Bulan depan, Virus Wuhan itu hanya kenangan masa lalu. Ia mungkin seperti selera. Mudah sekali berubah, dan bagian terbaiknya cepat sekali perginya.
Saya mengikuti percakapan, sedulur tua saya, Cakbli Narto Di Ubud dengan sahabatnya seorang bule. Cakbli menanyakan kenapa ia mentertawakan statusnya, yang dianggapnya menunjukkan keprihatinannya yang mendalam tentang mewabahnya Virus Corona di selurus dunia. Sebagai isu dan teror tentu saja!
Walau kejadian terparah sesungguhnya, hanya terlokalisir di Kota Wuhan. Si teman bule ini, tampaknya seorang yang sangat skeptik terhadap media, yang dianggapnya selalu bersikap lebay. Media yang memang suka bersikap berlebihan. Barangkali ia terdidik untuk selalu bersikap kritis terhadap pemberitaan media massa, yang memang di era medsos ini seolah semua nyaris sama saja. Antara yang bermutu, setengah bermutu, dan sama sekali tak bermutu. Tipis-tipis saja batasnya. Pun kredibilitasnya, pun otentisitasnya.
Apalagi di dunia saat ini, dimana setiap penyakit sesungguhnya sudah tersedia obatnya. Minimal sudah cepat cara mengatasinya. Masalahnya mau bayar mahal apa tidak. Saya percaya kapitalisme paling jahat itu memang adanya di industri farmasi. Tentu saja saya harus percaya, karena saya anak seorang farmakolog.
Dan yang mengatakannya adalah bapak saya sendiri. Yang karena saking ahlinya, ia hanya selalu memberi nasehat. Jika kita sakit, apapun penyakitnya, yang penting banyak istirahat dan makan makanan yang sehat. Titik, obat itu nomer sepuluh....
Realitas Virus Corona sendiri, sesungguhnya tidaklah semenakutkan yang orang kira. Apalagi situs kasusnya ada di Negeri China, yang sedemikian berpengalaman menangani persebaran virus. Wabil khusus yang merambat dari binatang ke manusia. Dulu kasus SARS, dari burung. Kini dari entah kelelawar atau ular, tapi ujung-ujungnyanya tetap menular ke manusia.
Dalam konteks yang terakhir ini, China menunjukkan ke-super power-annya yang luar biasa. Untuk menghadapi virus ini, ia dengan cepat memutuskan membangun Rumah Sakit Khusus pasien yang terinfeksi virus ini, hanya dengan hitungan 7 hari. Dengan kapasitas 1000 tempat tidur. Saya yakin hanya China, satu-satunya negara di dunia yang mampu melakukannya.
Dalam bidang infrastruktur, memang China tak ada tandingannya. Ia bagai pemain sulap, yang mampu membangun apa saja dengan waktu yang cepat, tentu dengan standar kualitas tinggi sesuai standar internasional. Apakah itu gedung bertingkat, jembatan panjang, jalan tol, stasiun kereta api. Bahkan belakangan membangun pulau buatan, di tengah samudra.
Kurang dari sebulan, setelah virus ini tersiar, tersebar, dan jadi hantu baru. China telah berhasil mengdentifikasi dengan baik: penyebab, cara penularan, dan barangkali yang tidak terlalu mengagetkan adalah cara mengatasinya. Virus ini dipercaya hanya menyerang seseorang dengan kondisi tubuh lemah, umumnya berusia tua. Makanya cara termudah untuk mencegahnya ya tetap sehat, makan cukup, banyak minum air putih....
Bagaimana China bisa sehebat itu?
Hingga awal abad 20, China masihlah negara terbelakang di tengah perkembangan modernisasi. Bahwa mereka pernah besar itu masa lalu. Baik China daratan maupun China Pulau, untuk menyebut hari ini Tiongkok dan Taiwan. Jika, Indonesia yang dijajah seumur jagung 3,5 tahun saja sudah sedemikian menderitanya. Kedua negara ini berada di bawah koloni Jepang nyaris selama 50 tahun. Hingga akhirnya, muncul dua ideologi yang berbeda.
China daratan jatuh ke tangan komunis, dan yang pulau menjadi liberal. Sesungguhnya dalam kurun waktu tertentu, keduanya sama: walau yang satu komunis, yang satu liberal. yang berkuasa adalah apa yang disebut sebagai pemimpin diktator dengan sikapnya yang otoriter. Beda dengan Taiwan yang dapat sokongan penuh dari Barat, tidaklah demikian dengan Tiongkok yang harus menghadapi berbagai isolasi di dunia internasional.
Saya belajar dari Dahlan Iskan, bagaimana mereka mereformasi diri secara terus menerus. Ketika di awal pemerintahan komuniasnya, mereka tak bisa serta merta mencotoh Marxisme Rusia yang bertumpu pada kelas buruh. Mereka hanya punya petani!
Dengan bekal para petani itulah mereka melangkah, dengan apa yang legendaris disebut "Seribu Langkah Ke Depan". Dan setelah berhasil menyatukan berbagai komponen masyarakat dengan revolusia agraria-nya melalui Revolusi Kebudayaan, mereka melangkah ke depan merangakul kaum buruh membangun industri. Sampai disini cukup? Tidak....
Pada tahap ke tiga, ketika industri mulai berkembang mereka mengembangkan dunia kapitalisme dengan merangkul dan membesarkan para pengusaha. Mereka sadar, satu-satunya yang mampu mengembangkan pasar adalah otak rakus para pebisnis. Dan setelah itu berhasil pada tahap keempat, mereka gencar mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagai gerbang inovasi teknologi yang terus menerus tiada henti.
Apakah agama akan menjadi yang kelima? Itulah hebatnya China! Di setiap langkah, dari keempat langkah itu: sudah ada dasar-dasar spiritualisme universal yang ditanamkan. Agama tentu bukan pilihan, apapun mereknya. Kenapa Imlek-- yang tak terkait agama itu-- sedemikian menggelora dan menjadi penyatu berbagai perbedaan. Mengalahkan kemeriahan tahun baru agama apa pun...
Masih menganggap China musuh? Yang patut takut dan jeri, tentu yang berposisi secara konsisten menganggap ia sebagai ancaman. Yang dianggap cepat lambat akan mengambil alih hegemoni dunia. Telat, padahal kan memang sudah!
Dan satu-satunya yang keukeuh, tentu saja hanya Amerika. Eropa sudah lama kolaboratif nyaris di semua bidang, Arab yang nyaris jatuh miskin kehabisan minyak itu menanamkan nyaris seluruh uangnya di sini. Afrika, Amerika Tengah, dan Selatan sudah lama jadi arena bermain bebas. Asia apalagi, kan tetanggaan, apalagi masih saudaraan....
Bulan depan, Virus Wuhan itu hanya kenangan masa lalu. Ia mungkin seperti selera. Mudah sekali berubah, dan bagian terbaiknya cepat sekali perginya.
Selamat Imlek, Gong Xi Fa Cai....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews