Statistik Serangan Bunuh Diri dan Kisah Hossein Fahmideh

Serangan bom bunuh diri, bagi aktor intelektualnya, dianggap sangat efektif menghancurkan apa yang diidentifikasikan sebagai musuh.

Rabu, 31 Maret 2021 | 07:14 WIB
0
216
Statistik Serangan Bunuh Diri dan Kisah Hossein Fahmideh
Hossein Fahmideh (Foto: Istimewa)

Mendengar berita serangan bom bunuh diri di gereja Katedral Makasar, Maret 2021, saya teringat dua hal sekaligus. Statistik serangan bunuh diri. Dan, kisah Mohammad Hossein Fahmideh.

Chichago Project on Security and Terrorism mengumpulkan darabase untuk serangan bunuh diri (1). 

Membaca data itu kita mengerti. Serangan bom bunuh diri, bagi aktor intelektualnya, dianggap sangat efektif menghancurkan apa yang diidentifikasikan sebagai musuh.

Sejak tahun 1981 hingga 2015, telah terjadi 4814 serangan bunuh diri di 40 negara. Dalam periode itu, sudah terbunuh, mati, 45 ribu orang.

Frekwensi serangan bunuh diri cukup beragam di seluruh dunia. Di tahun 1980an, rata rata serangan bunuh diri terjadi sekali per 3 tahun. Tahun 1990an, ia meningkat. Rata- rata serangan bom bunuh diri terjadi sekali setiap bulan.

Tahun 2001-2003, frekwensi serangan bunuh diri semakin meningkat. Rata rata, ia terjadi sekali setiap minggu.

Di tahun 2003 hingga tahun 2015, serangan bunuh diri rata rata terjadi setiap hari.

Mengapa kian lama serangan bunuh diri rata rata meningkat frekwensinya? Ini jawabnya. 

Serangan bunuh diri itu adalah metode yang digunakan dalam 4 persen dari seluruh metode serangan terorisme. Tapi ia menyebabkan 32 persen dari total kematian pihak yang dipahami sebagai musuh.

Itu serangan sangat efektif. Apalagi dalam serangan bunuh diri itu, pelaku bisa menyembunyikan senjata karena ia terlilit dalam badan, ditutupi baju. Atau bom tersimpan dalam tas yang dibawa.

Pelaku juga bisa menyesuaikan tindakan tergantung perubahan situasi di lapangan di menit- menit terakhir. Pelaku juga bisa meledakkan senjata, jika dalam tas, dengan sedikit berjarak, melalui remote control, walau dirinya ikut mati.

Terlepas dari reaksi dunia luar, bagi aktor intelektual, data itu menunjukkan serangan bunuh diri tetap menjadi pilihan utama, efektif, strategis, dramatis, sensasional, untuk dimainkan. 

Serangan bunuh diri lebih heboh pula untuk berita.

Kedua, saya teringat kisah Mohammad Hossein Fahmideh. (2)

Saat itu, tahun 1980, Usia anak ini baru 13 tahun. Ia berasal dari kota Qom, Iran, kota terbesar ketujuh di Iran. Kota ini dianggap suci oleh penganut Shiah. 

Kota ini terdapat bangunan suci Fatima Masumeh. Ia adalah adik dari Imam kedelapan dalam tradisi Shiah: Imam Reza. Fatima juga anak dari Imam ketujuh: Imam Musa al-Khadim.

Tahun 1980, Irak menyerbu Iran. Perang pun pecah. Bocah bernama Hossein Fahmideh ini bersedih hati. Ia melihat acapkali tentara Iran tak berdaya menghadapi tentara Irak.

Iapun mengambil inisiatif. Tanpa diketahui orang tuanya, Ia meninggalkan rumah pergi ke kota Khorramshahr.

Ia melilitkan bom di badannya (grenade belt). Bocah 13 tahun ini melompat ke tengah tank Irak yang menyerbu. 

Ia membunuh dirinya sekaligus menggoyahkan serangan tank Irak. Akibat aksi bunuh diri bocah cilik ini, serangan tank Irak sempat terhenti.

Segera bocah Mohammad Hossein Fahmideh ini dipuja puji seantero negeri. Tak kurang dari Imam Khomeini menyatakan salutnya. Sang ayatulah mengangkat Hossein Fahmideh sebagai pahlawan nasional.

Ujar Khomeini: “Pemimpin kita berusia 13 tahun ini, yang mengorbakan dirinya menangkal musuh, Ia lebih berharga dari 100 pena dan seratus lidah.”

Monumen pelaku bom bunuh diri ini dibangunkan monumen di Teheran. Monumen itu menjadi tempat ziarah untuk memberi inspirasi bagi kaum muda.

