Demikian lah, bagaimana informasi penting dari Pak JO itu ditangkap Newsroom alias ruang redaksi untuk kemudian diolah.
"Waduh, rupanya Mbak Mega benar-benar mau dihabisi, ya!"
Suara itu demikian mengagetkan tatkala Pak Jakob Oetama masuk dari pintu depan, tertahan di dekat desk Ekonomi dan Politik, mengabarkan suatu informasi ke ruang Redaksi bahwa ketua umum PDI itu harus digulingkan oleh rezim Soeharto. Padahal, saat itu masih tarik-ulur antara "ya" dan "tidak" Megawati dijatuhkan, antara "berani" atau "tidak" Pak Harto menjatuhkan puteri Soekarno itu.
Rupanya Soeharto tidak berhitung panjang kali ini. Ia nekat. Tidak taktis. Kelak kejatuhan Soeharto sedikit banyak dipicu karena upayanya yang sangat kasar menjatuhkan Megawati. Itulah awal kehancuran Soeharto di luar kerakusan dan ketamakan para kroni, keluarga dan anak-anaknya dalam mengeruk kekayaan negara yang sudah sangat memuakkan rakyat itu.
Jadi bagi wartawan yang sudah muak dengan Soeharto dan sebaliknya simpatik dengan Megawati, kabar dari Pak JO itu adalah "lonceng kematian" harapan. Pupus sudah harapan memiliki Presiden baru (siapapun dia) pengganti Soeharto yang sudah sekian tahun berkuasa. Oh ya lupa, peristiwa Pak JO mengabarkan bakal jatuhnya Megawati itu sekitar tahun 1996.
Tahu saya ngapain waktu itu?
Baca Juga: Inside Kompas [1] Saya Sedang Ingin Bercerita tentang Koran
Ya, saya sudah menjadi bagian dari Redaksi Harian Kompas. Tahun 1994 saya ikut testing menjadi wartawan, sepanjang tahun 1995 dimasukkan ke kawah candradimuka pendidikan yang ketat dan berat itu, dan di akhir 1995 baru bisa meliput ke lapangan.
Pada tahun 1996 itu, Soeharto sudah menyiapkan skenario yang kasat mata; Soerjadi-Fatimah Ahmad-Buttu Hutapea dijadikan boneka untuk menggulingkan Megawati lewat Kongres Medan yang berdarah-darah itu.
Rakyat belum cukup kuat melawan Soeharto saat itu, apalagi harus membela PDI, partai nasionalis dengan warna merah sebagai kebanggaannya. Megawati memang jatuh, sebagaimana kabar yang disampaikan Pak JO itu beberapa bulan sebelumnya.
Pada masa lalu, informasi yang diperoleh para pemimpin redaksi atau pemilik koran seperti Pak Jakob Oetama demikian akurat. Sedemkian akuratnya, sampai-sampai pada titik tertentu gairah meliput dan menggali informasi di lapangan menjadi turun, apalagi terkait dengan sosok yang secara pribadi dikagumi oleh masing-masing individu. Klimaks cerita sudah diketahui, untuk apa harus mengikuti jalan ceritanya!
Namun demikian, kabar yang disampaikan Pak JO itu sebenarnya sangat penting. Tidak berarti besoknya muncul berita bahwa "Megawati Pasti Jatuh" misalnya. Ya ga begitulah. Itu sinyal yang diberikan bagaimana Kompas sebagai harian terkemuka mengemas informasi agar tidak menyenggol penguasa, agar juga tidak terkesan membela secara terang-terangan Megawati, tokoh yang sedang teraniaya itu.
Maka kemudian strategi pemberitaan disiapkan, termasuk deploy para wartawan di berbagai wilayah atau tempat peliputan. Segala informasi dari pemerintah dalam hal ini penguasa menjadi informasi utama dan penting. Menteri dalam negeri atau Kassospol ABRI menjadi beat yang wajib ada, demikian juga Istana dan Bina Graha, tempat Pak Harto dan para menteri rapat.
Di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro bahkan tidak boleh kosong wartawan, harus selalu stand by di sana. Pun di kediaman Megawati di Kebagusan.
Demikian lah, bagaimana informasi penting dari Pak JO itu ditangkap Newsroom alias ruang redaksi untuk kemudian diolah. Ujung cerita tetap menjadi "back mind" yang tidak boleh dilewatkan, yaitu "Megawati jatuh". Konsekuensinya, wartawan di lapangan akan mencari informasi, data dan fakta yang mengarah ke sana.
Apakah Pak JO hanya memiliki informasi tentang kejatuhan Megawati saja?
Tentu tidak, masih banyak informasi penting lainnya. Pada gilirannya akan saya ceritakan. Tapi tidak kali ini. Kali lain. Sebab, untuk edisi berikutnya saya sedang ingin bercerita tentang gaya Pak JO mencari data untuk menulis Tajuk Rencana.
(Bersambung)
***
Tulisan sebelumnya: Inside Kompas [2] Pak Jakob Oetama dan "Laron" Sepeda Motor
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews