizieq, Amien, dan kawan-kawan lewat “Risalah Istiqlal”. Keinginan kuat itu sampai sekarang belum menjadi kenyataan karena secara organisasi masih harus menunggu keputusan Megawati selaki ketua umum partai.
Dengan turun gelanggangnya Amien Rais meski dengan perolehan kursi “mata beha” alias cuma dua, Megawati setidak-tidaknya harus mencermati langkah dan manuver Amien yang pada masa lalu terbukti sukses.
Intinya, yang diperlukan Megawati adalah menyorong habis-habisan bakal calon gubernur dan wakilnya yang sudah jelas-jelas “bakal jadi”.
Untuk itu, mengapa dalam ulasan sebelumnya PepNews! menyebutkan, “Risalah Istiqlal” di mana di dalamnya terdapat Amien Rais, semakin mempercepat penetapan Ahok-Djarot sebagai pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari PDIP, kecuali Megawati masih menyimpan trauma atas manuver Amien Rais.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews