Cerita dari Sarasehan Penulis untuk Pemilu Damai

Rabu, 20 Februari 2019 | 15:19 WIB
0
611
Cerita dari Sarasehan Penulis untuk Pemilu Damai
Momen di acara Deklarasi Pemilih Damai bersama Pepih Nugraha dan Eli Salomo - Foto: Andi Mirati Primasari

Banyak yang beranggapan, cerita tentang Pemilu Damai hanya bisa dicapai ketika semakin banyak orang yang diam daripada yang berbicara. Saya pikir justru bukan begitu, namun damai dalam hal apa pun tidak melulu mensyaratkan diam, namun memang mesti ada yang mau berbicara. 

Kira-kira begitulah yang terbetik di pikiran saya, ketika akhirnya memutuskan turut berada di acara Deklarasi Pemilu Damai: Lawan Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme. Acara yang berlangsung pada Minggu 17 Februari 2019 ini berlangsung diotaki langsung oleh Pepih Nugraha, pendiri Pepnews yang juga otak di balik berdirinya Kompasiana.

Berada di acara ini memang bukan suatu hal yang mudah bagi saya pribadi. Pasalnya, saya harus bersanding dengan sosok Kang Pepih--sapaan akrab Pepih Nugraha--yang lebih dari seperempat abad menjadi jurnalis di media sekelas Kompas, dan jam terbang di dunia pers pun tak disangsikan lagi. Selain, di sana pun ada Eli Salomo, yang juga merupakan saksi sejarah lahirnya reformasi, selain juga ia sendiri adalah Aktivis 98.

Kang Pepih berbicara sebagai "tuan rumah", walaupun sosok ini sebenarnya acap jadi pembicara utama di banyak seminar hingga pelatihan menulis.

Di sana, ia bercerita banyak hal seputar PepNews, dan kenapa membuat acara Deklarasi Penulis. Sebab ia menilai bahwa para penulis memang bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan banyak hal kepada para pembaca. Ada banyak kebaikan yang perlu disampaikan kepada pembaca. Ada banyak sudut pandang yang memang perlu diakrabkan dengan banyak orang.

Maka itu, meskipun kali ini ia berbicara dalam konteks memberikan kata sambutan sebagai tuan rumah, namun ia pun banyak menyinggung tentang berbagai sudut pandangnya seputar bagaimana menulis sampai dengan bagaimana membangun sebuah tulisan yang tidak sekadar menarik tapi juga baik, dan membawa manfaat baik bagi yang membacanya. 

Hampir 10 tahun mengenal sosok beliau, memang terlihat ia adalah figur yang gemar membuka diri dengan sudut pandang baru. Ia bukan orang yang mudah berpuas diri dengan apa yang sudah dilakukannya atau ia dapatkan terkait dengan wawasan atau pengetahuan. Bahkan dengan saya yang terbilang masih "anak kemaren sore" pun ia acap mengajak berbicara dan mau mendengar, "Ada sudut pandang apa dari seorang Zulfikar Akbar?"

Itu sebagai gambaran, bahwa pendiri Kompasiana dan Pepnews tersebut adalah sosok yang mulai sepuh secara usia, tapi selalu tertarik terhadap hal-hal baru hingga isi pikirannya dapat dikatakan selalu segar. Inilah yang juga ia tularkan, termasuk ketika memberikan pengantarnya di acara Deklarasi Penulis pada hari itu.

Eh, semoga doi gak tersinggung saya sebut sepuh di atas, ha ha ha.

Dari pemaparannya, apa yang saya tangkap adalah bahwa menulis memang bukan sekadar menunjukkan kemampuan dan mendapatkan manfaat dari hobi tersebut. Menulis, menurutnya, juga bagaimana membiasakan untuk memberi. 

Seorang penulis tidak lagi sekadar berpikir mendapatkan sesuatu, tetapi cukup berkonsentrasi pada bagaimana memberi. Sebab, dengan memberi maka persoalan apa yang didapat takkan lagi menjadi hal yang perlu digelisahkan. Kebaikan dari menulis akan banyak didapatkan seorang penulis, sepanjang ia dapat menyajikan banyak hal baik dan benar kepada pembaca. 

Ya, di sana ia banyak berbicara yang berhubungan dengan motivasi penulis hingga bagaimana membangun sudut pandang sebagai penulis. 

Sementara saya yang mendapatkan kesempatan jadi pembicara pertama, lebih banyak menyinggung sudut pandang sebagai orang Indonesia. Sudut pandang yang memang acap saya alirkan lewat tulisan, atau sekadar mengisi linimasa media sosial seperti Facebook atau juga Twitter.

Sebab, di mata saya, berbicara Pemilu Damai adalah sebuah ikhtiar untuk membangun kedamaian itu sendiri. Sedangkan kedamaian itu, dalam hemat saya, adalah kesediaan berdamai dengan diri sendiri sekaligus mau berdamai dengan segala perbedaan.

Jika berdamai dengan diri sendiri adalah mau menerima semua pengalaman hidup dengan segala pahit manisnya, maka berdamai dengan luar diri sendiri artinya tidak terlalu mempertentangkan keniscayaan perbedaan. Maka itu, saya menggarisbawahi, "Kalaupun saya terlahir sebagai muslim, jadi bagian mayoritas, namun tak lantas mesti merasa di atas penganut agama lain. Tidak perlu mentang-mentang bahwa saya mayoritas lalu kalangan seagama saya harus mendapatkan hak di atas penganut agama lain."

Sebab memang, bicara kedamaian, jangankan melihat terlampau jauh sampai ke urusan negara, dalam diri pribadi pun akan sulit mendapatkan kedamaian jika tidak mampu mengelola ego atau kedirian. Apalagi jika berbicara negara, jika satu kelompok menuntut mesti berada di atas kelompok lainnya, mesti jadi prioritas di atas lainnya, maka perdamaian hanya menjadi bahan pembicaraan saja, dan sulit terimplementasi dalam kenyataan. 

Sebab ketika masing-masing mendesak atau memaksa harus berada di atas lainnya, hanya peduli hak kalangan sendiri tanpa peduli hak kalangan lainnya, maka yang ada adalah polemik hingga konflik. Terlebih, cerita perang pun acap tertulis, lahir karena di sana ada pemaksaan dari satu pihak kepada pihak lain hingga memantik perlawanan yang berujung perang itu sendiri.

Ya, di sana kebetulan tema yang saya angkat adalah seputar Kebebasan Berpendapat. Kenapa? Sebab berbicara seputar hal saya singgung tadi, memang membutuhkan ruang kebebasan untuk bisa mengemukakan pandangan.

Saya tidak akan leluasa membicarakan bagaimana keadaan atau nasib orang-orang yang berbeda agama, sulit membela orang-orang yang membutuhkan pembelaan, sulit bersuara ketika mesti bersuara, jika kebebasan itu tidak terjamin.

Maka itu, kebebasan berpendapat menjadi hal yang saya yakini penting untuk disampaikan di sana. Harapannya tidak lain, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan sepanjang tidak ada yang melanggar aturan negara atau membahayakan negara.

Sehingga, apa yang juga saya garisbawahi di sana adalah aturan bukanlah untuk membuat kita takut, tetapi aturan yang ada adalah sebuah kesepakatan yang memang tidak boleh dilanggar. Meski, kebebasan berpendapat tetap mesti dikedepankan sepanjang itu membawa manfaat untuk banyak orang.

Di pihak lain, Eli Salomo yang juga berbicara di sana, banyak berkisah tentang bagaimana pertaruhan yang terjadi ketika proses reformasi sedang diperjuangkan. Ia berbicara tentang banyaknya darah hingga nyawa yang melayang karena konflik yang muncul di saat itu.

Maka itu, Salomo menyampaikan harapannya, supaya reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah hingga taruhan nyawa tersebut, bisa membawa manfaat untuk Indonesia. Cerita darah hingga nyawa melayang, di matanya, cukup terjadi ketika perjuangan sedang berjalan melawan raksasa yang pernah hampir melahap apa saja di Indonesia. Ya, raksasa itu adalah Orde Baru.

Ia juga mengajak melihat supaya reformasi yang telah berhasil digulirkannya bersama rekan-rekan seangkatannya saat itu, bisa menjembatani penghuni negeri ini kepada harapan-harapan baru yang lebih baik. 

Salomo juga berterus terang merasa senang karena ruang-ruang berdemokrasi semakin terbuka luas. Kini orang-orang lebih leluasa berbicara, mengkritik, walaupun terkadang banyak juga yang salah kaprah karena kesempatan itu justru direndahkan dengan memanfaatkannya untuk fitnah, hoax, dan sejenisnya. 

"Paling tidak, sekarang kita mendapatkan kesempatan lebih baik dibandingkan dulu," kata Salomo. "Sekarang kita bebas kalaupun mau mengkritik pemerintah. Dulu? Jangan harap bisa seperti sekarang."

Pun, sekarang sudah banyak hal yang lebih memudahkan rakyat. Terlebih di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kata dia, sudah banyak hal yang cenderung memudahkan rakyat.

"Kita mau membuka usaha, misalnya, dulu bisa dipalak di banyak tempat," dia bercerita. "Sekarang, pintu-pintu yang membuka peluang pemalakan itu semakin tertutup, dan kesempatan berusaha semakin terbuka. Terlebih sekarang ada Online Single Submission yang digulirkan pemerintah, sebagai salah satu contoh bagaimana sekarang pemerintah membuka kesempatan lebih baik untuk rakyat."

Maka itu, Aktivis 98 tersebut mengajak melihat apa saja yang sudah baik supaya dapat direspons dengan baik. Sedangkan yang masih ada kekurangan, di sanalah dibutuhkan kritikan yang memang perlu disampaikan kepada pemerintah, dan inipun semestinya bisa disampaikan dengan baik. Ia mengimbau supaya kebebasan yang sudah terbuka saat ini, supaya tidak dikotori dengan hal-hal buruk semisal hoaks hingga fitnah. 

"Kita ini sebagai bangsa memang ditakdirkan berbeda, namun kita punya kesamaan bahwa kita menginginkan negeri ini bisa menjadi lebih baik, dan itu membutuhkan pikiran hingga mental yang baik," kata Salomo.

***