Tiga Permintaan

Kamis, 1 September 2016 | 13:28 WIB
0
464
Tiga Permintaan

Cerpen: Pepih Nugraha

PANJI meminta izin kepada ayahnya untuk jalan-jalan sebentar mencari angin, memandang matahari tergelincir di ufuk barat, juga menikmati riak ombak di bibir pantai Pangandaran sebelum adzan maghrib tiba.

Ia tidak ragu meninggalkan ayahnya yang kini sudah di ambang usia 60 di hotel sendirian. Memang tidak muda lagi, tapi wajah itu menyimpan kejayaan masa lalunya. Harus Panji akui, ayahnya lebih gagah di usianya sekarang dibanding dirinya yang masih 25.

“Kau jangan berlama-lama pergi, Panji, tega-teganya meninggalkan ayah sendirian di sini!”

“Nggak lama lah, Yah, cuma jalan-jalan di pantai.”

“Ibu dan adik-adikmu pada kemana?”

“Belanja di Pasar Wisata, sebentar lagi mereka pulang!”

Panji berjalan menuju timur Pananjung yang berpasir putih. Senja indah itu masih ramai oleh orang yang bersenang-senang. Tetapi, Panji semakin menjauh menuju tempat paling sepi di teluk itu. Ia ingin mengenang kebersamaan di tempat ini sekitar 9 tahun lalu bersama Yena, kekasihnya.

Kenangan itu demikian hidup dan terlintas seperti kejadian baru kemarin. Setahun kemudian Yena tiba-tiba menghilang bagai di telan bumi. Cerita yang merebak, ia dibawa kabur ke luar negeri oleh sebuah sindikat dan menjadi korban perdagangan manusia. Dugaan lain, Yena diperkosa kemudian dibunuh secara keji, mayatnya dibuang entah di mana.

Selagi Panji menelusur pasir putih dengan kaki telanjangnya, ujung kaki menyentuh benda keras. Botol coca-cola berpenutup gabus!

Aneh. Pasti di dalamnya bukan minuman. Kosong. Penasaran, ia membuka tutup botol gabus itu. Dan…. sebuah bayangan tiba-tiba muncul dari dalam botol seiring keluarnya asap putih yang membubung tinggi, asap putih itu lama-lama membentuk tubuh raksasa menyeramkan seperti dalam cerita.

“Huahahahaaa…. terima kasih, Pangeranku, Penyelamatku… Akhirnya aku bebas setelah 5.000 tahun terpenjara di botol ini,” seru makhluk raksasa yang tak lain berasal dari bangsa jin itu dengan suara bagai halilintar.

Jin itu menyembah takjim, Panji malah mundur ketakutan.

“Jangan takut, Pahlawan Kebebasanku!" teriaknya menggelegar, "Sebagai tanda rasa terima kasihku, aku akan memberimu tiga permintaan….dan ketiga permintaanmu pasti akan kepenuhi, huahahaha….”

“Ah, kamu pasti bohong, bangsa Jin, usia botol coca-cola ini belum sampai 5.000 tahun,” Panji memberanikan diri mengangkat wajah.

“Tidak usah berdebat, dimensi waktumu memang beda dengan waktuku, yang jelas Firaun saja setahuku sudah minum coca-cola ini,” tukas si Jin. “Lekas kau katakan permintaanmu itu, Tuan Penyelamat!”

“Sebentar, benarkah kamu ini Jin yang ada dalam cerita Aladdin dan lampu wasiatnya itu?”

“Bukan, itu adikku!” jawab si Jin enteng. “Nah sekarang lekas katakan tiga permintaanmu itu sebelum aku berubah pikiran!”

“Baiklah,” kata Panji. Tapi permintaan apa, ya? batin panji sambil garuk-garuk kepala. “Begini saja.... Pertemukan aku dengan Yena kekasihku, saat aku pertama kali memeluknya sembilan tahun lalu!”

Jin itu menyembah takjim. Katanya, “Baik, permintaan pertamamu kukabulkan segera, waktumu hanya tinggal sejam saja!”

Ajaib...

Panji tiba-tiba sudah berada di taman sekolah yang indah di suatu sore yang khidmat saat lingkungan sekolah sudah sepi. Di sinilah sembilan tahun lalu untuk pertama kalinya panji memeluk dan mencium Yena!

“Yenaaaa….!?”

“Panjiiii…!!!

