Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (2)

Ia memilih Kejawen, karena kesederhanaannya justru ketika tak lagi menawarkan reward & punishment yang terlalu keras. Apa yang diyakininya sebagai tak menawarkan janji apa pun tentang kenikmatan surga dan ancaman siksa neraka di dalamnya.

Sabtu, 9 April 2022 | 05:45 WIB
0
949
Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (2)
JB Manunwijaya (Foto: Facebook/Andi Setiono)

Berpuluh tahun yang lalu, di kota tua ini. Di Yogyakarta, lahir sebuah film berjudul "Daun Di Atas Bantal" (1998). Sebuah film karya Garin Nugroho, yang saya pikir semua orang setuju inilah film terbaik yang pernah ada. Dalam konteks yang berhasil menggambarkan kehidupan para tekyan, narasi tragik anak jalanan di kota ini.

Walau sebenarnya ada satu kelemahan mencolok dari film ini, di mana ia hanya memotret anak jalan import.
Para tekyan migran yang bisa berasal darimana saja. yang bahkan dari luar Jawa. Mereka yang berpindah-pindah kota, hanya dengan menumpang kereta api. Apakah itu kereta barang, kereka BBM, atau kereta kelas ekonomi yang lebih memungkinkan. Karena di luar mereka menumpang mereka bisa bekerja sembari menjajakan jasanya sebagai penyemir sepatu atau yang paling gampang dengan cara mengemis.

Asal-usul para tekyan dari kota antah berantah inilah, kemudian lebih berfokus pada status mereka sebagai manusia nomadik sejati. Yang ketika mereka mati, karena tidak ber-KTP lalu tidak bisa langsung dimakamkan. Harus berhadapan dengan proses birokrasi dan sikap anti-pati sosial yang rumit. Yang merupakan pesan moral terpenting dari film ini. Sebuah persoalan klasik, yang menjadi panjang lebar ketika manusia Indonesia "tidak ber-KTP". Salah-salah ia dianggap "bukan manusia".

Dalam konteks inilah, tulisan ini akan lebih menyorot pada cerita para tekyan lokal. Mereka yang "sekedar mbolos" dari rumah. Pergi tak berhitung waktu, tapi kemudian pulang lagi bila kangen rumah. Atau tiba-tiba butuh perlindungan orang tua. Atau sekedar gaya hidup, apa yang dulu populer sebagai "mencari identitas" atau "jati diri". Sesuatu yang sesungguhnya hanya menegaskan jiwa anak muda yang terobsesi mencoba hal-hal baru dan tabu yang tak mungkin diperoleh jika ia tetap ada di lingkungan domestiknya.

Apa saja itu?

Dalam konteks negatif bisa seks bebas, mencoba narkoba ini itu, terlibat dalam ikatan gangster kelas kampung atau sudut-sudut kota, dll. Tapi dalam konteks positif tak sedikit, justru karena kebutuhan untuk segera mandiri dari orang tua. Kebutuhan untuk mencukupi dirinya sendiri, mencari jalan keluar dari himpitan kemiskinan yang barangkali tak lagi terhindarkan. Mereka yang menyadari bahwa jalanan adalah pintu keluar untuk melihat dunia secara lebih luas. Untuk sedikit mengendurkan ikatan-ikatan primordial atau moral atau norma yang selalu saja membelenggu.

Dalam konteks yang terakhir inilah, saya ingin berkisah tentang sahabat saya ini...

Seorang yang sebenarnya, tak berbeda perjalanan hidupnya dengan saya. Walau kami berselisih usia 10 tahun. Mereka-mereka, atau tepatnya kami-kami, yang sama-sama lahir dan dibesarkan oleh Kultur Kali Code. Suatu keanehan yang absurd, walau namanya kali. Tapi tak lalu bisa membuat kami pandai berenang. Kalinya terlalu dangkal, arusnya terlalu pelan, dan yang jelas cekungannya terlalu dalam. Jadi tak mungkin ada acara sejenis kenakalan masa kanak-kanak untuk ber-"bungy-jump", meloncat dari atas jembatan.

Mau bunuh diri apa? Ha golek modyar po?

Walau bukan tetangga kampung yang bersebelahan, tapi kami dari dua kecamatan yang bersebelahan. Sama-sama didaku sebagai "bocah wetan kali". Persamannya tentu saja, jarak rumah kami ke Malioboro relatif sama. Kebetulan sekali, di masa lalu dikotomi masyrakat yang tinggal di Barat dan Timur Kali Code itu kuat sekali. Di Barat dianggap anak berbau Kraton atau sering dipahami sebagai cah Njeron Beteng. Sedang di sisi Timur sering diasosiasikan cah Pura. Tentu ini, karena letak geografis Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman yang ada di kedua sisi berseberangan kali itu.

Secara umum, anak-anak wetan kali memiliki karakter yang lebih berpikir merdeka, kreatif, namun sekaligus susah diatur, berwatak pemberani dan hobi berkelahi. Bisa dipahami, karena payung atau patron kami adalah mereka-mereka yang pada masanya disebut sebagai "kaum pemberontak" semacam Ki Hadjar Dewantara di pahlawan bidang pendidikan atau R. Suryopranoto di aktivis legendaris bidang perburuhan yang dikenal sebagai Raja Pemogokan.

Dalam balutan budaya seperti inilah, sahabat saya ini dilahirkan dan dibesarkan.

Sejak masih belia, jalanan adalah rumah keduanya. Ia terlalu cepat mandiri dari orang tuanya. Ia selalu ingin pergi dari rumah, karena di luar rumah menyediakan sedemikian banyak kemungkinan. Ia jadi punya uang jajan, dengan bekerja apa saja. Berjualan koran, menjadi penyemir sepatu, mengamen, atau apa saja yang bisa dilakukannnya. Kecuali satu hal: menjadi pengemis. Konon inilah norma dasar yang paling terlarang, bagi mereka yang mendaku sebagai anggota Partai Tekyan ini. Hooh po? Tenane dab...

Seseorang yang terbukti mengemis akan mendapat hukuman yang sangat berat di lingkungan mereka?

Ada sebuah cerita lucu, yang dulu beredar di kampung saya. Yang saya yakin, di banyak kampung sepanjang perimeter Malioboro, pinggir kali, dan mereka yang memiliki jejak-jejak sebagai kampung gali. Gali adalah sebutan premanisme yang dinisiasi para jagona kampung. Ada istilah yang sungguh tragik, tapi sekaligus lucu dan satir saking mengejeknya: "ciak wingking".

Secara harafiah "ciak" konon diadopsi dari bahasa warga Pecinan, artinya makan. Sampai sekarang masih sering terdengar ujaran "ayo ciak sik". Ayo makan dulu. Walau akhirnya di kalangan masyarakat gali, ciak itu bermakna juga sebagai berhubungan badan. Sedangkan wingking itu bahasa krama inggil dari belakang. Bila dipadukan, ia bermakna makan dari belakang!

Pertanyaannya: "Loh, apane sing dipangan?

Ini sebuah eufimisme atau pemadanan secara maksa yang sangat kurang ajar dari sebuah istilah "kanca wingking". Bagaimana seorang suaminya saat dengan merendahkan rendah hati menyebut Sang Istri. Istilah yang oleh kalangan feminis di hari-hari ini justru dituduh sebagai sangat merendahkan harkat seorang perempuan, sebagai hanya sekedar teman di belakang. Sebuah tabrakan budaya atau crash-culture menyebalkan yang tampaknya tak akan pernah ada habisnya dibahas dan dituliskan.

Kembali ke "ciak wingking", sesungguhnya ini adalah sebuah bentuk fedofilia atau kejahatan seksual yang dilakukan oleh senior kepada mereka para yuniornya. Saya tak bisa sebutkan secara detail, apa maksudnya. Ia bisa hadir sebagai bentuk inisiasi untuk anggota baru yang perlu diplonco. Tetapi bisa juga sebuah hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Ya tentu saja, bila mereka ketahuan mengemis, atau mencuri, menganiaya sesama teman, dan seterusnya.

Sebuah aturan yang ironisnya, hanya diberlakukan kepada para tekyan yang berasal dari luar daerah. Mana berani mereka melakukannya pada para tekyan domestik? Wani mati po!

Dalam pusaran anarkisme dan romantisme inilah sahabat saya ini hidup di masa remajanya. Ia tak benar-benar putus sekolah, tapi bahkan terus bersekolah bahkan hingga kuliah dengan cara-cara aneh yang barangkali sangat tidak lumrah.

Bahwa bukan kebetulan ia hidup, di masa emas ketika anak jalanan mendapat perhatian besar dan sorotan tajam. Hingga di kota sekecil ini sekali pun lahir belasan LSM yang memberi ruang seluas-luasnya bagi mereka. Tidak sekedar sebagai "kakak pelindung" namun sekaligus memberi rumah, ruang belajar, dan beribu kesempatan.
Tentu saja, bila harus menyebut salah satunya adalah kelompok Girli (akronim pinggir kali) sebagai yang paling populer dan berpengaruh.

Dan tentu saja, karena itu tokoh yang paling pantas disebut dan paling besar pengaruhnya adalah Romo JB Mangunwijaya. Seorang pastur Katolik sekaligus arsitek, satrawan, dan budayawan.

Seorang multi talenta dan multi-minat yang sekalipun dari statusnya, terlihat latar belakang keagamaannya. Namun justru ia memberikan ruang terbuka yang sedemikian lebar untuk memungkinkan setiap anak jalanan menemukan spiritualitasnya masing-masing. Dan dalam konteks tokoh dalam cerita ini, ia adalah contoh yang paling esktrem. sangat ekstrem....

Sebagai tekyan, penjelajahan spiritualitasnya sungguh bikin geleng-geleng kepala orang normal. Terlahir sebagai seorang Muslim, namun karena pengaruh dialog sederhana dengan kekeknya. Ia kemudian jadi goyah, saat ia bertanya: "Mbah kok jenengan dadi Islam niku pripun?" Jawaban kakeknya mengejutkan: "Lah tinimbangane aku dianggep PKI!". Ya daripada saya disebut PKI, maka ia lalu beragama. Atau sekedar mencantumkan salah satu agama jadi sebuah kebutuhan sosial-politik.

Dari titik inilah, ia kemudian menjelajah nyaris seluruh agama yang diizinkan atau diakui di Indonesia. Ia tak sekedar mempelajarinya, tapi sekaligus memeluknya secara khusyuk walau hanya sesaat. Justru karena statusnya sebagai tekyan itulah, ia bisa tinggal, hidup, dan dihidupi oleh keenam agama resmi itu.

Ia berpindah dari satu agama ke agama lainnya, tanpa meninggalkan jejak permusuhan. Atas nama semangat pencarian, yang saya yakin tak semua anak muda normal lainnya berani lakukan. Apalagi di era beragama yang sedemikian mencekam di hari-hari ini.

Sejenis spirituality-surfing yang gila-gilaan, walau gak lumrah tapi nyata. Apa yang disebutnya kemudian sebagai keseimbangan antara laku dan mlaku itu.

Secara Katolik, ia adalah seorang anak asuh Pater Dick Hartoko seorang romo pendiri majalah Basis. Ia adalah anak yang nyaris setiap bulan "nyadong" pergi ke Pastoran Kota Baru. Untuk ambil katabelece biaya gratis sekolahnya di Marsudi Luhur. Selepasnya bahkan ia pernah sesaat belajar di Seminari Kentungan, untuk dipersiapkan sebagai "gembala para domba Allah". Tak lama, ia terus gelisah lalu meloncat, ia berseluncur belajar etika Protestan di Gereja Pantekosta, di Jl. Hayam Wuruk tak jauh dari kampung ia berasal.

Setelahnya jadi seorang penganut Konghucu atau Buddha atau entahlah ia tak berani menyebut dirinya apa. Karena menjadi orang yang tak sekedar nunut urip di Klenteng Gondomanan. Tak ketinggalan, ia juga belajar spiritualitas Hindu tidur di pura-pura Jawa bahkan hingga ke Bali. Ia terus berjalan, ia terus mencari. Ia pergi kemana saja.

Bakat bermusiknya, kemahirannya memainkan banyak alat musik memungkinknnya diterima dan disukai siapa saja. Dalam kapasitasnya sebagai seorang tekyan. Ia terus menjadi seorang "public figure" mewakili kalangannya dengan menjadi seorang pembicara atau narator atau testimator. Bahkan menjadi banyak inspirasi bagaimana menangani anak jalanan di banyak kota besar di Jawa maupun luar Jawa. Hingga ia rampung kuliah. Apa yang dikatakannya, sebagai ujug-ujug wis dadi sarjana....

Sahabat saya ini, sengaja tak saya sebutkan namanya di sini. Besok-besok saja di akhir tulisan adalah anomali dari anomali. Ia memilih selalu ada di pinggiran, sebetapa pun siatuasi terus mendorongnya ke tengah. Ia belajar banyak agama, ia menjelajahi sedemikian banyak tempat. Setelah bosan dengan agama-agama, ia berjalan kesana kemari menjadi aktivis LSM. Ke Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, Bali. Kemana saja. Sering atas nama aktivitas sosial, tapi tak jarang malah karena bakatnya dikontrak bermain musik.

Hanya untuk berakhir menekuni dan mensujudi keyakinan leluhurnya sebagai seorang Kejawen. Sebuah keyakinan, yang pada intinya ingin ia niatkan kembali pada kemurniannya. Bukan pada sisi kleniknya yang justru malah sedemikian menonjol dan terlalu sering disalahpahami dan dikutuki banyak orang.

Ia memilih Kejawen, karena kesederhanaannya justru ketika tak lagi menawarkan reward & punishment yang terlalu keras. Apa yang diyakininya sebagai tak menawarkan janji apa pun tentang kenikmatan surga dan ancaman siksa neraka di dalamnya.

Bahwa hidup, harusnya berhenti saja pada berniat baik, berbuat baik, agar berakhir dengan baik...

(Bersambung)


NB: Si tokoh ini memiliki pengalaman unik terkait dua kali perkawinannya. Pernikahan pertamanya adalah apa yang disebutnya "pernikahan sesama tekyan". Dua sejoli sesama tekyan lokal Jogja, yang bertemu dan hidup bersama di jalanan. Keduanya adalah manusia yang berkesadaran (baca: menemukan kesadaran hakiki) ternyata tekyan juga adalah manusia berwatak baik, yang tak beda dengan manusia lainnya. Bahwa mereka juga bisa hidup normal. Bila relitasnya perkawinan pertamanya berakhir, itu soal lain.

Pernikahan yang kedua. Justru dengan seorang yang menjadi mentor-nya. Seorang aktivis LSM yang menjadi pembimbing kaum tekyan, agar kembali menjadi "manusia". Semacam Stockhlom Syndrome dalam bentuk lain. Seorang yang diculik, lalu justru jatuh cinta pada penculiknya. Sebuah ikatan pernikahan yang dilatarbelakangi pemahaman bahwa setiap manusia selalu punya kesempatan kedua. Mengingat mereka adalah sama-sama orang yang gagal namun tak gentar untuk mencoba lagi.

Catatan Akhir: Ilustrasi foto kali ini, lebih menyoroti sosok tokoh panutan yang sangat dikagumi oleh "si tokoh utama" dalam cerita ini. Ia seorang humanis sejati, yang mengangkat derajat kaum tekyan dengan merumahkannya. Yang oleh Gus Dur disebutnya seorang Katolik yang lebih Islami dari orang Islam sendiri. Apa yang secara bergurau disebut sebagai "seorang Islam yang hanya belum bersyahadat saja".

Betapa, oh sekali lagi betapa kemanusiaan itu derajatnya lebih tinggi dari agama apa pun...

***