Administrasi Kependudukan Nan Amburadul

Pemerintah di masa lalu yang bersalah tidak memberikan pengayoman, sekarang warga masyarakat yang harus menanggung susah.

Rabu, 11 Maret 2020 | 17:19 WIB
0
250
Administrasi Kependudukan Nan Amburadul
Ilustrasi penduduk (Foto: Kompasiana.com)

Sekitar setahun yang silam, di kantor suku dinas kependudukan yang dipenuh oleh warga masyarakat yang ingin mengurus pelbagai dokumen.

Banyak orang datang untuk mengurus perubahan status perkawinan yang tercantum di KTP dan Kartu Keluarga dari sudah kawin menjadi belum kawin.

Ini bisa terjadi dikarenakan di pemerintahan masa lalu, saat warga masyarakat yang sudah menikah datang ke RT untuk mengubah status perkawinan menjadi sudah kawin. Tetapi, dari pihak RT dan Kelurahan tidak mensyaratkan harus melampirkan bukti sudah menikah berupa surat nikah yang dikeluarkan rumah ibadah bagi yang menikah secara agama sesuai agama yang dianut. Atau melampirkan akte nikah yang dikeluarkan oleh catatan sipil tempat si warga berdomisili.

Di masa lalu sebagian besar warga masyarakat awam hukum dan tak paham administrasi kependudukan. Sementara, dari pihak pemerintah dalam hal ini Kelurahan dan RT/RW tidak mengayomi masyarakat.

Sekarang ini, di era pemerintahan Jokowi, tampaknya pemerintah sedang melakukan penertiban terhadap administrasi kependudukan. Dan, bagi warga masyarakat yang sudah menikah tetapi tidak menikah secara agama maupun secara catatan negara, wajib mengubah status perkawinan yang tercantum di KTP dan Kartu Keluarga.

Ada pula seorang ibu mengaku harus mengubah Kartu Keluarga karena nama dari salah anaknya tercantum di Kartu Keluarga sebut saja misalnya "Andini Astini (Nur)". Nah, nama panggilan "Nur" ini tidak diperbolehkan tertera di Kartu Keluarga.

Akhirnya, ibu yang kerjanya sebagai buruh cuci harus bolak-balik ke RT, RW, Kelurahan, Kantor pos, dan pengadilan negeri hanya untuk mengurus perubahan nama anaknya di Kartu Keluarga.

Seorang supir taksi online bilang bahwa kolom pekerjaan KTP-nya sampai umurnya 40-an tetap tercantum sebagai "pelajar".

Timbul pertanyaan : Kenapa di masa lalu pihak RT, RW dan Kelurahan membolehkan mencantumkan nama panggilan di Kartu Keluarga?

Akibatnya, sekarang ini, ketika pemerintah ingin menertibkan administrasi kependudukan, warga masyarakat yang awam, yang tidak paham hukum dan peraturan administrasi kependudukan, harus menanggung kerugian. Buang waktu, uang dan tenaga harus bolak-balik ke RT/RW meminta surat pengantar, ke kantor Kelurahan, ke Kantor dinas kependudukan, ke kantor pos untuk melegalisir, ke pengadilan negeri untuk sidang, hanya untuk mengubah kesalahan status perkawinan dan nama yang tercantum di KTP dan Kartu Keluarga di masa lampau.

Pemerintah di masa lalu yang bersalah tidak memberikan pengayoman, sekarang warga masyarakat yang harus menanggung susah.

Lalu timbul pertanyaan : mengapa pemerintah Jokowi saat ini tidak memangkas birokrasi dalam mengurus dokumen-dokumen tersebut di atas, artinya, tidak perlu harus sampai ke pengadilan negeri dan harus sidang?

Kenapa tidak bisa diurus di kelurahan saja? Toh, semua itu bisa terjadi adalah bukan kesalahan warga masyarakat yang memang sebagian besar awam akan hukum maupun aturan keadministrasian kependudukan.

***