Tri Rismaharini Tak Ingin Jadi “Kambing Dibedaki”

Minggu, 7 Agustus 2016 | 21:07 WIB
0
433
Tri Rismaharini Tak Ingin Jadi “Kambing Dibedaki”

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma bertekad naik kereta malam dari Surabaya menuju Jakarta untuk menemui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Risma ingin mengutarakan kembali tekadnya bahwa dirinya masih diperlukan Kota Surabaya hingga tahun 2020, sampai jabatannya berakhir.

Namun, yang tidak pernah terberitakan dan terungkap di media-media massa konvensional, kedatangan Risma menemui Megawati untuk sebuah penegasan; dirinya tidak ingin menjadi sekadar “kambing dibedaki”.

Di Jakarta banyak kambing apalagi jelang Idul Qurban, demikian kira-kira ucapan Risma yang akan diutarakan, “Mengapa tidak mencalonkan saja seekor di antara kambing-kambing itu kalau PDIP yakin menang? Tinggal bedaki kambing saja dan urusan selesai, bukan?”

Tetapi itu sekadar perkiraan yang sengaja didramatisir, belum tentu Risma akan bicara seperti itu.

Istilah “kambing dibedaki” tiba-tiba menyeruak masuk khasanah perpolitikan Tanah Air, khususnya perpolitikan Pilkada DKI yang sedang “hot-hot”-nya. Besar kemungkinan, istilah “kambing dibedaki” ini akan melebihi popularitas istilah “kucing dalam karung” untuk mengungkapkan kehati-hatian publik memilih calon kepala pemerintahan. Popularitas “kambing dibedaki” diperkirakan akan menyamai “kambing hitam” yang sudah populer lebih dahulu.

Pencetus istilah “kambing dibedaki” bukan Niccolo Machiavelli, melainkan politisi PDIP bernama Masinton Pasaribu. Tidak ada kaitannya istilah “kambing dibedaki” dengan nama belakangnya di mana ribuan kambing biasa dijual di pasar-pasar atau bahkan pinggir jalan. Juga ucapan “kambing dibedaki” itu tidak terlontar saat politisi itu melihat sekumpulan kambing lewat yang akan dijual ke pasar.

Ucapan “kambing dibedaki” ini diduga semata-mata untuk memberi penegasan yang kelewat percaya diri (bisa dibaca: sombong) bahwa siapapun yang diusung PDIP selaku calon gubernur DKI sudah pasti akan jadi, bahkan itu “kambing dibedaki”. Istilah “siapa” di sini sekarang bukan merujuk kepada manusia saja, melainkan untuk kambing juga.

“Meski kambing yang dibedaki sekali pun kami usung pasti menang, apalagi lawannya cuma Ahok,” demikian persisnya ucapan Masinton Pasaribu yang dikutip Tempoco dan tersebar secara viral terutama setelah PepNews! mendudukkan perkaranya secara gamblang. Masinton bukan “orang kecil” di partai berlambang banteng nyeruduk itu, melainkan anggota Komisi Hukum DPR RI.

Sebagai orang hukum yang sudah pasti tahu dan bahkan pakar hukum (masak pakar biologi), Masinton memperkirakan ucapannya tidak akan berdampak hukum apapun. Kambing tercerdas sekalipun tidak akan pernah menggugat pernyataannya itu. Nasib kambing memang hampir sama dengan domba, species sejenisnya, yang sering disebut “adu domba”.

Sampai di sini ada satu kesimpulan yang siapapun tidak berani menariknya, kecuali PepNews! bahwa dunia politik dan politisi itu tidak jauh-jauh dari hewan.

Namun ucapan “kambing dibedaki” yang kelihatan sepele dan sekadar merendahkan lawan politik (Machiavelli tentu membenarkannya) yang dalam hal ini Ahok, berdampak buruk secara “biologis” maupun “psikologis” terhadap partai Masinton itu sendiri, PDIP.

Secara biologis, misalnya, PDIP harus selalu menepis anggapan Masinton “kambing dibedaki” dalam setiap pencalonan kepala daerah di manapun, bahwa calon yang diusungnya secara biologis memang manusia, bukan kambing.

Secara “psikologis” dan ini yang paling berat, ucapan “kambing dibedaki” diperkirakan akan membuat ogah siapapun politisi yang didorong PDIP sebagai calon kepala daerah, termasuk Risma. Secara biologis Risma manusia dan dia tidak ingin jatuh secara psikologis hanya sekadar “kambing dibedaki”.

Buntut-buntutnya yang paling dahsyat dan dipastikan bakal mengguncangkan dunia adalah ketika PDIP dalam situasi tertentu terpaksa harus mencalonkan anak biologis PDIP sendiri, Puan Maharani.

Untuk situasi khusus ini, Masinton Pasaribu harus mempertanggungjawabkan ucapan "mulutmu harimau"-nya itu.

Ngeri, bukan?

***