Kamu Nggak Sendirian

Jumat, 12 Agustus 2016 | 14:59 WIB
0
464
Kamu Nggak Sendirian

Kesempatan reuni selalu saya nantikan. Reuni apa pun. Dari sisi makna, “reuni” berarti bersatu kembali, berkumpul kembali. Apa yang terjadi saat Reuni Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad’85 di Situ Cileunca beberapa waktu lalu, bukan saja fisik yang berkumpul kembali, tetapi batin atau jiwa pun menjadi terjalin erat kembali. Di sini terbukti, manusia itu berwujud fisik dan jiwa yang menyatu sekaligus.

Apa yang saya pandang saat menyatu kembali di tengah hiruk-pikuk pertemuan, gerendengan, guyonan spontan, dan teriakan ajakan foto selfie, adalah kenyataan; gue masih ada, elo-elo pade juga masih ada, kita masih ada.

Ada menjadi ada karena kita merasa yang lain tidak ada, itu kata Pak Poespoprodjo, dosen filsafat kami sewaktu kuliah. Saya sih berpendapat, ada karena merasa yang lain, yang tidak ada atau tidak ada di Situ Cileunca, tetap ada, minimal di hati para peserta reuni.

“Si Ini ke mana ya, kok nggak ikut?” atau “Si Itu kok nggak datang ke sini, ya?” Itu pertanyaan umum peserta yang hadir.

Bagi saya, ini menandakan yang tidak ada pun ada, setidak-tidaknya ada dalam ingatan, pikiran, bayangan, atau apa pun namanya, para peserta reuni. Mereka, yang tidak ada itu, juga tetap dicari, dirindukan, dan dinantikan. Cinta. Manusia hidup tak lepas dari rasa itu, cinta dalam makna luas, sebagaimana Erich Fromm katakan dalam "The Art of Loving".

Mengembalikan kenangan masa lalu, tentu saja terjadi di antara 75 peserta reuni. Kenangan dan masa lalu itu rupanya punya kuncinya sendiri-sendiri. Sebanyak 75 hadirin dari 250 mahasiswa, it's not bad. Lumayanlah, cukup menunjukkan soliditas tinggi kendati 30 tahun sudah berlalu.

Ada yang membuka kenangan perlahan-lahan, lalu terbayanglah aktivitas di kampus “kandang merpati” Sekeloa, terbayang indahnya kebersamaan di kost-kostan sempit saat diskusi ngalor-ngidul. Atau, mungkin juga kenangan masa pacaran brutal yang serasa masih kemarin terjadi, masih terasa basah hahaha....

Kita tidak pernah tahu, saya sendiri tidak pernah tahu kunci kenangan si A, si B, dan seterusnya, yang hadir di acara reunian itu, dan rasanya saya tidak perlu tahu. Biarlah kenangan itu hidup dalam ingatan masing-masing, terkunci karena orang lain tidak perlu mengetahuinya. Inilah saat-saat indah reunian.

Saya lebih suka mengatakannya “silaturahmi”, sebab ia tidak pernah mengenal kata “re” (kembali). Silaturahmi bisa kapan saja, bisa setiap saat, dan dalam keyakinan vertikal saya, silaturahmi itu diwajibkan.

Situ Cileunca hanyalah tempat definitif di mana janji reunian disepakati. Sejatinya, ada banyak tempat untuk menyimpan kenangan, ada banyak waktu kapan harus mengenang, apa dan siapa yang akan dikenang.

Panitia yang bekerja keras telah merancang acara ini jauh-jauh hari. Ketika keringat masih basah dan nafas masih belum teratur saat turun dari bus pun, perlombaan yang menantang nyali dan imaji, segera harus dihadapi. Bayangkan kami yang sudah sepuh (ah, kalian aja kali!), diminta membentuk kelompok. Satu kelompok lima orang dan kami diminta mendayung rakit ke tengah danau dengan hanya tiga dayung untuk mengambil balon sebanyak-banyaknya. Langsung menggugat nyali, merangsang adrenalin. Kami yang sudah menjadi "orang kota" dan terbiasa bermacet-macet di jalan raya, tiba-tiba harus meluncur di situ (danau) yang sangat luas hanya menggunakan perahu karet. Ah, siapa takut!

