Saksi Bisu Tiga Perahu Vietnam [Pulau Galang 3]

Rabu, 3 Agustus 2016 | 05:55 WIB
0
628
Saksi Bisu Tiga Perahu Vietnam [Pulau Galang 3]

Saya meneruskan perjalanan setelah puas menikmati Jembatan Habibie atau Jembatan Teungku Fisabilillah. Untuk sampai ke Pulau Galang, saya harus menempuh empat jembatan lagi, minus satu jembatan terujung yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Untuk itulah mengapa Jembatan Barelang yang merupakan kependekan dari Batam-Rempang-Galang itu memiliki enam jembatan.

Seperti yang saya ceritakan terdahulu, hanya satu jembatan yang paling fenomenal, baik dari struktur bangunan, panjang, maupun keindahannya. Kini saya sudah meninggalkan “Batam Coret”, yang dapat saya lihat di rambu-rambu sebelum menuju pulau berikutnya, Pulau Tonton. Dari kaca spion mobil, saya melihat bayangan Jembatan Barelang berdiri indah dan megah dengan jalan di tengahnya yang tidak rata dan seperti terangkat tali-tali kawat baja.

Semakin menjauh, semakin jarang mobil yang melintas. Kalaupun ada yang melintas, saya masih bisa menikmati merek dan jenis-jenis mobil yang aneh-aneh, yang tidak beredar di Jakarta, mulai dari jeep, sedan, sampai kendaraan serba guna buat keluarga.

Sesekali berpapasangan dengan mobil double-deck, yang bagian belakangnya memang dipergunakan untuk mengangkut kayu. Memang untuk semestinya. Di Jakarta, tidak pernah saya melihat bagian belakang mobil double-deck digunakan mengangkut kayu atau hasil bumi lainnya, melainkan ditutup terpal atau memasang aksesoris mahal lainnya. Pokoknya double-deck di Jakarta 100 persen buat “ngegaya”, sementara double deck di Batam asli buat kerja.

Bagi peminat otomotif, yang mencolok saat kita keluar dari Bandara Internasional Hang Nadim, saat mencari taksipun sudah dihadapkan pada berbagai jenis dan merek kendaraan yang digunakan. Taksi yang saya tumpangi, misalnya, adalah Toyota hatchback yang dilengkapi airbag. Di Jakarta mungkin ada taksi yang dilengkapi alat keselamatan jika kendaraan berbenturan itu, tetapi itu masuk taksi “golden” atau “premium”, yang tarifnya aduhai. Di Batam, saya menikmati taksi sedan yang nyaris tanpa suara, dilengkapi airbag, tetapi dengan tariff biasa.

Meski terlihat sudah agak out of date, tetap saja berbagai jenis mobil itu terkesan mewah buat saya. Bayangkan, Toyota Harrier, Celica dan RAV4, Nissan Terano, Mitsubishi Pajero built up, yang hanya ada dalam angan-angan saya itu, berseliweran di jalanan Batam. Semua mobil itu didatangkan dari Singapura dengan bea masuk yang nyaris nol persen, sehingga jatuhnya pun menjadi murah sesampainya di Batam. Di Singapura, mobil-mobil itu baru dipakai paling tidak 4-5 tahun, setelah itu “dibuang” ke Batam.

Itu berarti, mobil-mobil itu masih “gres” saat tiba di Batam. Jalanan yang mulus dan jarak tempuh yang terbatas, pastilah membuat kondisi mobil tidak cepat rusak. Tetapi, jangan harap mobil di Batam bisa keluar dari Batam yang dikenal sebagai kawasan berikat itu. Ah, itu teori. Buktinya saat saya bertugas di Aceh beberapa pekan setelah tsunami, banyak mobil-mobil eks-Singapura yang berhasil dikeluarkan dari Batam. Apa yang tidak mungkin di negeri ini, Bung!

Jembatan Tonton-Nipah, Nipah-Setoko, dan Setoko-Rempang sudah saya lalui. Kalau seluruh enam jembatan itu dibentangkan, panjangnya bisa mencapai dua kilometer. Pada sebuah ruas, John membelokkan mobilnya ke arah kiri.

“Kita memasuki bekas kamp pengungsi Vietnam, Pak,” katanya. Wow, inilah yang saya tunggu-tunggu.

Saat kendaraan memasuki jalan yang lebih kecil setelah berbelok dari jalan besar, mata tertumbuk pada peta raksasa mengenai rencana pembangunan Pulau Galang. Saya menemui jalan bercabang. Ke arah kiri menuju Pelabuhan Karyapura, Masjid Baiturrahman, perumahan komunitas lokal atau penduduk asli Pulau Galang, dan Gereja Katolik Hati Kudus. Sementara ke arah kanan menuju bekas kamp pengungsiVietnam. Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cata dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM.

“Kita langsung ke kanan saja, John,” pinta saya.

John menurut. Mobil pun memasuki pintu gerbang.

“Bapak harus membayar tiket masuk,” kata John. Tanpa diberi tahu pun sebenarnya saya sudah tahu. Saya mempersiapkan uang lembaran limapuluh ribuan. Saat menurunkan kaca mobil, seorang petugas melongok. “Berapa orang, Pak?” “Dua,” jawab saya cepat, “Satu sopir travel” “Duapuluh ribu saja,” katanya.

Saya melirik John, maksudnya meminta jawaban kok harganya semurah itu, padahal kami bertiga masuk dengan mobil. Saya jadi ingat Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta, penumpang dihitung perkepala. Sialnya, kendaraan masuk pun kena hitung, seakan-akan kendaraan itu ingin ikut menikmati Ancol! Rupanya di Pulau Galang ini tidak.

“Biasaya kalau mobil penuh kami memungut biaya dupapuluh lima ribu rupiah. Tetapi karena hanya dua orang, ya cukup sepuluh ribu rupiah saja,” kata petugas. Astaga, ternyata John tidak “direken” orang!

Setelah membayar, kami segera melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat. Di berbagai tempat terdapat plang bertuliskan “Galang, Memory of a Tragedic Past”. Kalau saya terjemahkan secara bebas, mungkin bunyinya “Galang, Kenangan akan Tragedi Masa Silam”.

Segala fasilitas yang tersedia untuk pengungsi, masih ada di sana. Mulai dari barak tempat penampungan pengungsi, rumah sakit, sekolah, gereja, sampai kuburan. Tetapi mata saya langsung tertumbuk pada tiga perahu kayu. Inilah “malaikat penyelamat” nyawa para pengungsi Vietnamsesungguhnya yang terdampar di Pulau Galang!

Perahu. Tidak ada istimewanya dengan alat transportasi ini bagi saya. Beberapa tahun lalu saya dan teman-teman menyewa kapal yang tiga kali lebih besar dari tiga perahu yang ada di depan mata saya itu. Bukan karena terapung-apung mengungsi, tetapi sengaja mengapungkan kapal yang disewa belasan juta rupiah itu di tengah samudera di perairan antara Sulewesi dan Kalimantan semata-mata untuk bersenang-senang, yakni memancing ikan kakap di laut dalam. Sebuah pengalaman eksotis yang kemudian saya tulis di Harian Kompas.

Tetapi tiga perahu yang ada di depan saya itu, yang ukuran panjangnya saja tidak lebih dari lima belas meter, telah “berbicara banyak” dalam menyalamatkan puluhan nyawa pengungsi Vietnam yang berlindung di haluan sampai buritannya.

Saya mencari-cari informasi mengenai tiga perahu itu. Tidak ada guide yang membimbing dan memberi saya informasi. Untunglah di depan tiga perahu itu ada plakat tiga alinea yang bunyi aliena pertamanya begini:

“Perahu kayu ini adalah sisa-sisa dari peninggalan pengungsi Vietnam yang sengaja ditenggelamkan di perairan Pulau Galang dan ada beberapa perahu yang dibakar oleh para pengungsi sebagai aksi protes dan penolakan pemulangan kembali ke negara Vietnam.”

Saya membayangkan Nguyen, si perawan Vietnam dalam novel itu berada di salah satu perahu itu. Terbayang pula setelah ia diperdayai si lelaki “Toloheor” yang kemudian meninggalkannya begitu saja, Nguyen terlunta-lunta karena cinta sucinya yang kandas, yang tersia-sia begitu saja.

Saya membayangkan saat para pengungsi itu diminta paksa keluar dari Pulau Galang, Nguyen meronta-ronta karena tidak mau dikembalikan ke Vietnam. Maunya ia ingin tinggal di Indonesia, hidup bersama lelaki yang merenggut kegadisannya, yang dikira mencintainya sepenuh hati.

Saya membaca aliena kedua plakat itu:

“Setelah peninggalan mereka dari Pulau Galang tahun 1995, perahu ini oleh Otorita Batam diangkat ke daratan kemudian diperbaiki dan dipamerkan untuk publik sebagai obyek yang bernilai sejarah.”

Saya sangat setuju kalau tiga perahu itu bernilai sejarah. Saya tidak akan menyangkalnya. Tahun 1995. Artinya baru 13 tahun yang lalu terjadi prahara kemanusiaan yang menimpa pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Setelah merapat di Pulau Galang tahun 1979, setelah terapung-apung berbulan-bulan dan bahkan ada yang sampai terapung setengah tahun, mereka sampai di pulau ini dan mendapat perlindungan badan PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR. Dari 1979 ke 1995, itu artinya perjalanan waktu selama 16 tahun. Saya mulai menghitung-hitung…

Kala itu gadis Nguyen dalam novel dan hidup dalam fantasi saya itu berusia 17 tahun, gadis yang tengah mekar-mekarnya. Artinya, ia meninggalkan Pulau Galang saat usianya menginjak 33 tahun, usia yang menjadi ukuran puncak kedewasaan seorang perempuan, saat gurat-gurat kecantikan belum begitu banyak beranjak tergerus usia. Saya mau bilang, Nguyen pasti masih tetap cantik diusianya yang ke-33 saat ia dengan perasaan berat harus meninggalkan Pulau Galang, meninggalkan cintanya yang kandas. Nguyen, Nguyen…. dimana kamu sekarang?

Enam belas tahun. Tentu bukan waktu singkat. Saya bayangkan, di kamp pengungsian itu pasti ada bayi usia bulanan yang selamat saat pertama kali mereka. Maka ketika ia harus meninggalkan Pulau Galang, pastilah bayi itu sudah beranjak remaja, sama seperti saat Nguyen tiba. Kalau ada pengungsi Vietnam sudah berusia tua saat tiba di Pulau galang, pastilah ia juga meninggal dan ditanam di Pulau Galang. Maka kuburan pengungsi Vietnam akan menjadi fokus tulisan saya tersendiri, demikian pikir saya saat itu. Tetapi sekarang saya membaca alinea ketiga plakat itu:

“Perahu inilah yang dipakai para pengungsi mengarungi lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia dengan harapan dapat perlincungan dari negara lain, di antaranya sampai ke Pulau Galang ini dan sebagian dari mereka gagal mencapai daratan dan gugur di tengah lautan karena perahunya tenggelam”.

Saya memandang dan bahkan memegang satu perahu yang bagian lambung kirinya sudah hancur akibat kuasa bakteri. Satu perahu lagi, di ujung kiri-kanan haluannya, tertulis TG 1050 TS. Saya memuaskan diri berlama-lama di depan tiga perahu yang menjadi “saksi hidup” hidup-mati para pengungsi Vietnam, termasuk Nguyen di dalamnya.

Setelah puas, saya bergegas menuju segerumbul tanaman teduh, tempat kuburan para pengungsi Vietnam yang meninggal di Pulau Galang. Saya akan menuliskan tentang kuburan bisu tetapi “bercerita banyak” ini dalam tulisan perjalanan berikutnya… (Bersambung)

***