"Sandiwarakah selama ini," begitulah bait lirik lagu Glenn Redly.
Ibunda cawapres Sandiaga Uno yaitu Mien Uno meradang atau muntab (Jawa) karena anaknya dituduh melakukan sandiwara dalam momen-momen kampanye. Mien Uno mengungkapkan uneg-unegnya dalam konferensi pers di Media Center partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sebagai ibu yang melahirkan dan merawat atau mendidik, ia merasa sakit hati anaknya dirajam, dicela dan dicerca di media sosial. Orang-orang yang melakukan tuduhan "Sandiwara Uno" untuk berhadapan dengan dirinya dan meminta maaf.
Tentu sebagai ibu membela anaknya adalah hal yang wajar. Karena "kasih ibu sepanjang masa", sekalipun anaknya itu sudah berumur atau mempunyai cucu sekalipun, kalau anaknya dihina, sebagai ibu pasti tidak akan terima.
Mien Uno tidak terima kalau anaknya dituduh melakukan sandiwara dalam kampanye. Apalagi muncul istilah "Sandiwara Uno".
Sandiaga Uno adalah seorang cawapres. Artinya ia adalah seorang atau tokoh politik yang ingin berebut kekuasaan. Karena seorang politikus sudah sewajarnya juga kalau Sandiaga Uno akan mendapat serangan dari kubu lawan yang bersifat sinis, nyinyir dan celaan.
Serangan-serangan negatif akan tertuju kepadanya. Terkadang bisa membuat telinga panas kalau mendengar cercaan dan celaan. Itulah politik. Apalagi seorang ibu yang perasaannya halus.
Nah, sebagai seorang ibu, terkadang juga harus bijak menyikapinya. Kalau dibawa perasaan memang bisa sakit hati, karena anaknya dihina dan dicela. Terkadang pendidikan tinggi pun tidak akan membantu dalam menyikapi masalah seperti ini. Sekalipun ia dulunya seorang guru kepribadian atau etika. Karena di sini yang bermain emosional dan perasaan sebagai ibu. Rasionalitas akan di kesampingkan dan akan mendahulukan emosi atau perasaannya.
Kalau takut anaknya dicela, dihina dan dirajam di media sosial, harusnya waktu itu melarang sang anak untuk terjun dalam dunia politik.Karena politik itu terkadang mengesampingan etika dan kesopanan. Bahkan kadang brutal.
Sebenarnya apa yang dituduhkan kepada cawapres Sandiaga Uno bahwa ia sering melakukan sandiwara dalam kampanye belum seberapa dibandingkan dengan capres Jokowi.
Jokowi baik sebagai presiden dan capres, dihina, dicerca dan dirajam di media sosial sejak ia mencalonkan diri sebagai capres 2014 sampai saat ini. Tuduhannya macem-macem yang terkadang seorang ibu hanya bisa ngelus dada karena ia yang melahirkan dituduh bukan ibu kandungnya. Bahkan disuruh melakukan tes DNA untuk membenarkan kalau itu ibu kandungnya.
Tetapi sekalipun ibunya orang ndeso dan tidak berpendidikan tinggi, tapi dalam menyikapi hinaan dan cercaan kepada anaknya santai-santai aja. Karena ia sadar anaknya tokoh politik. Cukup mendoakan saja. Toh anaknya sudah cukup dewasa.
Hinaan atau celaan dan nyinyiran yang ditujukan kepada cawapres Sandiaga Uno masih termasuk wajar sebagai kandidat cawapres. Belum mengganti bentuk fisiknya menjadi fisik seekor hewan. Beda dengan Jokowi, meme yang mengganti fisiknya dengan fisik seeokar hewan marak di media sosial.
"Politik itu kejam, kalau takut terkena percikan api, jangan bermain api, main gundu atau main yang gundul-gundul".
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews