Muslim Indonesia, Mayoritas Rasa Minoritas

Baru saya sadar bahwa mereka adalah muslim dengan mazhab Hanafi yang berbeda dengan muslim Indonesia yang umumnya adalah Syafii.

Minggu, 21 Juli 2019 | 09:56 WIB
0
481
Muslim Indonesia, Mayoritas Rasa Minoritas
Perempuan bercadar (Foto: CNN Indonesia)

“Sat, aku takon yo. Kenapa ada umat Islam yang merasa dirinya minoritas di Indonesia?” seorang teman perempuan yang keturunan China bertanya pada saya. Tentu saja saya tidak bisa langsung menjawab. Itu bukan pertanyaan mudah yang bisa dijawab sambil slengekan.

Tapi bukan saya kalau tidak bisa menjawab ngeles. 

“Emang gak boleh umat Islam di Indonesia merasa dirinya minoritas?” jawab saya sambil tertawa. Ini memang jurus yang paling ampuh kalau kita menghadapi pertanyaan sulit. Jawablah pertanyaan dengan pertanyaan. Kalau dalam ilmu silat ini disebut sebagai Jurus Tai Chi. Sute saya Cak Nanang Ahmad Rizali yang ahli dalam jurus les-mengeles seperti ini. 

“Lha kalau umat Islam saja merasa dirinya minoritas berarti orang kayak aku ini ‘super minoritas’ dong…! Lha yang mayoritas itu sebetulnya siapa sih…?! ” balasnya tidak kalah cerdas. “Anjrit…! Balasan argumennya langsung menyodok telak ke ulu hati. 

“Ya jelaslah. Baru lihat matamu aja orang sudah langsung tahu kalau kamu itu mino. Makane tah… melek dong!” jawab saya menggodanya. Kami lalu ngakak bersama.

Terus terang saya juga heran dengan cara berpikir umat Islam yang merasa dirinya itu minoritas di Indonesia. Soalnya di salah satu WAG ada seorang dosen yang posting bahwa dunia di Indonesia itu terbalik. Indonesia itu mayoritas muslim tapi katanya yang paling disudutkan justru muslim. Lha yang menyudutkan siapa? Umat lain gitu…?! 

Katanya “Lebih serem cadar daripada yang pakai rok mini”, dst. Lha iyalah…! Tidak pernah ada suasana serem jika ada wanita pakai rok mini.  Tapi kalau pakai cadar maka banyak orang yang tiba-tiba merasa insecure alias tidak aman dan uncomfortable alias tidak nyaman. Lha wong banyak kejadian wanita bercadar (bahkan laki-laki menyamar wanita dengan bercadar) lalu mengebom dan membunuh banyak orang yang tidak bersalah.

Itu sebabnya banyak negara yang lantas melarang penggunaan cadar di tempat-tempat umum. Ada belasan negara yang telah melarang penggunaan cadar di tempat umum. Bahkan di Mesir yang jelas-jelas negara Islam, pada 2008 lalu, Universitas Al-Azhar sebagai lembaga tinggi dalam bidang agama melarang pemakaian cadar bagi perempuan Muslimah dengan alasan keamanan.

Sebelumnya, Imam Besar Al-Azhar, Syekh Mohamed Sayyid Tantawi menyatakan, bahwa cadar adalah sebuah tradisi di Timur Tengah dan tidak ada hubungannya dengan kewajiban dalam Islam. 

Apakah dengan demikian umat Islam di Mesir merasa sebagai minoritas, disudutkan atau dizalimi? Lalu siapa dong yang mayoritas, menyudutkan, dan menzalimi umat Islam tersebut? 

Kok bisa ya teman saya merasa dirinya sebagai minoritas di Indonesia lha wong dia itu katanya lulusan master dari Inggris. Berarti dia pernah tinggal di negara yang muslim adalah benar-benar minoritas. How did she feel at that time? Kok justru di Indonesia dia merasa minoritas? Lha wong saya dan istri itu ke mana-mana ke seluruh dunia tidak pernah lho merasa diri sebagai minoritas padahal kami tetap membawa identitas kami sebagai muslim.

Istri saya ikut jalan-jalan dengan saya ke lima benua ya tetap brukut pakai jilbab dan pada travel guide kami minta agar disediakan ‘halal food’. Pokoknya kami ya merasa sebagai bagian dari dunia, bagian dari komunitas, bagian dari kelompok, kami adalah bagian dari kalian. We are just different sometimes. And being different is something very normal. Setiap dari kita adalah berbeda sehingga apa pun perbedaan di antara kita adalah hal yang harus kita terima sebagai bagian dari kewajaran dalam kehidupan sosial.

Saya ya seperti ini. Kamu seperti itu. Kalau di lingkungan teman bule, Cino, Madura, Arab, Katholik, gak perduli agomo, dll saya kok tidak pernah merasa mino, apalagi merasa disudutkan seperti yang dikatakan teman saya itu. Saya merasa semua orang yang saya temui di berbagai sudut bumi adalah seperti saudara saya. Mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. I’m no alien to them. They are no aliens to me. Podo-podo menungsone.

Mungkin karena saya selalu berusaha menampilkan diri sebagai one of you or part of your big community maka mereka bisa menerima saya dan saya juga merasa nyaman saja bersama mereka.

Tapi saya pernah tiba-tiba merasa mino ketika berada di Myanmar…

Sekedar mengingatkan, lima tahun yang lalu terjadi bentrokan di Mandalay antara kelompok Budhist dan muslim sehingga menyebabkan meninggalnya seorang muslim dan seorang Budhist.. Polisi terpaksa mengerahkan pasukannya untuk menghentikan bentrokan tersebut. Meski demikian tak ada sedikit pun sentimen tersisa dari bentrokan tersebut.

Mandalay sangat aman buat muslim dan bahkan tak seorang pun yang memandang kami dengan curiga atau semacamnya. Mereka bahkan sangat ramah dan selalu bertanya, “Where are you from?” Meski demikian saya tidak merasa mino di antara mereka. Lha wong postur tubuh dan wajah saya itu 11-12 saja dengan mereka. Ya lebih ganteng banyaklah saya. 

Sekedar dipahami, agama Islam punya jejak yang panjang dan jelas di Mandalay ini karena mereka telah menjadi pasukan dan tentara King Mindon, Raja Mandalay di jaman dulu. King Mindon bahkan memberi ijin dan tempat untuk membangun masjid. Itu sebabnya ada beberapa masjid besar di Mandalay termasuk di komplek istana Mandalay.

Saat tur saya sempatkan untuk ikut salat di Masjid Joon di Mandalay. Masjid ini lumayan besar dan saja saya perkirakan bisa menampung lebih dari 500 jamaah dengan mudah. Tampaknya ini masjidnya para keturunan Pakistan yang ada di sana jadi yang salat jelas pakai gamis semua. Tapi saya tidak merasa mino. Kita kan sama-sama muslim.

Beda masjid di sini dan di Indonesia adalah bahwa perempuan di sini tidak boleh salat di masjid. Jadi tidak ada jamaah wanita di masjid. (Makanya muslim Indonesia itu harus bersyukur ada Islam Nusantara sehingga wanita pun punya hak untuk salat di masjid). Untungnya istri saya sedang berhalangan sehingga tidak perlu eh, tidak boleh salat di situ.

Ketika salat ternyata azan, iqamah, dan takbirnya sama. Alhamdulillah…! Bacaan Al-Fatihahnya juga ternyata sama. Begitu Imam selesai mengucapkan “…walad dhooollliiiin…” saya langsung dengan lantang mengucapkan “Amiiiin….!”

To my surprise and horror, ternyata tak satu pun jamaah yang mengucapkan amin setelah imam membacakan Al-Fatihah.  Jadi saya adalah satu-satunya jamaah yang teriak “Amiiiiin…!” dengan kenceng di masjid saat itu. Suara saya menggema dengan lantang sendirian di masjid. Oh my God…! 

Baru saya sadar bahwa mereka adalah muslim dengan mazhab Hanafi yang berbeda dengan muslim Indonesia yang umumnya adalah Syafii. Jadi mereka memang tidak membaca “Amin” setelah imamnya selesai membaca AlFatihah. Jadi tinggallah saya sendiri di antara puluhan jamaah yang berteriak kenceng “Aaaamiiiiin…!”. Asem tenan…! 

Lha saya kan malu teriak “Amin” sendirian di masjid tersebut. Saya merasa seperti salah satu anggota konser besar yang memainkan biola dengan nada fals sendirian. "Ngook...!" 
Anjiiir.

Di situ saya tiba-tiba merasa minoritas…

Surabaya, 24 Juni 2019

***