Perjalanan Panjang Pendidikan di Indonesia

Selama masih ada semangat untuk belajar, mengajar, dan memperbaiki, maka harapan itu akan tetap menyala—terus memandu kita menuju bangsa yang benar-benar berdaulat, adil, dan beradab.

Minggu, 18 Mei 2025 | 16:09 WIB
0
3
Perjalanan Panjang Pendidikan di Indonesia
Perjalanan pendidikan

Pendidikan di Indonesia adalah sebuah kisah panjang yang sarat dengan perjuangan, perubahan, dan harapan. Sejak zaman kolonial hingga era digital seperti sekarang, pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika perjalanan bangsa. Jika kita menengok ke belakang, akan tampak jelas bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini merupakan hasil dari proses panjang yang penuh liku.

Pada masa penjajahan, pendidikan bukanlah hak yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Ia adalah sebuah kemewahan, hanya tersedia bagi kaum bangsawan, anak pegawai pemerintah kolonial, atau mereka yang dianggap layak oleh penjajah. Pendidikan digunakan sebagai alat untuk membentuk manusia-manusia yang patuh dan tunduk kepada kekuasaan kolonial, bukan sebagai sarana pembebasan dan pencerahan.

Namun, setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, paradigma itu berubah total. Para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun masa depan negeri ini. Maka, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak itulah, pendidikan mulai diarahkan sebagai hak setiap warga negara, bukan lagi hak istimewa segelintir orang.

Perjalanan pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan pun tidak sepi dari tantangan. Pemerintah memperkenalkan program wajib belajar, yang awalnya enam tahun, lalu berkembang menjadi sembilan tahun, dan kini menuju dua belas tahun. Di sisi lain, kurikulum pendidikan mengalami berbagai perubahan, mulai dari Kurikulum 1975, Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Semua perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Sayangnya, perubahan kurikulum sering kali datang terlalu cepat dan belum diimbangi dengan kesiapan di lapangan. Guru sebagai pelaksana utama pendidikan sering kali belum sepenuhnya dipersiapkan dengan pelatihan dan fasilitas yang memadai. Perubahan yang ideal di atas kertas, tidak selalu mudah diterapkan di ruang-ruang kelas yang nyata, terutama di daerah terpencil yang masih kekurangan guru, sarana, dan akses informasi.

Ketimpangan pendidikan menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan hingga hari ini. Di kota-kota besar, para siswa bisa menikmati pembelajaran dengan bantuan teknologi, buku yang lengkap, dan guru yang berkualifikasi tinggi. Sementara di pelosok negeri, masih banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk sampai ke sekolah, dengan kondisi bangunan yang rusak dan tenaga pengajar yang terbatas. Kesenjangan ini bukan hanya soal fisik dan geografis, tetapi juga menyangkut keadilan sosial yang seharusnya dijamin oleh negara.

Di sisi lain, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap berbagai kemajuan yang telah dicapai. Jumlah anak yang mengenyam pendidikan meningkat signifikan dari waktu ke waktu. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran besar untuk sektor pendidikan, termasuk melalui program beasiswa, peningkatan kesejahteraan guru, hingga pembangunan sekolah-sekolah baru. Transformasi digital yang dipercepat oleh pandemi COVID-19 pun menjadi peluang besar untuk mengubah cara belajar-mengajar di Indonesia.

Namun digitalisasi pendidikan juga menghadirkan tantangan baru. Tidak semua siswa memiliki perangkat untuk belajar daring. Tidak semua guru mampu mengadaptasi metode mengajarnya dengan teknologi. Dan tidak semua daerah memiliki koneksi internet yang layak. Ini menunjukkan bahwa modernisasi pendidikan harus dibarengi dengan pemerataan akses dan pelatihan yang merata agar tidak menciptakan jurang ketimpangan baru.

Pendidikan tinggi di Indonesia pun ikut mengalami perkembangan pesat. Banyak perguruan tinggi yang kini bersaing di tingkat regional dan internasional. Namun, tantangan juga hadir dalam bentuk ketidaksesuaian antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia kerja. Banyak lulusan yang kesulitan mencari pekerjaan karena kurangnya keterampilan praktis atau tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Ini menandakan perlunya penyelarasan kurikulum pendidikan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri agar lulusan benar-benar siap bersaing.

Peran guru sebagai garda terdepan pendidikan tidak boleh dilupakan. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik, pembimbing, dan pembentuk karakter. Maka sudah semestinya mereka mendapat penghargaan yang layak, tidak hanya secara finansial, tetapi juga dalam bentuk pelatihan, pengembangan diri, dan lingkungan kerja yang mendukung.

Di tengah semua tantangan itu, harapan tetap tumbuh. Banyak komunitas pendidikan yang bergerak, banyak inovasi yang lahir dari guru-guru hebat di pelosok negeri, dan banyak anak muda yang menunjukkan semangat belajar luar biasa meski dalam keterbatasan. Semua itu menjadi bukti bahwa cita-cita besar pendidikan di Indonesia belum padam.

Kini, saatnya kita semua memandang pendidikan bukan hanya sebagai urusan pemerintah, melainkan sebagai tanggung jawab kolektif. Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Ia bukan sekadar soal angka kelulusan atau peringkat internasional, tetapi soal bagaimana kita membentuk manusia-manusia yang cerdas, bermoral, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Perjalanan panjang pendidikan di Indonesia belum selesai. Ia masih terus berlangsung, dengan segala tantangan dan peluangnya. Namun, selama masih ada semangat untuk belajar, mengajar, dan memperbaiki, maka harapan itu akan tetap menyala—terus memandu kita menuju bangsa yang benar-benar berdaulat, adil, dan beradab.