Pelaku bom bunuh diri, walau baru berusia 13 tahun, kini dikenang sebagai pahlawan nasional.

Sikap Khomeini untuk kasus Hossein Fahmideh banyak didukung ulama lain. Serangan bunuh diri dibenarkan hanya untuk kasus tertentu.

Yaitu: itu bagian dari mempertahankan tanah air melawan penjajah. Ia dilakukan terhadap kekuatan militer penjajah, bukan kepada warga sipil. Dan tindakan ini bagian dari perang.

Untuk kasus di atas, tindakan bunuh diri bisa dianggap bagian dari jihad. 

Tapi sikap Khomeini ini hanya salah satu saja dari tiga sikap para ahli dan aktivis agama. (3)

Sikap kedua adalah melarang serangan yang sengaja membunuh diri sendiri. Apapun alasannya. 

Perang untuk menegakkan keadilan tentu dibolehkan. Angkat senjata membela diri terhadap penjajah juga sah saja. Tapi dilarang sengaja membunuh diri untuk tindakan itu.

Jika pelaku karena perjuangannya mati, Ia sahid. Tapi Ia mati bukan karena dirinya yang membunuh dirinya. Ia mati karena serangan lawan.

Sikap ketiga dikembangkan oleh para aktivis garis keras pendukung Al-Qaedah. Mereka menafsirkan Jihad jauh lebih luas dan brutal.

Jihad diberlakukan tak hanya kepada para penjajah. Tapi kepada siapapun penguasa dunia dan jaringannya, dan komunitasnya, yang kafir, yang tak adil, yang merugikan umat Islam.

Akibatnya, penduduk sipil yang kafir itu juga menjadi sasaran. Tak hanya pasukan militer, rumah ibadah agama lain pun disasar.

Ketika MUI menyatakan jangan mengaitkan terorisme dengan agama manapun, MUI hanya separuh benar. 

Bukan agama memang, tapi tafsir agama. Serangan bom bunuh diri yang menggunakan idiom agama harus dihadapi apa adanya.

Mustahil pelaku membunuh dirinya sendiri tanpa ada keyakinan. Keyakinan itu bisa nasionalisme (Kamikaze di Jepang). Bisa juga karena paham agama (bukan agama, tapi interpretasi agama).

Ada riset yang mengelaborasi mengapa mereka bersedia bunuh diri untuk menyerang siapapun yang dianggap musuh? (4)

Jawabnya, bagi teroris yang “membajak” Islam, karena mereka menganggap tindakan bunuh diri ini sejenis jihad. Martyrdom. Dan mereka akan mendapatkan reward di surga, antara lain, ditemani 72 bidadari perawan (bagi lelaki), dan suami yang terbaik (bagi wanita).

Bagi orang luar, itu adalah ilusi. Bukankah memang demikianlah realitas dunia kepercayaan? Orang luar selalu menganggap kepercayaan itu ilusi. Tapi orang dalam, yang meyakini, menganggapnya kebenaran mutlak.

Elemen tafsir agama tak bisa dibuang, dinihilkan, dari serangan bunuh diri yang memang menggunakan retorika agama.

Penting pula kita membedakan hard terrorism dengan soft terrorism. 

Hard terrorism menggunakan kekerasan fisik seperti pembunuhan. Tapi soft terrorism tak menggunakan kekerasan fisik. Ia menggunakan kekerasan kata, ujaran kebencian.

Tapi Hard Terrorism dan Soft Terrorism berangkat dari tafsir agama yang sama. Agama yang tidak bertoleransi atas perbedaan. 

Maka agak aneh kita mengecam hard terrorism, tapi kita diam saja atas soft terrorism. Bisu saja atas aneka ujaran kebencian, terhadap penganut kepercayaan minoritas. Atau terhadap hak hak warga yang dijamin konstitusi.

Hard Terrorism dan Soft Terrorism tak hanya melanda agama Islam. Tapi juga semua agama. Bahkan tak hanya melanda dunia agama. Juga melanda kepercayaan non- agama, spt Facisme, Komunisme, Rasisme.

Peradaban modern telah datang menghadapi aneka isme soft terrorism di atas. Peradaban modern memberikan bunganya yang paling harum: Prinsip Hak Asasi Manusia.

Maret 2021

***

Denny JA

CATATAN

1. Database soal suicide attack

2. Kisah bocah cilik yang melakukan serangan bunuh diri dan diangkat sebagai pahlawan nasional

3. Tiga tafsir atas serangan bunuh diri

4. Mengapa mereka bersedia bunuh diri ketika menyerang musuh