Kedua insan itu dengan serta-merta saling berpelukan erat menumpahkan rindu yang mendera sekian tahun.

Yena adalah gadis sunda berhidung mancung dengan rambut bergelombang hitam. Wajahnya putih bersih dengan gigi berkilau seperti mutiara saat tersenyum. Di lehernya yang jenjang tergantung kalung emas putih berlogo “Y” hadiah dari Panji saat ulang tahunnya yang ke-17.

“Kamu kemana saja, sayang…. aku kangen,” Panji mempererat pelukannya, mereka bergulingan di rumput ungu. Rindu yang terpendam sekian lama tercurah seketika. Tapi Yena tidak membalas. Ia malah menitikkan airmata. Titik air itu bergulir dan jatuh di kalungnya.

“Kenapa Yena? Katakan, kamu kemana saja selama ini? Kamu tahu, aku nyaris mati mengenangmu tiap hari!”

Yena kemudian melepaskan pelukan setengah berontak, kemudian lari menjauh. Panji tahu Yena bercanda, ia mengejarnya. Tapi tiba-tiba Si Jin muncul dari balik bangunan sekolah, tubuhnya menjulang seperti menggapai awan.

“Stop, stop... Waktumu telah habis,” katanya, “Sekarang permintaan keduamu!”

Belum lagi rindunya mengering, Yena sudah lenyap dari pandangan. Tanpa pikir panjang lagi Panji meminta dipertemukan dengan Yena dalam kondisi sekarang ini, bukan saat pertama kali ia memeluk gadis itu 9 tahun lalu.

“Aku ingin bertemu Yena saat sekarang ini dia berada!”

Seperti tadi, Si Jin menyembah takjim, “Baiklah…. waktumu setengah jam saja!”

Dan beberapa detik kemudian…. Panji sudah berada di dalam dasar jurang yang tidak dikenalnya.

Nyaris gelap, untunglah cahaya rembulan menerabas tebing dan memantul di….. tengkorak dan tulang-belulang yang berserakan tidak menentu. Saking dalamnya jurang itu, Panji memastikan tak seorangpun pernah menginjakkan kaki di sana. Sialnya, ia kini berada di jurang itu, sendiri dan berada di tengah tulang-belulang pula.

Lewat pantulan cahaya rembulan, Panji memandang sebuah logam berkilau: kalung berinisial “Y” milik Yena, kalung pemberiannya!

Panji sangat mengenalnya. Ia kemudian memandang tulang-belulang yang berserakan dan tak ada keraguan sedikit pun untuk memeluknya… “Yena, apa yang telah terjadi denganmu!?”

Si Jin tiba-tiba muncul kembali di jurang itu karena 30 menit sudah berlalu.

“Nah, sekarang permintaanmu terakhirmu, Pangeran Yang Mulia!”

“Aku yakin Yena korban pembunuhan, bahkan keyakinanku lainnya mengatakan, sebelum dibunuh Yena diperkosa lebih dulu!” Panji berkata geram, gerahamnya gemerutuk dengan tangannya terkepal menahan amarah. “Benarkah demikian adanya, bangsa Jin?”

“Oh, bukan waktunya diskusi, bukan pula urusanku,” kata si Jin, “Aku hanya ingin kau segera menyebutkan permintaan ketigamu!”

“Baiklah,” Panji membalas. “Sebagai permintaan terakhirku, pertemukan aku segera dengan si pemerkosa dan pembunuh biadab itu. Aku berjanji akan membalas dendam kematian kekasihku dengan belati yang kupunya ini. Pasti akan kubunuh, siapapun dia!”

Lagi-lagi, seperti biasa, Si Jin menyembah takjim dan berkata, “Kululuskan permintaan terakhirmu, waktumu untuk melaksanakan niatmu hanya satu menit saja, tidak lebih… Sekarang, aku benar-benar bebaaaaasssss hahahahaaaa….!!!”

Jin raksasa itu pun menghilang dan... sedetik kemudian Panji sudah berada tepat di depan… ayahnya!

Panji tak percaya.

“Ah, kamu ini gimana, Panji? Katamu mau sebentar, nyatanya keluyuran sampai tengah malam begini. Ayah menunggumu di sini sejak tadi sore, loh!”

Panji semakin tidak mengerti.

Waktu untuk melaksanakan niatnya kini tinggal tiga puluh detik lagi, sementara sebilah belati tajam sudah ia siapkan di pinggang.

***