Persis seperti Tuhan, Allah, Batara, Syang Hyang, apa pun namanya, memberi kesempatan dan peluang hidup; kami harus mengakali bagaimana bisa memperoleh balon sebanyak-banyaknya dengan waktu sesingkat-singkatnya. Ini bukan melatih atau mengembangkan sifat kemaruk, tetapi berupaya menggugah kembali semangat bertarung masing-masing peserta dalam kelompok, sebab sejatinya hidup pun tidak lepas dari pertarungan nasib, bukan?

Jadi saya yakinkan kepada empat rekan lain setim (meski bukan pemimpin yang ditunjuk), bahwa “kita bisa” memenangkan kompetisi yang mengasyikkan ini. Dibimbing naluri masa kecil semasa hidup di kampung dan akrab dengan sungai berair deras, kami mulai mengatur strategi. Meski kami berada di urutan ketiga saat nyemplung di danau, toh dengan kebersamaan tim yang saya gerakkan (ededeh.... gayana ji', kata orang Makassar) dari belakang sebagai kemudi, kami bisa mengumpulkan delapan balon dalam waktu singkat.

Balon terakhir kami dapatkan dengan cara benar-benar berkompetisi, karena tim lain juga menghendaki balon yang sama. Saya yakinkan bahwa “tim kita” bisa merebut balon berharga tanpa harus menyakiti lawan. Ajaib, balon terakhir kami dapatkan. Setelah menghitung dengan cermat bahwa tim lain tidak akan mampu meraih balon yang jumlahnya melebihi apa yang kami dapatkan, maka kami memutuskan untuk kembali agar waktu tercepat bisa kami pegang juga.

Bayangkan; predikat tercepat dan terbanyak mengumpulkan balon kami sandang, padahal kami baru saja dipertemukan dalam reunian! Wajah-wajah yang berubah setelah 30 tahun berlalu, di manakah saya? Malamnya, kompetisi tim tetap dilakukan dalam suasana keakraban, “berpacu dalam memori” dengan menebak 36 wajah kawan lama, menebak lagu-lagu jadul, kami lakukan dengan senang hati, bahkan panitia sempat “melarang” tim kami menjawab karena sudah terlalu banyak meraih kemenangan..... hahaha Kena seeded euy!

Survival Intelligence

Kompetisi adalah cara yang tepat untuk mengakrabkan orang yang terpisah sekian tahun, 30 tahun. Memang ada paradoks di sini; mengakrabkan kok dengan mempertentangkan (compete)? Tetapi, tidak ada kenikmatan yang paling paripurna selain dalam setiap paradoks, bukan? Buktinya, keakraban langsung terjalin, bukan hanya rekan satu tim, tetapi juga tim-tim lainnya, justru dengan semangat berkompetisi. Dahsyat.

Hakikatnya pula, hidup adalah kompetisi. Dalam setiap kompetisi, selalu ada kalah-menang. Menang adalah tujuan, kalah adalah memalukan. Tetapi dalam reunian, kemenangan bukanlah tujuan, kalah adalah hura-hura dan, bahkan untuk ledekan pun tidak. Inilah makna kebersamaan. Kita menjadi saling paham dan mengerti meski tidak terkatakan, tidak terkomandokan. Membesarkan hati yang kalah adalah kewajiban bagi si pemenang!

Sore dan malam harinya, meski tidak ada dalam acara, Kang Unu Nugraha, rupanya membawa seperangkat alat solat.... eh bukan, seperangkat alat catur!

