Kompas Inside [4] Cara Pak JO Mencari Data untuk Tajuk Rencana

Jauh sebelum "big data" menjadi tren di era Internet, Jakob Oetama sudah sadar data saat menulis Tajuk Rencana.

Sabtu, 7 September 2019 | 08:27 WIB
0
864
Kompas Inside [4] Cara Pak JO Mencari Data untuk Tajuk Rencana
Jakob Oetama (Foto: Visual Interaktif Kompas)

Tatkala pada pertengahan tahun 1990 mulai bergabung dengan Harian Kompas, saya memandang Pak Jakob Oetama, kami biasa memanggilnya Pak JO,  sebagai "manusia setengah dewa" atau dewa yang menjelma sebagai manusia untuk bidang jurnalistik.

Sebelumnya saya mengenal nama besarannya lewat buku-buku yang ia tulis, sejumlah artikel di Harian Kompas, dan mendengar kehebatan Pak JO sebagai wartawan sekaligus pemilik koran sejak duduk di bangku kuliah.

Jadi saya ibaratkan sudah mendekati "manusia setengah dewa" itu ketika mulai bekerja di Harian Kompas lewat pintu Pusat Informasi Kompas. Di sana, sejak Mei 1990 itu, saya bekerja sebagai pustakawan dengan tugas khusus melayani kebutuhan informasi wartawan Harian Kompas.

Saya lakoni jalan melingkar itu dengan tujuan semula... menjadi wartawan Kompas. Karena tugas melayani wartawan itulah saya perlu memiliki pengetahuan umum yang luas selain informasi kekinian yang lebih di kepala saya.

Secara tidak langsung saya mulai mengenal para wartawan Kompas yang hebat-hebat itu. Ratih Hardjono, Parakitri T. Simbolon, sesekali  GM Sudarta, August Parengkuan, dan banyak lagi yang lainnya (kata Rhoma Irama). Tidak sekadar tahu atau terdengar namanya, tetapi kadang para wartawan beken itu datang ke Lantai 4 Gedung Kompas-Gramedia di Palmerah Selatan, ke Ruang PIK, untuk mencari saya, khususnya saat petang hari dan malam hari.

Saya memasok kebutuhan informasi yang mereka cari sesegera mungkin untuk koran yang terbit besok. 

Para wartawan Kompas itu ga pedulian. Maksudnya, ga peduli bagaimana caranya informasi yang mereka minta itu harus didapat! Pusing ga tuh!

Ya pusing kalau dipikir-pikir. Tetapi 'kan ini tugas yang harus dijalankan. Konsekuensinya, kadang saya harus menghapal, dalam arti benar-benar memasukkan data-data atau informasi dalam ingatan saya, biar Iwan Gayo yang nulis "Buku Pintar" itu mati gaya. Soalnya saya berusaha menjadi "buku pintar berjalan". 

Selama sekian tahun saya bekerja di harian Kompas, saya hanya sesekali saja bertemu "manusia setengah dewa"-nya jurnalistik itu. Seseringnya di lift.

Pada tahun 1990, usia Pak JO masih 60-an tahun. Masih segar bugar dan aktif luar biasa. Saya tentu saja tidak berani menyapanya. Tanpa disadari, terbuktilah saya sebenarnya pengidap minderwaardigheidscomplex. Gampangnya kroco jiwo", begitulah.

Ketika pada suatu waktu Pak JO melintas di lantai 4 (mungkin ada janjian dengan boss Litbang Kompas J. Widodo), beliau dengan enteng menyapa kami yang sedang tekun bekerja, menjalankan tugas masing-masing. Hanya saja yang mendadak kelewat pucat adalah saya. Yang lain anteng-anteng saja saya lihat.

Apa pasal? Saat itu saya sedang bertugas melayani informasi. Apa jadinya kalau Pak JO tiba-tiba minta dicarikan informasi tertentu? Iya kalau saya berhasil menemukannya dengan cepat. Kalau tidak berhasil? Oalaaahhh.... cilaka 12!

Beruntunglah Pak JO tidak sedang mencari informasi secara langsung. Ini cuma ke-GR-an saya saja yang saat itu mendadak sok penting, karyawan yang dicari-cari bossnya, padahal ga sama sekali hahaha...

Belakangan saya tahu dari mas Herman Meming, atasan saya langsung di PIK, kalau Pak JO mencari informasi untuk kebutuhan penulisan Tajuk Rencana, ia memberi foto kopi naskah Tajuk Rencana yang ditulisnya. Pada bagian tertentu, Pak JO mengosongkan spasi dengan menerakan titik-titik, mirip naskah ujian untuk siswa-siswi sekolah dasar atau menengah. Titik-titik itu harus diisi oleh petugas PIK.

Uniknya, Pak JO hanya mempercayakan pengisi titik-titik itu kepada Mas Meming. Seperti biasa, kadang Mas Meming minta bantuan saya juga untuk mengisi titik-titik yang diberikan Pak Jakob. Jadi, ada bangga-bangganya dikitlah. Apalagi saat membaca Tajuk rencana Pak JO yang terbit keesokan harinya, hati selalu melonjak seraya berteriak, "Ini 'kan data yang saya cari dan saya temukan kemarin!"

Umumnya kolom isian berujud titik-titik itu  atau iadalah data atau informasi terkait tahun terjadinya peristiwa, jumlah korban kecelakaan, nama kepala negara yang tewas, kunjungan kepala negara ke Indonesia pada tahun tertentu, bunyi sejumlah perjanjian atau traktat, penandatangan traktat, jumlah APBN tahun tertentu, angka kemiskinan 5 tahun lalu dibanding saat itu, sampai ejaan nama orang seperti bagaimana menulis nama yang benar; Soekarno atau Sukarno.

Setelah "naskah ujian" itu terisi, maka tulisan kembali diserahkan kepada Pak JO lewat utusan khusus, yaitu OB yang sangat dipercayainya. Setelah Pak JO baca ulang dan data-data itu diyakininya benar, barulah diserahkan kepada Redaksi untuk ditulis ulang menggunakan komputer  yang saat itu WordStar 4 bikinan Bill Gates menjadi andalan. Mungkin sekarang Tuan Gates sudah lupa bahwa ia pernah bikin WordStar.

Begitulah Pak JO berkhidmat pada data dan informasi saat menulis Tajuk rencana, sehingga tidak heran PIK yang dulu bernama Pusat Dokumentasi Kompas itu menjadi bagian penting perkembangan Harian Kompas. Keberadaan PIK itu untuk  mensuplai wartawan Harian Kompas dengan informasi dan data yang siap digunakan, memperkaya tulisan.

Hanya saja jujur harus saya katakan, informasi yang berlimpah di PIK itu jarang dimanfaatkan justru oleh wartawannya sendiri, boleh jadi terlalu sibuk menulis. Tapi itu duluuu... dulu bangat, saat saya masih bertugas di PIK. Sekarang tentu ga begitulah.

Baiklah, edisi berikutnya saya sedang ingin bercerita tentang bagaimana memanfaatkan segudang ilmu pengetahuan berbentuk data dan informasi segunung milik PIK itu, khususnya memanfaatkan buku-buku yang berstatus "Koleksi Terlarang".

Asyiiiikkkk.....

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Inside Kompas [3] Saat Pak JO Mengabarkan Bakal Jatuhnya Megawati