Dimana Kau Berada, Nguyen? [Pulau Galang 1]

Senin, 1 Agustus 2016 | 05:31 WIB
0
686
Dimana Kau Berada, Nguyen? [Pulau Galang 1]

“Di mana tempat wisata terkenal di Batam ini?” Itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada resepsionis di Hotel Nagoya Plaza. Saya berharap mendapat jawaban yang memuaskan karena saya hanya punya satu hari saja di Batam. Tetapi si resepsionis malah bertanya, “Aduh, dimana ya?”

Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Untunglah saat berkunjung ke Patria Tour yang masih bersebelahan dan bahkan satu atap dengan Hotel Nagoya Plaza, dua gadis belia yang saya temui dengan responsif menjelaskan kemungkinan saya berkunjung ke Barelang. Itu bukan saudara kembar “belerang”, tetapi singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Dulu tiga pulau yang berdekatan ini bagian dari Provinsi Riau, tetapi setelah pemekaran kini masuk ke Provinsi Kepulauan Riau.

“Pulau Galang?” Tanya saya. “Benar. Pulau Galang. Di sana Bapak bisa menemukan barak bekas pengungsi Vietnam, dimana sebelumnya Bapak akan melewati enam Jembatan Balerang,” jawabnya langsung ke sasaran.

Ah, Pulau Galang. Pengungsi Vietnam.

Sejenak ingatan melayang ke masa lalu, 23 tahun lalu. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, saya pernah membaca sebuah novel bersampul merah dengan judul, kalau tidak keliru, “Mendung Di Atas Vietnam” Saya lupa siapa penulisnya. Judulnya pun mungkin tidak tepat begitu. Tetapi isi ceritanya yang masih saya ingat benar sampai sekarang!

Novel lawas itu bercerita tentang pengorbanan cinta gadis belia pengungsi Vietnam bernama Nguyen yang terdampar di Pulau Galang, sebuah pulau berjarak kurang lebih 80 kilometer dari Pulau Batam. Nguyen telah kehilangan semua saudara-sadara dekatnya karena dibantai rezim komunis saat itu. Ia diselamatkan tetangganya dan dinaikkan ke kapal kecil, lebih tepat disebut tongkang kayu, untuk berlayar tanpa tujuan asalkan bisa keluar dari neraka Vietnam.

Nguyen. Kalau saja saat itu si pengarang tahu wajah aktris Malaysia Michelle Yeoh, mungkin ia akan sepikiran dengan Andrea Hirata dalam menggambarkan Nguyen sebagai si cantik Yeoh. Tapi saat novel itu disusun, Yeoh mungkin masih mengenakan celana monyet atau kemana-mana tanpa “bra” karena memang masih kanak-kanak.

“Benarkah reruntuhan barak dan bekas-bekas pengungsi Vietnam masih tersisa di Pulau Galang?” tanya saya lagi. “Saya tidak bisa cerita banyak kecuali Bapak mengunjunginya,” katanya.

Ah Nguyen!

Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka “toloheor” (kata orang Sunda) alias play boy kelas berat.

“Aku yakin semua gadis Vietnam sudah tidak perawan bahkan sebelum sampai ke Pulau Galang. Apalagi setelah sampai di Pulau Galang, gadis pengungsi Vietnam biasa menyerahkan tubuhnya kepada penguasa untuk menjaga kelangsungan hidupnya,” demikian kira-kira si tokoh aku berprasangka.

Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria Indonesia itu, dengan tulus. Si pria Indonesia yang berprofesi sebagai jurnalis itu sudah terlalu sering gonta-ganti perempuan, dan masih menganggap Nguyen “korban berikutnya”. Waktu pun tiba, dalam kesenyapan malam dan temaram bulan yang menyelinap hutan Pulau Galang, si pria Indonesia bergumam setelah melampiaskan hasratnya. “Nguyen, rupanya kau masih perawan!” Dan Nguyen hanya bisa terisak…

Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen “masih hidup” dan ada di pulau itu.

Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.

“Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John,” kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam. “Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang,” kata John. “Apa istimewanya sebuah jembatan?” Tanya saya. “Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak.”Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John.

John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.

“Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi,” katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google Mobile dan memasukkan kata kunci “Jembatan Barelang”. Got it! Saat John berceloteh tentang jembatan itu, saya sudah langsung memahaminya hanya lewat ponsel internet di telapak tangan. Terima kasih, teknologi informasi!

“Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘kan, John?” John menoleh, “Kok Bapak Tahu?” “Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!” “Ah, Bapak malah lebih tahu!”

Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.

“Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu,” kata saya. “Cantik, Pak, kita segera menuju ke sana…” (Bersambung)

***

Catatan: Ini perjalanan pribadi saya ke Pulau Galang di tahun 2008 lalu, dimuat ulang di sini sebagai dokumentasi