Catur adalah permainan otak yang justru baru saya kenal saat masuk Fikom Unpad tahun 1985 itu. Saya belajar sendiri dari tabloid Bola yang memuat kolom catur Lugito Hayadi. Allah menciptakan saya sebagai “the quick learner”. Saya bisa belajar cepat tentang sesuatu yang baru, termasuk catur. Tentu saja saya bukan pecatur alam seperti Wesley So atau Cerdas Barus, saya mah pecinta permainan catur yang terlambat tahu soal catur. Tetapi saat saya menghadapi lima master Fikom Unpad yang saya tahu jago-jago taktik dan strategi itu, saya mampu mengatasi mereka untuk tidak mengatakan mempecundangi mereka semua hahaha.... (maafin ane, Bro!).

Bahwa dalam hidup dan kehidupan selalu ada peluang “kalah” dan “menang”, itu lebih karena kecerdasan, atau malah keberuntungan. Saya menyebutnya “kecerdasan bertahan” dalam mengakali kehidupan, atau bahasa kerennya “survival intelligence”. Bukankah setelah lulus S1 sarjana Fikom Unpad sejatinya “start” kita sama? Mengapa dalam mengarungi perjalanan hidup 30 tahun ke depan ada yang berhasil, gagal, atau biasa-biasa saja? Nah, “survival intelligence” berperan di sini!

Saya tidak percaya pada nasib. Hanya takdir kematian saja yang tidak bisa saya lawan. Selebihnya, sebenarnya kita bisa mengakalinya, bisa mengatasinya dan kita memang perlu “survival intelligence” itu dalam menyiasati hidup dan kehidupan. Kita harus siap berkompetisi. Jangan percaya pada nasib buruk!

Maka masih dari arena reunian ketika ada rekan bertanya berapa anak perpustakaan yang benar-benar menjadi pustakawan, saya menjawabnya hanya sedikit. “Kami kebanyakan orang-orang murtad,” kata saya. Bahkan saya berkelakar, hanya dengan “survival intelligence” yang kami tempuh itulah kami bisa hidup sampai sekarang hahaha.... Bukan berarti rekan kami yang menjadi pustakawan kurang cerdas menggunakan “survival intelligence”-nya. Sebaliknya, dengan menjadi puskawan itulah mereka sedang mempraktikkan “survival intelligence” dengan caranya sendiri.

[caption id="attachment_608" align="alignleft" width="467"] 14 rekan kami yang telah tiada[/caption]

Well.... rasanya waktu terlalu cepat berlalu. Jujur, tatkala pada keesokan harinya saat hendak pulang kami diminta berkompetisi kembali, menyusun kalimat filosofis yang sangat terkenal semasa kuliah, dan saya tidak ingin perpisahan itu cepat terjadi. Maka kami mengikuti ritual menyeberangi danau dan menuju pulau dengan tiga perahu motor. Kami melakukannya dengan sukacita karena kami tahu, momen itulah penghujung perpisahan kami. Tak ada pesta yang tak berakhir. Empat belas rekan kami yang sudah pergi mendahului...

Tentu saja kami bersedih saat Panitia pada malam keakraban itu memperlihatkan 14 rekan yang telah mendahului, 4 rekan yang sedang mengalami sakit (berat). Beberapa di antaranya saya kenal baik. Dalam slide-nya Panitia menyisakan dua kotak kosong yang diisi dua tanda-tanya. Pesan yang ingin disampaikan jelas; siapa yang bakal mengisi dua tanda tanya di dua kotak berikutnya?

Tidak seperti foto selfie yang ingin rebutan, saling mendahului, untuk dua tanda tanya itu tidak ada satu pun di antara kita yang saling berebut mendahului, bukan? Aku ingin hidup seribu tahun lagi, kata Chairil Anwar. Itu pertanda bahwa hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan, terlalu singkat untuk dinikmati. Maka yang saya minta kepada Sang Maha Penentu, “Ya Allah.... pertemukan kembali kami dalam reuni berikutnya....”

Lewat reunian semacam inilah, meminjam lirik Tipe-X Band, saya merasa tidak sendirian.... “kamu nggak sendirian!”

***

Catatan tercecer dari Reuni Fikom Unpad angkatan 85, 203 Mei 2005 di Situ Cileunca