Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikenal sebagai sosok pemarah, temperamen, dan meledak-ledak. Mudah baginya untuk memancing orang lain meledak dan marah-marah, sebagaimana ia tunjukkan kepada Walikota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma.
Bagi Ahok, memancing kemarahan Risma perkara mudah karena tahu kelemahan dirinya selaku pemarah. Satu kata, "Trotoar" misalnya, bisa dijadikan amunisi untuk meledakkan kemarahan Risma. Bagaimanapun, ini harus dilihat dalam konteks seni berperang ala Sun Tzu, memancing kemarahan lawan agar lawan meledak marah dan akhirnya lengah.
Dari sisi falsafah "Homo Ludens" Martin Huizinga, Ahok sedang menunjukkan bahwa semua orang sejatinya "Manusia Bermain". Politik dan bahkan perang hanyalah sebagian dari pemenuhan unsur permainan pada manusia.
Namun dalam konteks memancing kemarahan Risma dengan satu kata "Trotoar", Ahok ingin memancing Risma sekaligus mengecoh anggapan publik, bahwa pejabat yang pemarah dan meledak-ledak itu bukan hanya dia seorang, tetapi ada Risma juga.
Dalam konteks strategi seni berperang dan permainan ini, strategi pancingan Ahok boleh dikatakan berhasil.
Sebagaimana diwartakan sejumlah media massa, kemarahan Risma menyembul ke permukaan setelah Ahok memancing dengan umpan "Trotoar", padahal Ahok memancing dari belakang rumahnya di bibir pantai Jakarta Utara. "Ikan" yang kena pancingannya tergolong kakap, yakni Risma, yang tengah berada di lepas pantai Tanjung Perak, Surabaya, berbilang 1.000 kilometer jaraknya dari Ibukota.
Risma mengingatkan Ahok dengan keras untuk tidak menyudutkan Kota Surabaya yang posisinya sudah berada di sudut utara Pulau Jawa bagian timur itu. Risma juga meminta Ahok untuk tidak meremehkan hasil pembangunanan Surabaya.
Risma mengaku tersinggung atas ucapan Ahok yang menilai TROTOAR di Kota Surabaya menjadi baik dan nyaman karena dibangun dalam waktu yang lama. Selain itu luas wilayah Surabaya tidaklah sebesar Jakarta.
"Ini bukan persoalan pencalonan gubernur, tapi sudah harga diri warga Surabaya," tegas Risma di Balai Kota Surabaya, Kamis 11 Agustus 2016, sebagaimana dilaporkan media.
Jelas di sini pancingan Ahok mengena. Setidak-tidaknya mengaburkan pandangan publik bahwa soal marah dan meledak-ledak Risma juga idem dito dengan dirinya.
Kemarahan Risma bertambah tatkala LUAS WILAYAH menjadi api penyulut semakin berkobarnya peperangan. Luas Jakarta 661.5 Km2 sedangkan Surabaya 374,8 Km2. Risma marah ketika Ahok menganggap Surabaya hanya seluas Jakarta Selatan.
"Luas kami separuh Jakarta, Pak Ahok dibantu lima walikota. Aku sendiri di Surabaya. Fakta ini harus kusampaikan. Itu orang sombong. Warga Surabaya bisa marah dihina begitu. Aku kalau ngomong ya berbasis data," kata Risma sebagaimana termuat portal berita Detikcom.
Risma merasa heran dengan sikap Ahok yang menyerang kota Surabaya. Mengapa tidak menyerang kota Bandung yang lebih dekat, misalnya. Risma mengingatkan Ahok untuk tidak takut menjadi calon gubernur petahana. "Kalau kerja lima tahun bagus ya nggak usah takut!" Risma berbalik mengejek.
Dua hal maksud dan tujuan pancingan Ahok terhadap Risma;
Pertama menantang Risma datang ke Jakarta untuk membuktikan siapa di antara keduanya yang paling bisa diterima warga Jakarta. Ahok ingin membuktikan kemarahan siapa yang lebih disukai warga Jakarta.
Selain itu, Ahok seperti ingin menguji konsistensi iman pemeluk keyakinan tertentu yang menganggap dirinya "haram" jika dipilih karena kekafirannya. Sebagai perempuan, dalam keyakinan tertentu, Risma juga "haram" untuk dipilih dan dijadikannya sebagai pemimpin. Apakah nanti Risma akan di-"haram"-kan juga untuk dipilih, itu yang ditunggu Ahok.
Kedua, bersifat sebaliknya, yakni menahan Risma untuk tidak ke Jakarta dengan alasan palagan Jakarta lebih sulit dan wilayahnya jauh lebih luas dibanding kota Surabaya. Selain itu, Ahok akan mendapat poin dari warga kota Surabaya jika berhasil menahan Risma yang dicintai warganya untuk tidak hijrah ke Jakarta.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews