Badut

Rabu, 3 Agustus 2016 | 05:45 WIB
0
638
Badut
Badut (Foto: Hello Sehat)

Cerpen: Pepih Nugraha

Semula ragu, tetapi kemudian tawaran itu tidak ia sia-siakan meski setelah merenung cukup lama. Tawaran datang saat Maknun hendak solat maghrib di langgar sebelah rumah kontrakannya.

“Kau cuma butuh tenaga yang kuat untuk berdiri, juga menahan beban anak-anak yang biasanya ingin memanjat pundakmu. Tahana marah kalau anak-anak menepuk kepalamu atau bahkan menampar mukamu. Selebihnya,kau tak harus malu karena tak seorang pun mengenalimu, bukan?” terang Suryawan, sahabat lamanya yang kebetulan bertemu kembali di Jakarta. Ia jatuh kasihan melihat ekonomi karib semasa hidup di kampung itu sedang terpuruk.

“Jadi aku harus berperan sebagai badut?”

“Menjadi, kukira, menjadi badut. Kau mau?”

“Malu aku, Wan!”

“Lebih malu kau dihina istrimu karena menganggur, malu sama anak-anakmu yang tahu bapak mereka tidak bisa memberi nafkah. Pilih mana?”

“Jadi kerjaanku cuma berdiri menahan beban, lalu goyang-goyang tubuh seperlunya biar anak-anak senang. Begitu?”

“Kurang lebih begitu.”

Maknun diam. Boleh jadi memang ragu. Tetapi itu tadi, kata-kata “dihina istri karena menganggur” sangat mengganggu pikirannya. Suryawan benar, betapa selama beberapa bulan terakhir tatkala pemutusan kerja diterimanya setahun lalu, ia menjadi bahan hinaan istrinya, Saleha. Mencari pekerjaan tanpa ijazah memadai, susahnya bukan main, bahkan keringat mengalir dan tenaga kuat yang ditawarkan pun belum tentu diterima.

“Kau ini bukan seperti lelaki. Baru kena PHK segitu saja sudah putus asa. Kau bisa cari kerjaan, apapun, daripada tinggal diam di rumah kontrakan! Masak aku lagi yang harus cari duit buat makan?” Maknun teringat kembali kata-kata istrinya yang menyengat. Hampir setiap hari sengatan itu ia terima.

Pak, sekolah minta bayaran enam bulan dibayarkan sekaligus, kalau tidak Ujang tidak bakal naik kelas,” keluh si Sulung.

Pak, kapan Meta dibeliin boneka Barbie?” rengek si Bungsu…

“Sudahlah, kau terima saja pekerjaan itu. Bagaimana?” Suryawan membuyarkan lamunannya.

“Emh…. baiklah. Kuterima.”

“Nah, begitu. Bagus. Kutunggu besok di Plaza Bintaro, ya, temui aku. Jangan sampai telat, jam sembilan pagi!”

Maknun mengangguk. Menyanggupi.

Demikianlah, atas kebaikan teman sekampungnya itu, Maknun bisa mendapat honor sebagai badut. Sebuah pekerjaan yang nyaris tanpa memerlukan keterampilan. Hanya berdiri menahan berat tubuh, sedikit menggoyang-goyangkan tubuh untuk menerbitkan kelucuan, selebihnya bisu tanpa harus berkata apa-apa. Cukup. Bayarannya pun harian, sedikit di atas upah minimum regional. Honornya sebagai badut lumayan juga buat makan sehari-hari secukupnya, meski hinaan dari istrinya tetap ia terima.

“Sebenarnya pekerjaanmu apa sih?” tanya istrinya suatu malam, saat dua anaknya sudah tidur. Si Sulung dibilik sebelah, sementara si bontot sudah terlelap di samping ibunya.

“Kamu tidak perlu tahu, yang penting pekerjaanku halal. Aku tak mungkin meracuni anak-istriku dengan uang haram.”

“Aku curiga jangan-jangan kamu jadi pengamen di bus kota!”

“Suaraku sember, lagi pula aku tak bisa main alat musik kecuali tepuk tangan.”

“Atau kamu jadi preman pemeras orang?”

“Apa aku ada potongan?”

“Lalu apa dong?”

“Nanti kuceritakan… tapi, aku ‘mau’ malam ini.”

“Malas, ah, lagi nggak ada nafsu.”

“Ini malam Jumat, kata orang sunah bagi suami-istri ‘melakukan’-nya.”

Saleha membalikkan badan.Maknun hanya bisa menelan ludah.

**

Ini hari minggu. Maknun mendapat pesanan untuk berperan sebagai badut di Mal Pondok Indah, mal yang lebih besar dari Plaza Bintaro. Ia dijanjikan mendapat honor lima kali lipat dari yang diterimanya. Mungkin lebih, karena bakal ada tambahan waktu kerja sehingga honornya bertambah dan ada pameran besar mainan anak-anak di sana. Untuk itulah Maknun bersemangat bangun sepagi ini, siap menjadi badut, sebuah pekerjaan yang tidak terasa sudah ditekuninya selama dua bulan terakhir.

“Sulung, nanti kau bisa bayar uang sekolahmu ya, Nak. Dan kau adik manis, boneka Barbiemu mungkin sudah ada nanti malam!” demikian Maknun saat pamit.

“Benar ya, Pak? Jangan bohong lagi!”

Maknun angkat kaki.

Suasana mal begitu meriah, seakan-akan anak-anak dan orangtua dari seluruh penjuru kota datang serempak. Suasana menjadi hiruk pikuk. Satu hal yang menarik perhatian mereka adalah sosok badut raksasa yang menjulang tinggi, mencolok, badut berbentuk dinosaurus dengan ekor panjang dan tubuh besar. Kostum badut itu luar biasa beratnya, bahkan terasa menekan Maknun yang terbungkus di dalamnya. Mal itu berpendingin udara sempurna, tetapi di dalam balutan dinosaurus itu udara bukan main pengapnya. Panas seperti memeras peluhnya lebih deras.

Sekarang sudah hampir jam tiga petang, Maknun harus tetap menahan beban. Waktu istirahat belum juga tiba, padahal istirahat diperlukan untuk makan siang.

Si juragan pemilik badut tadi berbisik, “Kau tahan untuk tidak makan siang dulu, tanggung… anak-anak lagi sedemikian senangnya.” Dinosaurus itu mengangguk-angguk pedih, tetapi menerbitkan kelucuan tiada tara bagi anak-anak. Mereka tertawa. Ada yang ingin sekedar berfoto, ada pula yang ingin digendong di pundak. Bukan hanya satu anak, tetapi dua atau tiga anak sekaligus. Maknun sudah terengah-engah, matanya mulai berkunang-kunang.

Saat bumi berputar makin keras bagai gasing yang baru diempaskan, keringatnya sudah melumuri seluruh badannya. Tidak ada seorang pun yang tahu derita Maknun di dalam tubuh dinosaurus yang berat itu. Kesadarannya hampir lenyap ketika ia merasakan perutnya seperti diaduk-aduk. Mual. Air liurnya mengalir deras dan tidak kuasa ia muntahkan, ia menelannya kembali seraya bertahan untuk tetap berdiri dalam keadaan tubuh sudah limbung. Jatah udara segar di mulut dinosaurus itu terasa berkurang dan semakin berkurang. Anak-anak semakin riuh-rendah mengobral tawa renyah ketika badut dinosaurus melancarkan jurus limbungnya.

“Inilah jurus dinosaurus mabuk,” teriak MC melalui pelantang dengan maksud lebih menghidupkan suasana. Orangtua menyemangati dengan bertepuk tangan, senang melihat anak-anak mereka riang.

Sampai pada satu titik, Maknun benar-benar sudah tidak kuasa lagi menahan tekanan yang sedemikian rumit. Mulai dari mata yang berkunang-kunang, kepala yang berputar bagai piring terbang, beban anak-anak di pundak yang terus menekan, perut mual, dan kedua kaki yang sudah goyah. Saat itulah dia mengenal dua anak yang berhamburan ke arahnya. Satu anak laki-laki dengan keterampilan seekor monyet memanjat mulai dari pinggang, dada, pundak, sampai kemudian dia menclok di kepalanya. Satu anak perempuan lainnya merengek minta digendong. “Om Badut, Meta mau digendong dong!”

Maknun dengan sisa-sisa tenaganya berusaha meluluskan permintaan anak perempuan itu, sementara anak laki-laki di pundak terus menekan-nekan kepalanya. “Kalian boleh bersenang-senang bersama ayah kalian sepuasnya,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Tetapi sejurus kemudian matana narnya membentur satu adegan beberapa meter tepat di depannya, tanpa terhalang apapun. Saleha! batinnya. Oalah, dia digandeng mesra oleh…. sebentar… Maknun coba mengingat-ingat di tengah kesadarannya yang hampir hilang. Oh, bukankah itu Pak Ketua RW Sutopo, juragan angkot paling kaya di kampung di mana ia tinggal di rumah kontrakanku?

Astaga, bukankah pria beristri tiga dengan tubuh gempal dan kepala botak itu juga pemilik ratusan rumah kontrakan di kampungku! Maknun ingat, ia pun mengontrak bedeng di salah satu rumah kontrakan milik Ketua RW Sutopo itu. Entah sudah berapa bulan ia meminta keringanan karena tidak mampu membayar biaya kontrakan. Lantas, mengapa istriku mau begitu saja digandeng Sutopo di tempat terbuka seperti seorang lelaki kasmaran memeluk mesra kekasihnya? Ah, kurang ajar!

Terjadi sorak-sorai yang membahana ketika dinosaurus itu mulai berjalan limbung saat menahan beban dua anak yang tertawa riang di pundaknya dan di dekapannya. Tetap menerbitkan kelucuan yang tak ada habisnya bagi anak-anak. Bahkan ketika badut dinosaurus itu teronggok seperti balon kempes, tawa anak-anak makin membahana. Beberapa anak lalu menyerbu dan menindihnya dengan suka-cita. “Inilah puncak dari kelucuan Si Dino, ia pura-pura pingsan agar bisa makan siang dulu, Anak-anak,” teriak MC masih melalui pelantang.

Di dalam tubuh dinosaurus, Maknun menyimpan amarah yang tak mampu ia lampiaskan sebab kesadaran terakhirnya telah menguap.

Gelap.

***